Peganglah Fatwa Para Ulama Kredibel, Bukan Fatwa Sosial Media
Senin, 05 Juli 2021 - 12:17 WIB
Fathurrahman Kamal
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Di tengah upaya saling bahu membahu antara Pemerintah, Ulama, Ilmuwan, dan kekuatan umat untuk menjaga jiwa manusia serta mendayagunakan segala kemampuan untuk meminamilisir kerusakan akibat pandemi Covid-19, selalu saja ada kelompok kecil yang suka menyimpang dari arus utama umat Islam sedunia.
Kelompok menyimpang Neo-Jabariyah "membajak" dalil-dalil agama agar umat mengambil sikap fatalistik dan tak perlu berikhtiar untuk kemaslahatan hidup dan kemanusiaan. Sementara kelompok menyimpang Ultra-Qadariyah dengan keangkuhan dan arogansi intelektualnya menyeru umat untuk menyatakan bahwa Covid-19 menunjukkan kelemahan Tuhan, bahkan lebih jauh lagi kesesatan mereka dengan mengatakan Tuhan tak pernah ada, hanya ilusi dan khayalan manusia.
Lain lagi irama teologis yang digemakan oleh kelompok menyimpang Neo-Khawarij. Di beberapa negara muslim umat dan ulama termasuk pemerintah dibuat kerepotan oleh pandangan menyimpang ini. Di Maroko, seorang Abu Nu'aim Al-Salafĩ menyatakan kebijakan menutup masjid sebagai upaya untuk melawan pandemi Covid-19 merupakan tindakan "riddah" (kemurtadan), dan menyatakan kekafiran bagi Pemerintah Maroko (https://www.alaraby.co.uk/).
Mesir tak luput dari serangan teologis semacam ini. Syekh Majda 'Asyur, penasehat ilmiah dan akademik Grand Mufti, menyatakannya sebagai tindakan penyeru fitnah yang gemar mengkafirkan masyarakat, serta mengklaim kebenaran mutlak hanya milik mereka (https://www.shorouknews.com/).
Di Arab Saudi, Fatwa Dewan Ulama Senior (Hai'at Kibar al-'Ulama) tentang penutupan masjid dan penghentian sementara aktivitas sholat Jum’at dan sholat berjamaah tak luput dari perlawanan oknum tertentu. Kerajaan mengambil sikap tegas dengan manangkap oknum tersebut (https://newsformy.com/news-39511.html)
Gagal Paham Terhadap Imbauan Sholat di Kediaman Masing-masing
Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa terkait tata laksana ibadah praktis di masa KLB/darurat Covid-19; lalu ditegaskan dan didukung oleh fatwa-fatwa dari ormas-ormas Islam terkemuka di tanah air seperti Muhammadiyah, NU, Persatuan Islam (Persis), Wahdah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain; masih saja ada upaya pandangan-pandangan pribadi tertentu yang bernuansa mendelegitimasi fatwa-fatwa resmi tersebut.
Hal ini, pada batas tertentu, sangat membingungkan umat sekaligus menebarkan sikap merasa benar sendiri. Pandangan semacam ini dinarasikan secara linear (kacamata kuda), tanpa mempertimbangkan interkoneksi berbagai perspektif keilmuan (medis dan kebencanaan dll.); merendahkan pandangan ulama-ulama terkemuka di dunia Islam; mengabaikan kaidah-kaidah fiqhiyah; serta melupakan "maqãshid Syari'ah (tujuan pokok diturunkannya syariah, dan salahsatunya ialah menjaga jiwa manusia (hifdhu-n-nafsi). Saya belum menemukan padanan yang tepat untuk kategori terakhir ini.
Sahabat mulia, lalu apakah fatwa pelaksanaan shalat fardlu lima waktu di rumah masing-masing dan sholat Jumat diganti dengan sholat Zuhur di kediaman masing-masing, atau sekarang lebih populer dengan istilah "lockdown" masjid sama dengan tindakan kezaliman dalam ayat berikut ini (QS. Al-Baqarah/2:114)?
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا ۚ أُولَٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat."
Atau bertentangan dengan Ayat Allah dalam QS At-Taubah/9:18 :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS At-Taubah: 18).
Jawabannya: TIDAK
Perhatikan penjelasan Syekh Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin, seroang ulama terkemuka dan sangat berpengaruh di dunia Islam, dalam Kitabnya "Al-Ta'liq 'Ala Shahĩh al-Bukhari/V : hlm. 420 berikut ini:
إِغْلاقُ المًسَاجِدِ وَاْلكَعْبَةِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ لِلْحَاجَةِ لاَ بَأسَ بِهِ، وَلاَ يُقاَلُ: إِنَّ هَذَا مِنْ مَنْعِ مَسَاجِدِ اللهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ؛ لِأَنَّ هَذَا لِمَصْلَحَةٍ أَوْ لِحَاجَةٍ أَوْ لِضَرُوْرَةٍ أَحْيَاناً
"Penutupan masjid-masjid dan Ka'bah serta apa saja yang serupa dengannya untuk suatu keperluan (hajat) tidak apa-apa; dan jangan dikatakan (bahwa penutupan tersebut) termasuk bagian dari menghalangi masjid-masjid untuk (dijadikan sebagai tempat) dzikrullah. sebab hal ini kadang-kadang dilakukan untuk suatu kemaslahatan atau hajat atau suatu darurat tertentu."
Sahabat mulia, dalam suasana darurat/KLB atau pandemic Covid-9 yang nyata-nyata mengancam jiwa manusia, kembalilah kepada Fatwa-fatwa Jamaiy (kolektif) para ulama kredibel, dan bukan kepada pendapat pribadi yang sempit.
Kepada warga Muhammadiyah, berpeganglah pada edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 02/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19, yang dirumuskan bersama oleh Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Majelis Pembina Kesehatan Umum PP Muhammadiyah, Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah, dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Di tengah upaya saling bahu membahu antara Pemerintah, Ulama, Ilmuwan, dan kekuatan umat untuk menjaga jiwa manusia serta mendayagunakan segala kemampuan untuk meminamilisir kerusakan akibat pandemi Covid-19, selalu saja ada kelompok kecil yang suka menyimpang dari arus utama umat Islam sedunia.
Kelompok menyimpang Neo-Jabariyah "membajak" dalil-dalil agama agar umat mengambil sikap fatalistik dan tak perlu berikhtiar untuk kemaslahatan hidup dan kemanusiaan. Sementara kelompok menyimpang Ultra-Qadariyah dengan keangkuhan dan arogansi intelektualnya menyeru umat untuk menyatakan bahwa Covid-19 menunjukkan kelemahan Tuhan, bahkan lebih jauh lagi kesesatan mereka dengan mengatakan Tuhan tak pernah ada, hanya ilusi dan khayalan manusia.
Lain lagi irama teologis yang digemakan oleh kelompok menyimpang Neo-Khawarij. Di beberapa negara muslim umat dan ulama termasuk pemerintah dibuat kerepotan oleh pandangan menyimpang ini. Di Maroko, seorang Abu Nu'aim Al-Salafĩ menyatakan kebijakan menutup masjid sebagai upaya untuk melawan pandemi Covid-19 merupakan tindakan "riddah" (kemurtadan), dan menyatakan kekafiran bagi Pemerintah Maroko (https://www.alaraby.co.uk/).
Mesir tak luput dari serangan teologis semacam ini. Syekh Majda 'Asyur, penasehat ilmiah dan akademik Grand Mufti, menyatakannya sebagai tindakan penyeru fitnah yang gemar mengkafirkan masyarakat, serta mengklaim kebenaran mutlak hanya milik mereka (https://www.shorouknews.com/).
Di Arab Saudi, Fatwa Dewan Ulama Senior (Hai'at Kibar al-'Ulama) tentang penutupan masjid dan penghentian sementara aktivitas sholat Jum’at dan sholat berjamaah tak luput dari perlawanan oknum tertentu. Kerajaan mengambil sikap tegas dengan manangkap oknum tersebut (https://newsformy.com/news-39511.html)
Gagal Paham Terhadap Imbauan Sholat di Kediaman Masing-masing
Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mengeluarkan fatwa terkait tata laksana ibadah praktis di masa KLB/darurat Covid-19; lalu ditegaskan dan didukung oleh fatwa-fatwa dari ormas-ormas Islam terkemuka di tanah air seperti Muhammadiyah, NU, Persatuan Islam (Persis), Wahdah Islamiyah, Majelis Mujahidin Indonesia dan lain-lain; masih saja ada upaya pandangan-pandangan pribadi tertentu yang bernuansa mendelegitimasi fatwa-fatwa resmi tersebut.
Hal ini, pada batas tertentu, sangat membingungkan umat sekaligus menebarkan sikap merasa benar sendiri. Pandangan semacam ini dinarasikan secara linear (kacamata kuda), tanpa mempertimbangkan interkoneksi berbagai perspektif keilmuan (medis dan kebencanaan dll.); merendahkan pandangan ulama-ulama terkemuka di dunia Islam; mengabaikan kaidah-kaidah fiqhiyah; serta melupakan "maqãshid Syari'ah (tujuan pokok diturunkannya syariah, dan salahsatunya ialah menjaga jiwa manusia (hifdhu-n-nafsi). Saya belum menemukan padanan yang tepat untuk kategori terakhir ini.
Sahabat mulia, lalu apakah fatwa pelaksanaan shalat fardlu lima waktu di rumah masing-masing dan sholat Jumat diganti dengan sholat Zuhur di kediaman masing-masing, atau sekarang lebih populer dengan istilah "lockdown" masjid sama dengan tindakan kezaliman dalam ayat berikut ini (QS. Al-Baqarah/2:114)?
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا ۚ أُولَٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ ۚ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ
"Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (mesjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat."
Atau bertentangan dengan Ayat Allah dalam QS At-Taubah/9:18 :
إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلَّا اللَّهَ ۖ فَعَسَىٰ أُولَٰئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS At-Taubah: 18).
Jawabannya: TIDAK
Perhatikan penjelasan Syekh Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin, seroang ulama terkemuka dan sangat berpengaruh di dunia Islam, dalam Kitabnya "Al-Ta'liq 'Ala Shahĩh al-Bukhari/V : hlm. 420 berikut ini:
إِغْلاقُ المًسَاجِدِ وَاْلكَعْبَةِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ لِلْحَاجَةِ لاَ بَأسَ بِهِ، وَلاَ يُقاَلُ: إِنَّ هَذَا مِنْ مَنْعِ مَسَاجِدِ اللهِ أَنْ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ؛ لِأَنَّ هَذَا لِمَصْلَحَةٍ أَوْ لِحَاجَةٍ أَوْ لِضَرُوْرَةٍ أَحْيَاناً
"Penutupan masjid-masjid dan Ka'bah serta apa saja yang serupa dengannya untuk suatu keperluan (hajat) tidak apa-apa; dan jangan dikatakan (bahwa penutupan tersebut) termasuk bagian dari menghalangi masjid-masjid untuk (dijadikan sebagai tempat) dzikrullah. sebab hal ini kadang-kadang dilakukan untuk suatu kemaslahatan atau hajat atau suatu darurat tertentu."
Sahabat mulia, dalam suasana darurat/KLB atau pandemic Covid-9 yang nyata-nyata mengancam jiwa manusia, kembalilah kepada Fatwa-fatwa Jamaiy (kolektif) para ulama kredibel, dan bukan kepada pendapat pribadi yang sempit.
Kepada warga Muhammadiyah, berpeganglah pada edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah No. 02/EDR/I.0/E/2020 tentang Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19, yang dirumuskan bersama oleh Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah, Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Majelis Pembina Kesehatan Umum PP Muhammadiyah, Lembaga Penanggulangan Bencana PP Muhammadiyah, dan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC).
(rhs)