Surat Thaha 85-98: Kisah Pengkhianatan Samiri dan Kemarahan Nabi Musa
Senin, 15 November 2021 - 15:53 WIB
Kisah pengkhianatan Samiri dan kemarahan Nabi Musa as dikisahkan dalam Al-Qur'an Surat Thaha ayat 85-98 . Samiri berkhianat dengan membuat patung anak sapi lalu disembah kaumnya, tatkala Nabi Musa pergi bermunajat dan berpuasa sepanjang hari selama 40 hari. Sementara Nabi Harun tak bisa mencegahnya.
Allah SWT berfirman:
Allah berfirman: "Maka sesungguhnya Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri. ( QS Thaha : 85 )
Dalam ayat ini Allah mengisahkan cerita Nabi Musa yang, menurut Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran, sedang mengalami ujian dari-Nya, berupa fitnah.
Quraish Shihab menyatakan bahwa lafadz “fatannaa” pada ayat tersebut adalah jamak, yang itu mengisyaratkan bahwa adanya keterlibatan makhluk Allah dalam ujian tersebut. Artinya, bukan Allah yang menyesatkan kaum tersebut secara langsung melainkan adanya hasutan dari Samiri.
Fitnah tersebut dimulai tatkala Nabi Musa menunaikan janjinya kepada Rabbnya untuk bermunajat yang menurut penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Ahdim selama empat puluh malam seraya berpuasa sepanjang hari.
Sekembalinya Nabi Musa dari bermunajat, ia sangat marah karena mendapati kaumnya yang tidak lagi menyembah Allah SWT, malah menyembah patung anak sapi.
Allah taala berfirman:
Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" ( QS Thaha : 92-93 )
Pada ayat tersebut Nabi Musa marah kepada Nabi Harun. Ia bertanya kepada saudaranya tersebut mengapa ia membiarkan ketika melihat kesesatan kaumnya, padahal Nabi Harun sebelumnya telah diamanahi tampuk kepemimpinan risalah sepanjang Nabi Musa bermunajat.
Dalam surah Thaha ayat 94 Harun menjawab:
Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku". ( QS Thaha : 94 )
Nabi Harun menjawab pertanyaan Nabi Musa tersebut dengan penuh hormat.
Menurut penuturan Ibnu Katsir, Nabi Harun meminta maaf akan hal tersebut seraya memberi penjelasan bahwa jika ia datang menemui Nabi Musa untuk melaporkan hal ini, bisa dipastikan kaumnya Bani Israil akan terpecah belah.
Dalam surah Thaha ayat 95, Nabi Musa kemudian bertanya kepada Samiri mengenai alasan perbuatannya.
Berkata Musa: "Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?" ( QS Thaha : 95 )
Samiri menjawab: "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku". ( QS Thaha : 96 )
Ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menjelaskan ketika kaum Nabi Musa menyeberangi laut mereka tidak kuat membawa banyak perhiasan dari Bani Qibti Mesir, harta yang mereka ambil dari bala tentara Fir’aun yang tenggelam.
Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas.
Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun.
Hanya saja, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Qur'an menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Allah SWT berfirman:
Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). ( QS Thaha : 97 )
Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi.
Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya.
Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Penghasut Kesesatan
Samiri disebut Al-Qur'an sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Qur'an menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Qur'an adalah sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah.
Al-Qur'an bahkan mengisahkannya sebagai seorang penghasut kesesatan bagi teman-temannya, umat Nabi Musa, sehingga ia disebut sebagai pengkhianat.
Para mufassir pun mulai menyingkap identitas Samiri hingga beberapa riwayat israiliyyat juga ikut meramaikannya.
Mengenai penafsiran ayat Al-Quran yang menyebutkan lafadz “samiry”, Quraish Shihab menjelaskan kata tersebut diambil dari lafadz “samirah”.
Kata “samirah” tersebut adalah nama dari salah satu suku Bani Israil, sehingga Samiri merujuk pada salah seorang dari suku Samirah.
Disebutkan juga oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya al-Tahwir wa al-Tanwir bahwa suku tersebut bermukim di Palestina. Kemudian mereka berbaur dengan Bani Israil lalu mengikuti ajaran Nabi Musa meskipun dengan beberapa cara yang berbeda dengan Bani Israil.
Al-Qurthubi menyatakan tiga pendapat mengenai Samiri ini.
Pertama, ia merujuk riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa dulunya Samiri berasal dari suatu kaum yang menyembah anak sapi.
Kemudian ia datang ke Mesir dan masuk agama Bani Israil meskipun dalam batinnya mereka masih senang menyembah anak sapi.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Samiri berasal dari suku Qibti, ia tetangga Nabi Musa, lalu beriman kepadanya dan ikut bersama Nabi Musa lari dari kejaran Fir’aun.
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa Samiri adalah seorang pemuda Bani Israil yang berasal dari kabilah Samirah, yaitu penduduk Karman yang tinggal di Syam.
Terlepas dari perbedaan asal mengenai Samiri, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyimpulkan inti bahwa Samiri merupakan orang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Nabi Musa secara lahir saja.
Dalam hatinya Samiri bermaksud melakukan tipu daya terhadap pengikut Nabi Musa yang lemah imannya untuk diajak menyembah selain Allah, yaitu anak sapi.
Allah SWT berfirman:
قَالَ فَإِنَّا قَدْ فَتَنَّا قَوْمَكَ مِنْ بَعْدِكَ وَأَضَلَّهُمُ السَّامِرِيُّ
Allah berfirman: "Maka sesungguhnya Kami telah menguji kaummu sesudah kamu tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri. ( QS Thaha : 85 )
Dalam ayat ini Allah mengisahkan cerita Nabi Musa yang, menurut Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran, sedang mengalami ujian dari-Nya, berupa fitnah.
Quraish Shihab menyatakan bahwa lafadz “fatannaa” pada ayat tersebut adalah jamak, yang itu mengisyaratkan bahwa adanya keterlibatan makhluk Allah dalam ujian tersebut. Artinya, bukan Allah yang menyesatkan kaum tersebut secara langsung melainkan adanya hasutan dari Samiri.
Fitnah tersebut dimulai tatkala Nabi Musa menunaikan janjinya kepada Rabbnya untuk bermunajat yang menurut penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Ahdim selama empat puluh malam seraya berpuasa sepanjang hari.
Sekembalinya Nabi Musa dari bermunajat, ia sangat marah karena mendapati kaumnya yang tidak lagi menyembah Allah SWT, malah menyembah patung anak sapi.
Allah taala berfirman:
قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا
أَلَّا تَتَّبِعَنِ ۖ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
أَلَّا تَتَّبِعَنِ ۖ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
Berkata Musa: "Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?" ( QS Thaha : 92-93 )
Pada ayat tersebut Nabi Musa marah kepada Nabi Harun. Ia bertanya kepada saudaranya tersebut mengapa ia membiarkan ketika melihat kesesatan kaumnya, padahal Nabi Harun sebelumnya telah diamanahi tampuk kepemimpinan risalah sepanjang Nabi Musa bermunajat.
Dalam surah Thaha ayat 94 Harun menjawab:
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي ۖ إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي
Harun menjawab' "Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): "Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku". ( QS Thaha : 94 )
Nabi Harun menjawab pertanyaan Nabi Musa tersebut dengan penuh hormat.
Menurut penuturan Ibnu Katsir, Nabi Harun meminta maaf akan hal tersebut seraya memberi penjelasan bahwa jika ia datang menemui Nabi Musa untuk melaporkan hal ini, bisa dipastikan kaumnya Bani Israil akan terpecah belah.
Dalam surah Thaha ayat 95, Nabi Musa kemudian bertanya kepada Samiri mengenai alasan perbuatannya.
قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ
Berkata Musa: "Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?" ( QS Thaha : 95 )
قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَٰلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي
Samiri menjawab: "Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku". ( QS Thaha : 96 )
Ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menjelaskan ketika kaum Nabi Musa menyeberangi laut mereka tidak kuat membawa banyak perhiasan dari Bani Qibti Mesir, harta yang mereka ambil dari bala tentara Fir’aun yang tenggelam.
Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas.
Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.
Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun.
Hanya saja, Buya Hamka menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.
Al-Qur'an menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Allah SWT berfirman:
قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَنْ تَقُولَ لَا مِسَاسَ ۖ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَنْ تُخْلَفَهُ ۖ وَانْظُرْ إِلَىٰ إِلَٰهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۖ لَنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنْسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا
Berkata Musa: "Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan: "Janganlah menyentuh (aku)". Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). ( QS Thaha : 97 )
Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi.
Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya.
Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.
Penghasut Kesesatan
Samiri disebut Al-Qur'an sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Qur'an menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Qur'an adalah sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah.
Al-Qur'an bahkan mengisahkannya sebagai seorang penghasut kesesatan bagi teman-temannya, umat Nabi Musa, sehingga ia disebut sebagai pengkhianat.
Para mufassir pun mulai menyingkap identitas Samiri hingga beberapa riwayat israiliyyat juga ikut meramaikannya.
Mengenai penafsiran ayat Al-Quran yang menyebutkan lafadz “samiry”, Quraish Shihab menjelaskan kata tersebut diambil dari lafadz “samirah”.
Kata “samirah” tersebut adalah nama dari salah satu suku Bani Israil, sehingga Samiri merujuk pada salah seorang dari suku Samirah.
Disebutkan juga oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya al-Tahwir wa al-Tanwir bahwa suku tersebut bermukim di Palestina. Kemudian mereka berbaur dengan Bani Israil lalu mengikuti ajaran Nabi Musa meskipun dengan beberapa cara yang berbeda dengan Bani Israil.
Al-Qurthubi menyatakan tiga pendapat mengenai Samiri ini.
Pertama, ia merujuk riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa dulunya Samiri berasal dari suatu kaum yang menyembah anak sapi.
Kemudian ia datang ke Mesir dan masuk agama Bani Israil meskipun dalam batinnya mereka masih senang menyembah anak sapi.
Pendapat kedua mengatakan bahwa Samiri berasal dari suku Qibti, ia tetangga Nabi Musa, lalu beriman kepadanya dan ikut bersama Nabi Musa lari dari kejaran Fir’aun.
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa Samiri adalah seorang pemuda Bani Israil yang berasal dari kabilah Samirah, yaitu penduduk Karman yang tinggal di Syam.
Terlepas dari perbedaan asal mengenai Samiri, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyimpulkan inti bahwa Samiri merupakan orang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Nabi Musa secara lahir saja.
Dalam hatinya Samiri bermaksud melakukan tipu daya terhadap pengikut Nabi Musa yang lemah imannya untuk diajak menyembah selain Allah, yaitu anak sapi.
(mhy)