Bilal bin Rabah, Budak yang Disebut Pemimpin Kita oleh Umar bin Khattab
Rabu, 10 November 2021 - 16:27 WIB
Berkali-kali, dia tertegun di depan berhala dan meminta mereka untuk memberkati dia. Dia yakin bahwa situasi masyarakat di Makkah akan berubah tapi dia tidak tahu bagaimana perubahan semacam itu akan dimulai.
Berita tentang Nabi Muhammad
Hari-hari Bilal tidak berbeda dengan budak lainnya. Hari-harinya dilalui dengan rutinitas yang menyengsarakan dan tidak memiliki harapan untuk hari esok. Suatu saat, berita-berita tentang Muhammad yang diceritakan dari mulut ke mulut para penduduk Makkah sampai juga ke telinganya. Dari tamu-tamu yang datang menemui tuannya, Bilal mendengar percakapan mereka yang mengutuk, marah, menuduh, mengancam, dan membenci Muhammad.
Namun, di antara pembicaraan tentang keburukan Muhammad, Bilal juga mendengar tentang ajaran-ajaran yang disampaikan Muhammad.
Di antara ajaran itu yang dia dengar adalah bahwa Muhammad mengaku dirinya seorang Nabi. Dia menyeru orang untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya. Muhammad juga menganjurkan untuk memperlakukan satu sama lain dengan keadilan dan kesetaraan; bahwa semua orang sama di hadapan Pencipta mereka, satu-satunya hal yang membuat seseorang berbeda adalah keyakinannya terhadap Allah dan kebenaran-Nya.
Muhammad juga mendesak orang-orang Mekah untuk meninggalkan dewa-dewa palsu mereka, dan menyembah hanya kepada Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam semesta. Dan Muhammad juga menyerukan kepada pembesar-pembesar untuk memperlakukan budak mereka dengan baik.
Apa yang disampaikan oleh Muhammad, bagi Bilal itu merupakan suatu hal yang aneh dan baru. Bilal semakin tertarik. Terlebih, walapun Umayyah dan teman-temannya membicarakan sesuatu yang buruk tentang Muhammad, namun mereka juga sebenarnya takjub dengan pribadi Muhammad.
“Tidak pernah Muhammad berdusta atau menjadi tukang sihir. Tidak pula sinting atau berubah akal, walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang memasuki agamanya!” kata salah seorang dari mereka kepada yang lainnya.
Bilal juga mendengarkan percakapan mereka tentang kesetiaan Muhammad menjaga amanah, tentang kejujuran dan ketulusannya, tentang akhlak dan kepribadiannya.
Didengarnya juga bisik-bisik mengenai sebab mereka menentang dan memusuhi Muhammad, yaitu karena: pertama, kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Kedua, khawatir akan merosotnya kemuliaan suku Quraisy sebagai pemegang kuasa pusat tempat ibadah dan ritual haji di jazirah Arab. Ketiga, kedengkian terhadap Bani Hasyim (keluarga Muhammad), mereka mempertanyakan kenapa Nabi dan Rasul baru tersebut bukannya keluar dari golongan mereka.
Mendengar itu semua, di sela-sela rutinitasnya sebagai budak, keseharian Bilal selanjutnya dipenuhi dengan perenungan tentang Islam.
Memeluk Islam
Sepanjang hari ketika sedang menggembala ternak dia terus berpikir tentang ide-ide yang sebelumnya bahkan untuk diimajinasikan saja dia tidak berani. Dia berpikir dalam-dalam tentang Pencipta dan ciptaannya.
Setelah melalui berbagai perenungan yang panjang, pada suatu hari Bilal “menyaksikan” cahaya Ilahi, dan hatinya berkata dengan sebuah dorongan yang murni untuk menemui Muhammad. Maka di hadapan Sang Nabi, Bilal menyatakan keislmannya, “ashadu alla ilaha illa llah wa ashadu anna muḥammadar rasululullah”. Bilal sebagaimana sebagian muslim lainnya pada waktu itu masih merahasiakan keislamannya.
Namun, malang tak dapat dihindarkan, berita mengenai keislaman Bilal tidak dapat disimpan selamanya. Berita rahasia keislaman Bilal terungkap dan beredar di lingkungan para pemuka Quraisy. “Apa? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad?” ujar mereka.
Demi Umayyah bin Khalaf yang congkak, berita tentang keislaman Bilal merupakan tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan dirinya serta Bani Jumah. Walaupun demikian, tidak apa, katanya di dalam hati, seraya berkata, “matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu!”
Di tengah hari, ketika matahari sedang terik-teriknya menyinari padang pasir, mereka membawa Bilal ke luar dan menelanjanginya. Kemudian mereka melemparkan Bilal ke atas pasir yang seolah menyala karena saking panasnya. Beberapa orang lelaki mengangkat batu besar yang sangat panas dan menindihkannya ke atas tubuh dan dadanya.
“Engkau akan tetap dalam keadaan begini sampai engkau mati, atau engkau menyumpahi Islam,” kata Umayyah.
Berita tentang Nabi Muhammad
Hari-hari Bilal tidak berbeda dengan budak lainnya. Hari-harinya dilalui dengan rutinitas yang menyengsarakan dan tidak memiliki harapan untuk hari esok. Suatu saat, berita-berita tentang Muhammad yang diceritakan dari mulut ke mulut para penduduk Makkah sampai juga ke telinganya. Dari tamu-tamu yang datang menemui tuannya, Bilal mendengar percakapan mereka yang mengutuk, marah, menuduh, mengancam, dan membenci Muhammad.
Namun, di antara pembicaraan tentang keburukan Muhammad, Bilal juga mendengar tentang ajaran-ajaran yang disampaikan Muhammad.
Di antara ajaran itu yang dia dengar adalah bahwa Muhammad mengaku dirinya seorang Nabi. Dia menyeru orang untuk menyembah Allah, Tuhan satu-satunya. Muhammad juga menganjurkan untuk memperlakukan satu sama lain dengan keadilan dan kesetaraan; bahwa semua orang sama di hadapan Pencipta mereka, satu-satunya hal yang membuat seseorang berbeda adalah keyakinannya terhadap Allah dan kebenaran-Nya.
Muhammad juga mendesak orang-orang Mekah untuk meninggalkan dewa-dewa palsu mereka, dan menyembah hanya kepada Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam semesta. Dan Muhammad juga menyerukan kepada pembesar-pembesar untuk memperlakukan budak mereka dengan baik.
Apa yang disampaikan oleh Muhammad, bagi Bilal itu merupakan suatu hal yang aneh dan baru. Bilal semakin tertarik. Terlebih, walapun Umayyah dan teman-temannya membicarakan sesuatu yang buruk tentang Muhammad, namun mereka juga sebenarnya takjub dengan pribadi Muhammad.
“Tidak pernah Muhammad berdusta atau menjadi tukang sihir. Tidak pula sinting atau berubah akal, walau kita terpaksa menuduhnya demikian, demi untuk membendung orang-orang yang memasuki agamanya!” kata salah seorang dari mereka kepada yang lainnya.
Bilal juga mendengarkan percakapan mereka tentang kesetiaan Muhammad menjaga amanah, tentang kejujuran dan ketulusannya, tentang akhlak dan kepribadiannya.
Didengarnya juga bisik-bisik mengenai sebab mereka menentang dan memusuhi Muhammad, yaitu karena: pertama, kesetiaan mereka terhadap kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Kedua, khawatir akan merosotnya kemuliaan suku Quraisy sebagai pemegang kuasa pusat tempat ibadah dan ritual haji di jazirah Arab. Ketiga, kedengkian terhadap Bani Hasyim (keluarga Muhammad), mereka mempertanyakan kenapa Nabi dan Rasul baru tersebut bukannya keluar dari golongan mereka.
Mendengar itu semua, di sela-sela rutinitasnya sebagai budak, keseharian Bilal selanjutnya dipenuhi dengan perenungan tentang Islam.
Memeluk Islam
Sepanjang hari ketika sedang menggembala ternak dia terus berpikir tentang ide-ide yang sebelumnya bahkan untuk diimajinasikan saja dia tidak berani. Dia berpikir dalam-dalam tentang Pencipta dan ciptaannya.
Setelah melalui berbagai perenungan yang panjang, pada suatu hari Bilal “menyaksikan” cahaya Ilahi, dan hatinya berkata dengan sebuah dorongan yang murni untuk menemui Muhammad. Maka di hadapan Sang Nabi, Bilal menyatakan keislmannya, “ashadu alla ilaha illa llah wa ashadu anna muḥammadar rasululullah”. Bilal sebagaimana sebagian muslim lainnya pada waktu itu masih merahasiakan keislamannya.
Namun, malang tak dapat dihindarkan, berita mengenai keislaman Bilal tidak dapat disimpan selamanya. Berita rahasia keislaman Bilal terungkap dan beredar di lingkungan para pemuka Quraisy. “Apa? Budak mereka orang Habsyi itu masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad?” ujar mereka.
Demi Umayyah bin Khalaf yang congkak, berita tentang keislaman Bilal merupakan tamparan pahit yang menghina dan menjatuhkan kehormatan dirinya serta Bani Jumah. Walaupun demikian, tidak apa, katanya di dalam hati, seraya berkata, “matahari yang terbit hari ini takkan tenggelam dengan Islamnya budak durhaka itu!”
Di tengah hari, ketika matahari sedang terik-teriknya menyinari padang pasir, mereka membawa Bilal ke luar dan menelanjanginya. Kemudian mereka melemparkan Bilal ke atas pasir yang seolah menyala karena saking panasnya. Beberapa orang lelaki mengangkat batu besar yang sangat panas dan menindihkannya ke atas tubuh dan dadanya.
“Engkau akan tetap dalam keadaan begini sampai engkau mati, atau engkau menyumpahi Islam,” kata Umayyah.