Samakah Wali Djazab dengan Orang Gila? Begini Cara Mengenalinya

Sabtu, 10 Juli 2021 - 15:25 WIB
Sedangkan akar dari pohon suluk dapat membuat pohon berbuah dengan Ilmu yang dzahir (tampak) dan tangkainya berbuah dengan amal yang bersifat dzahir, meski orang yang mengamalkan laku suluk dan orang jadzab berbeda, orang yang mengamalkan laku suluk beribadah di belakang tirai penghalang dari Allah, sedangkan orang jadzab tidak ada di antara mereka dan Allah penghalang apa pun.

(Pesan) dari Allah langsung pada mereka, dan (ibadah) dari mereka langsung tertuju pada Allah” (Syekh ‘Ali bin Abdurrahman bin Muhammad al-Imrani, Nasihah al-Murid fi Thariq ahli as-Suluk wa at-Tajrid, Hal. 17)

Berdasarkan referensi di atas, orang yang mengamalkan laku suluk masih berada di bawah orang yang sudah sampai pada fase jadzab. Jadzab sendiri oleh para ulama didefinisikan dengan pengertian berikut:

الجذبة هي التجلي الإلهي، وفيها يحصل التحقيق بالأسماء الإلهية، والاستشعار بالاسم الصمد

"Jadzab adalah tampaknya sifat-sifat ilahi. Ketika dalam kondisi jadzab, akan betul-betul tampak secara nyata sifat-sifat Allah dan (seseorang) mampu merasakannya." (Syekh Mahmud Abdur Rauf al-Qasim, al-Kasyf an Haqiqah as-Shufiyyah, juz 1, hal. 244).

Orang yang dalam kondisi jadzab seringkali melakukan perbuatan di luar nalar manusia biasa. Sebab, apa yang dilakukan oleh mereka dalam keadaan jadzab sudah di luar kapasitasnya sebagai manusia.

Meski demikian, patut dibedakan antara orang yang melakukan hal-hal aneh (khâriq al-âdah) karena memang betul-betul jadzab dengan orang yang hanya pura-pura jadzab.

Untuk menandai perbedaan dua orang ini cukup sederhana, yakni dengan cara melihat tingkah laku orang tersebut setelah kondisi terjaga. Jika saat kondisi normal, ia senantiasa berzikir dan beribadah serta menjauhi hal-hal duniawi yang bersifat profan, maka bisa dipastikan keanehan yang ia lakukan adalah berangkat dari maqam jadzab.

Sebaliknya, jika seseorang setelah dalam kondisi normal justru lebih mendekatkan diri pada hal-hal yang bersifat duniawi dan senang mendekat dengan orang-orang yang memiliki ambisi duniawi, maka bisa dipastikan keanehan yang ia lakukan bukanlah bermula dari keadaan jadzab. Tapi hanya sebatas tipu daya yang dilakukannya untuk menarik perhatian orang lain.

Perbedaan dua karakteristik ini seperti yang digambarkan dalam pembahasan menari saat berzikir yang dijelaskan dalam kitab Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhari wa Muslim:

واعلم أن الرقص فى حال الذكر ليس من الشرع ولا من المروءة ولم يعذر فيه الّا الفرد النادر من أهل الأحوال والجذب وله عند القوم علامة يميزون بها بين ما كان منه عن جذب حقيقي وبين ما كان عن تلاعب وتلبيس على الناس فقد قالوا إنّ المجذوب إذا كان بعد الصحو يوجد معرضا عن الدنيا وأهلها مقبلا على ذكر الله وعبادته فهذا جذبه حقيقي ويعذر فى رقصه وإذا كان بعد الصحو من تجاذبه ورقصه يوجد مقبلا على الدنيا متأنسا بأهلها لا فرق بينه وبينهم فى الأحوال واللهو فهو متلاعب كاذب فى دعوى جذبه صاحب رقص ولعب فهو ممن اتّخذ دينه هزوا ولعبا

"Ketahuilah bahwa menari pada saat berdzikir bukan bagian dari ajaran syariat dan bukan bagian dari budi pekerti yang baik.

Tindakan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk dibenarkan oleh siapa pun kecuali bagi orang khusus dari kalangan orang jadzab.

Menurut sebagian kalangan (ulama sufi) jadzab memiliki tanda-tanda tertentu yang membedakan antara tindakan jadzab yang hakiki dan tindakan yang berangkat dari main-main dan tipu daya di hadapan manusia.

Mereka berkata bahwa orang yang jadzab ketika setelah sadar ia berpaling dari dunia dan menghadap untuk berdzikir pada Allah dan beribadah kepada-Nya. Maka sikap jadzabnya adalah sikap jadzab yang sungguhan, tindakannya menari saat berdzikir dianggap udzur.

Sedangkan ketika setelah sadar dari jadzab dan selesai menari saat zikir, seseorang lantas menghadap pada dunia dan merasa senang berjumpa dengan orang yang tergiur dengan dunia.

Hingga tidak ada perbedaan antara dirinya dan orang yang tergiur dengan dunia dalam perbuatan dan sikap main-mainnya, maka ia adalah orang yang main-main dan bohong atas klaim kejadzabannya saat menari dan bersenda gurau, ia adalah bagian dari orang yang menjadikan agamanya sebagai permainan dan senda gurau." (Syekh Muhammad Habibullah bin Abdullah as-Syinqithi, Zad al-Muslim fi ma Ittafaqa ‘alaihi al-Bukhari wa Muslim, juz 3, hal. 155)

Dengan demikian disimpulkan bahwa jadzab adalah sebuah keadaan saat seseorang sudah lepas dalam kapasitasnya sebagai manusia karena tampak secara jelas padanya sifat-sifat Allah (tajalli). Segala keanehan perbuatan yang dilakukan dalam kondisi jadzab bermula dari petunjuk Allah.

Orang yang sudah sampai pada maqam jadzab ini biasa dikenal dengan sebutan Majdzub. Sedangkan masyarakat mengenal orang yang sudah sampai pada maqam ini dengan sebutan wali jadzab atau Wali Majdzub.

Dan orang yang dijadikan wali Madjzub ini hanya sebatas untuk dirinya sendiri dan tidak untuk dijadikan sebagai guru, berbeda dengan wali sufi yang memang ditugaskan sebagai Murabbi Mursyid membimbing para murid-muridnya.
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abdullah Busr radhiyallahu 'anhu bahwa seorang laki-laki berkata,  Wahai rasulullah, sesungguhnya syari'at-syari'at Islam telah banyak yang menjadi kewajibanku, maka beritahukan kepadaku sesuatu yang dapat aku jadikan sebagai pegangan!  Rasulullah bersabda, Hendaknya senantiasa lidahmu basah karena berdzikir kepada Allah.

(HR. Tirmidzi No. 3297)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More