Meneladani Rasulullah SAW: Maksimalisasi Potensi Masjid

Rabu, 20 Oktober 2021 - 12:36 WIB
Ketiga, fase Hijrahnya Rasulullah SAW hingga Fathu Makkah. Jika fase sebelumnya adalah fase kebangkitan Umat secara individu, fase Hijrah adalah fase kebangkitan Umat secara kolektif (komunal). Karenanya hijrahnya Rasulullah bukan sekedar pindah tempat. Apalagi asumsi karena beratnya tantangan di Mekah. Seorang nabi atau rasul tidak akan menghindar dari tantangan seberat apapun itu.

Hijrahnya Rasulullah SAW justeru karena Allah telah mempersiapkan Kota Yatsrib sebagai Madinah yang bermakna pusat peradaban. Dan karenanya kota itu (Madinah) memiliki kata Sifat yang disebut Al-Munawwarah atau yang tersinari.

Rasulullah SAW Membangun Umat dari Madinah

Di Madinah, inilah Rasulullah SAW mewujudkan peradaban manusia. Sebuah peradaban yang jauh melampaui wawasan dan visi zamannya. Peradaban yang memiliki visi jauh ke depan (visionary) melebihi realita masyarakat ketika itu. Peradaban yang belum pernah terbayangkan oleh masyarakat manapun sebelumnya. Baik bangsa Romawi, Persia, China maupun India.

Masjid Sebagai Sentra Peradaban

Sejarah mengenal bahwa ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah hal pertama yang beliau lakukan adalah Membangun masjid. Masjid inilah yang saat ini dikenal dengan masjid Kuba.

Keputusan membangun masjid ini mengajarkan bahwa masjid memang adalah pusat kehidupan dan peradaban yang dibangun oleh Islam. Tentu dengan pemahaman yang komprehensif bahwa masjid bukan sekedar tempat sujud sebagai kegiatan ritual. Tapi masjid yang dipahami secara luas sebagai pusat "ketaatan" dan pengabdian (ibadah) kepada Allah SWT.

Dengan pemahaman seperti ini masjid akan memainkan paranan maksimal dalam mewujudkan peradaban itu. Bahwa dari masjid terlahir pasar, sistim politik dan pemerintahan, ekspresi budaya dan kehidupan sosial, bahkan kegiatan diplomasi hingga ke pertahanan negara (militer).

Agar masjid maksimal dalam memainkan peranan itu minimal ada lima hal yang perlu menjadi bagian dari perhatian penting masjid itu.

1. Masjid Harus Menjadi Pusat Pengembangan Wawasan.

Saya ingin membedakan antara ilmu dan wawasan. Wawasan adalah karakter berpikir atau cara pandang seseorang kepada sesuatu. Wawasan itu bukan sekedar sikap intelektulitas. Tapi sekaligus mencakup karakter dan kepribadian seseorang atas pengetahuan atau keilmuannya.

Hal ini berarti bahwa ilmu seseorang itu bukan sebuah jaminan untuk menjadikannya memiliki Wawasan atau cara pandang yang benar dan luas. Bahkan tidak jarang ilmu seseorang menjadikannya terkungkung dalam perasaan paling tahu.

Di sinilah masjid harus menjadi pusat pengembangan wawasan. Jamaah harus dibiasakan untuk terbuka, termasuk membuka wawasan. Sehingga ketika ada masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan yang timbul akan disikapi secara luas dan dewasa.

2. Masjid Harus Menjadi Pusat untuk Kemakmuran Masyarakat.

Ketika Al-Qur'an menyampaikan Urgensi untuk mengembangkan masjid, Al-Quran justeru memakai kata "Ya'muru" (at-Taubah: 18). Kata ini berarti meramaikan, mengembangkan, Membangun. Tapi arti yang paling populer adalah “memakmurkan” itu sendiri. Kata ini sendiri mengindikasikan bahwa masjid harus berperan sebagai pusat “kamakmuran” atau pemakmuran. Tentu bukan saja masjidnya. Tapi yang terpenting adalah jamaah masjid itu.

Dengan itu harus dipahami bahwa masjid itu sekaligus memilki tanggung kemakmuran jamaahnya. Bukan justeru masjid megah di mana-mana. Tapi masyarakat yang ada di sekitarnya menjadi masyarakat yang papah.

3. Masjid Harus Menjadi Perekat Ukhuwah dan Kesatuan Umat.

Ketika masjid dipahami sebagai tempat berjamaah maka pemahaman itu harus lebih dari sekedar pemahaman ritual semata. Bahwa sholat jamaah itu lebih afdhol dari sholat sendirian hingga 27 kali lipat, tidak saja dari perspective kwantitas pahalanya. Tapi kwalitas nilai ukhuwah dan jamaah/kebersamaan yang terbangun.

Karenanya masjid harus dijadikan dorongan moral untuk merajut dan menguatkan ukhuwah. Sehingga diharapakan pesan-pesan masjid akan selalu terasa menyejukkan ukhuwah dan kesatuan Umat. Termasuk tentunya perlunya kedewasaan dalam menyikapi perbedaan yang ada, termasuk perbedaan madzhab. Bahkan perbedaan madzhab politik sekalipun.

4. Masjid Harus Menjadi Pusat Pengembangan Keilmuan dan Pemikiran.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Zaid bin Khalid Al Juhaini bahwasanya dia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memimpin kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah pada suatu malam sehabis turun hujan. Setelah selesai Beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak lalu bersabda: Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb kalian? Orang-orang menjawab, Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau bersabda: Allah berfirman: Di pagi ini ada hamba-hamba Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir, orang yang berkata bahwa Hujan turun kepada kita karena karunia Allah subhanahu wa ta'ala dan rahmat-Nya, maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata bahwa Hujan turun disebabkan bintang ini atau itu, maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.

(HR. Bukhari No. 801)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More