Rabiah Al-Adawiyah Sempat Jual Kecantikannya untuk Biayai Keluarga
Kamis, 28 Oktober 2021 - 21:51 WIB
Banyak versi tentang perjalanan hidup Rabiah Al-Adawiyah . Salah satunya menyebut bahwa masa lalu perempuan sufi legendaris ini lumayan suram. Ia memanfaatkan suaranya yang merdu dan kecantikannya untuk mencari penghidupan bagi keluarga.
Ma’mun Gharib dalam bukunya berjudul Rabi’ah al-Adawiyah fi Mihrab al-Hubbil Ilahy menuturkan bahwa Rabi’ah di masa remaja adalah perempuan biasa, layaknya kaum perempuan di Basrah, tempat ia menetap.
Kemiskinan keluarga mendorong ia memanfaatkan kecantikan fisik dan kemerduan suaranya untuk mencari penghidupan bagi keluarga, terlebih saat sang ayah meninggal.
Hanya saja, hal itu tak berlangsung lama. Kesadaran Rabiah yang di masa kecil telah menghafal ayat-ayat suci al-Quran dan melakukan ibadah dengan khusyuk, seakan terpanggil untuk mengulangi kembali kehidupan masa kecilnya. Ia selalu ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bagi para zahid, sebutan bagi para sufi yang zuhud, orang-orang kaya memiliki dunia mereka sendiri, begitu pula orang-orang miskin. Rabi’ah lalu bertobat kepada Tuhan, pertaubatannya telah membuat ia terbakar di dalam cinta kepadaNya.
Ditangkap Perampok
Widdad El-Sakkaini dalam buku berjudul Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, berkisah:
Pada suatu hari, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh perampok dan dijual dengan harga enam ribu dirham. Ia dibeli oleh suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali al-Atik yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al-Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah Rabi’ah dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.
Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian Rabi’ah tetap tabah menghadapi cobaan tersebut.
Pada siang hari ia melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah.
Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa “Ya Allah, hasrat hatiku adalah untuk mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan istirahat barang sedikit pun dari mengabdi kepada-Mu”.
Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap lunak kepadanya dan membebaskannya.
Rabiah ditawari untuk tinggal bersama tuannya, akan tetapi Rabi’ah menolak. Ia memilih untuk meninggalkan rumah tuannya dan ia ingin hidup sendiri dalam kedekatan dengan Tuhannya.
Dalam kebebasannya, ia selalu giat beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya, bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Rabi’ah mengembara dan hidup di padang pasir. Di sinilah ia menemukan tempat dan menghabiskan waktunya untuk beribadah.
Ma’mun Gharib dalam bukunya berjudul Rabi’ah al-Adawiyah fi Mihrab al-Hubbil Ilahy menuturkan bahwa Rabi’ah di masa remaja adalah perempuan biasa, layaknya kaum perempuan di Basrah, tempat ia menetap.
Kemiskinan keluarga mendorong ia memanfaatkan kecantikan fisik dan kemerduan suaranya untuk mencari penghidupan bagi keluarga, terlebih saat sang ayah meninggal.
Hanya saja, hal itu tak berlangsung lama. Kesadaran Rabiah yang di masa kecil telah menghafal ayat-ayat suci al-Quran dan melakukan ibadah dengan khusyuk, seakan terpanggil untuk mengulangi kembali kehidupan masa kecilnya. Ia selalu ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bagi para zahid, sebutan bagi para sufi yang zuhud, orang-orang kaya memiliki dunia mereka sendiri, begitu pula orang-orang miskin. Rabi’ah lalu bertobat kepada Tuhan, pertaubatannya telah membuat ia terbakar di dalam cinta kepadaNya.
Ditangkap Perampok
Widdad El-Sakkaini dalam buku berjudul Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah Al-Adawiyah: Dari Lorong Derita Mencapai Cinta Ilahi, berkisah:
Pada suatu hari, ketika keluar rumah, ia ditangkap oleh perampok dan dijual dengan harga enam ribu dirham. Ia dibeli oleh suatu keluarga yang berasal dari kaum Mawali al-Atik yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al-Atik berasal dari suku Qais, dari sinilah Rabi’ah dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.
Orang yang membeli Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Memperlakukannya dengan bengis dan kasar. Namun demikian Rabi’ah tetap tabah menghadapi cobaan tersebut.
Pada siang hari ia melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah.
Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa “Ya Allah, hasrat hatiku adalah untuk mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan istirahat barang sedikit pun dari mengabdi kepada-Mu”.
Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap lunak kepadanya dan membebaskannya.
Rabiah ditawari untuk tinggal bersama tuannya, akan tetapi Rabi’ah menolak. Ia memilih untuk meninggalkan rumah tuannya dan ia ingin hidup sendiri dalam kedekatan dengan Tuhannya.
Dalam kebebasannya, ia selalu giat beribadah, bertaubat dan menjauhi duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya, bahkan dalam doanya ia tidak mau meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Rabi’ah mengembara dan hidup di padang pasir. Di sinilah ia menemukan tempat dan menghabiskan waktunya untuk beribadah.
(mhy)