Ka'bah: Kisah Paganisme Pasca-Nabi Ismail dan Pra-Islam
Kamis, 28 Mei 2020 - 05:00 WIB
Selain para nabi itu juga Qur'an telah menceritakan tentang ajakan mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan itu begitu sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah berhala dan bermohon kepada berhala-berhala dalam Ka'bah itu.
Mereka berziarah ke tempat itu setiap tahun. Mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab. Dalam hal ini turun firman Tuhan: "Dan Kami tidak akan mengadakan siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul."(Qur'an 17: 15)
Jabatan Penting
Sejak didirikannya Makkah di tempat itu sudah ada jabatan-jabatan penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin Kilab pada pertengahan abad kelima Masehi. Pada waktu itu para pemuka Makkah berkumpul. Jabatan-jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa, liwa' dan qiyada dipegang semua oleh Qushay.
Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau yang memegang kuncinya. Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang sangat sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma.
Rifada ialah memberi makan kepada mereka semua. Nadwa adalah pimpinan rapat pada tiap tahun musim. Liwa' ialah panji yang dipancangkan pada tombak lalu ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, dan qiyada ialah pimpinan pasukan bila menuju perang.
Jabatan-jabatan demikian itu di Makkah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat seolah pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.
Beberapa penulis sejarah, menurut Haekal, tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Makkah itu masih terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada pertengahan abad kelima Masehi itu. "Sukar bagi kita akan dapat membayangkan suatu daerah seperti Makkah dengan Rumah Purbanya yang dianggap suci itu akan tetap berada dalam suasana hidup pengembaraan," tulisnya.
Padahal sejarah membuktikan, lanjut Haekal, bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di tangan Nabi Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa generasi kemudian.
Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping Makkah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan langsung dengan perdagangan dunia.
Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada pendekatan dari dunia lain dari segi peradabannya. "Beralasan sekali dugaan kita, bahwa Makkah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan menjadi suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil selama beberapa generasi sebelum Qushayy," lanjutnya.
Zamzam Kering
Menurut Haekal lagi, meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Makkah masih di tangan Jurhum sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith.
Selama dalam masa generasi ini perdagangan Makkah mengalami perkembangan yang pesat sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu selalu berusaha dan selalu waspada.
Demikian lalainya mereka itu sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.
Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan menghanyutkan mereka semua.
Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka'bah beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia akan menemukannya kembali.
Selanjutnya ia keluar dengan anak-anak Ismail dari Makkah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab, nenek (kakek) Nabi Muhammad yang kelima datang mengambil alih.
Berdasar Hadis