10 Kebiasaan Rasulullah Dalam Merayakan Idul Fitri
Jum'at, 22 Mei 2020 - 02:52 WIB
Sebelum salat Idul Fitri, Rasulullah saw. biasa memakan kurma dengan jumlah yang ganjil; tiga, lima, atau tujuh.
Jadi, makan dulu sebelum salat merupakan sunnah pada saat hari raya Idul Fitri. Dalam sebuah hadits menjelaskan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَايَغْدُوْ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْ كُلُ ثَمَرَاتٍ وَيَأُكلُهُنَّ وِتْرًا
Artinya, "Pada waktu Idul Fitri Rasulullah saw tidak berangkat ke tempat salat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
5. Mengambil jalan yang berbeda
Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang salat Ied memiliki makna yang dalam di mana Rasulullah SAW ingin bertemu dengan orang-orang di sekitar perjalanan guna menyebarkan syiar Islam.
Kebiasaan Rasulullah ini terekam dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melaksanakan salat id, beliau memilih jalan yang berbeda (ketika berankat dan pulang).” (HR. Bukhari no. 986).
6. Salat Id
Rasulullah menunaikan salat Idul Fitri bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya –baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak.
Seluruh kalangan baik laki-laki maupun perempuan yang suci maupun sedang haid untuk keluar dan merayakan idul fitri. Hal ini dijelaskan dalam hadits berikut,
أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فَنُخْرِجَ الحُيَّضَ، وَالعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَأَمَّا الحُيَّضُ؛ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ، وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلْنَ مُصَلَّاهُم
Artinya: “Kami memerintahkan untuk keluar (ketika hari raya), dan mengajak keluar wanita haid, para gadis, dan wanita pingitan. Adapun para wanita haid, mereka menyaksikan kegiatan kaum muslimin dan khutbah mereka, dan menjauhi tempat shalat.” (HR. Bukhari 981, Muslim 890).
7. Mengakhirkan Salat Id
Rasulullah juga mengakhirkan pelaksanaan salat Idul Fitri, biasanya pada saat matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah.
Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : “Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih”
Berkata Ibnul Qayyim : “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit” [Zadul Ma’ad 1/442]
Shiddiq Hasan Khan menyatakan : “Waktu salat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari” [Al-Mau’idhah Al-Hasanah 43,44]
Jadi, makan dulu sebelum salat merupakan sunnah pada saat hari raya Idul Fitri. Dalam sebuah hadits menjelaskan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَايَغْدُوْ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْ كُلُ ثَمَرَاتٍ وَيَأُكلُهُنَّ وِتْرًا
Artinya, "Pada waktu Idul Fitri Rasulullah saw tidak berangkat ke tempat salat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
5. Mengambil jalan yang berbeda
Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang salat Ied memiliki makna yang dalam di mana Rasulullah SAW ingin bertemu dengan orang-orang di sekitar perjalanan guna menyebarkan syiar Islam.
Kebiasaan Rasulullah ini terekam dalam hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيدٍ خَالَفَ الطَّرِيقَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melaksanakan salat id, beliau memilih jalan yang berbeda (ketika berankat dan pulang).” (HR. Bukhari no. 986).
6. Salat Id
Rasulullah menunaikan salat Idul Fitri bersama dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya –baik laki-laki, perempuan, atau pun anak-anak.
Seluruh kalangan baik laki-laki maupun perempuan yang suci maupun sedang haid untuk keluar dan merayakan idul fitri. Hal ini dijelaskan dalam hadits berikut,
أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فَنُخْرِجَ الحُيَّضَ، وَالعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَأَمَّا الحُيَّضُ؛ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ، وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلْنَ مُصَلَّاهُم
Artinya: “Kami memerintahkan untuk keluar (ketika hari raya), dan mengajak keluar wanita haid, para gadis, dan wanita pingitan. Adapun para wanita haid, mereka menyaksikan kegiatan kaum muslimin dan khutbah mereka, dan menjauhi tempat shalat.” (HR. Bukhari 981, Muslim 890).
7. Mengakhirkan Salat Id
Rasulullah juga mengakhirkan pelaksanaan salat Idul Fitri, biasanya pada saat matahari sudah setinggi tombak atau sekitar dua meter. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam memiliki waktu yang cukup untuk menunaikan zakat fitrah.
Abdullah bin Busr sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama manusia pada hari Idul Fithri atau Idul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam dan ia berkata : “Sesungguhnya kita telah kehilangan waktu kita ini, dan yang demikian itu tatkala tasbih”
Berkata Ibnul Qayyim : “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Idul Fithri dan menyegerakan shalat Idul Adha. Dan adalah Ibnu Umar -dengan kuatnya upaya dia untuk mengikuti sunnah Nabi- tidak keluar hingga matahari terbit” [Zadul Ma’ad 1/442]
Shiddiq Hasan Khan menyatakan : “Waktu salat Idul Fithri dan Idul Adha adalah setelah tingginya matahari seukuran satu tombak sampai tergelincir. Dan terjadi ijma (kesepatakan) atas apa yang diambil faedah dari hadits-hadits, sekalipun tidak tegak hujjah dengan semisalnya. Adapun akhir waktunya adalah saat tergelincir matahari” [Al-Mau’idhah Al-Hasanah 43,44]