Tasawuf dan Ketiadaan

Rabu, 08 Desember 2021 - 17:10 WIB
Dalam posisi manusia yang non eksisten ini, maka manusia, menurut Al Ghazali, hanya mampu menangkap rahman dan rahim Allah, dan bukan wujud mutlak-Nya. Dalam keadaan ini, bagi penganut Ghazalian, Allah dipahami bukan dalam wujud-Nya, melainkan dalam sifat-Nya yaitu Rahim dan Rahim-Nya. Sifat kasih-sayang-Nya yang ditanamkan dan dirasakan oleh manusia sebagai wujud relatif.

Negativitas Allah adalah dalam wujud-Nya, ketidakmampuan manusia dalam konstruksi relatifnya untuk memahami-Nya dalam wujud. Kehadiran-Nya yang mutlak menjadikan manusia berada dalam ketiadaan mutlak. Dia yang ada dalam ketiadaan-Nya, sekaligus yang tiada dalam keadaan-Nya.

Hukum-hukum Allah yang dihadirkan oleh-Nya adalah keadaan-Nya dalam ketiadaan-Nya. Bahwa hukum-hukum Allah dihadirkan untuk menunjukkan eksistensi kemutlakan-Nya dalam ketiadaan-Nya. Dia yang hadir mutlak dalam ketiadaan. Mengapa manusia memahami sebagai ketiadaan, sedangkan Dia adalah wujud mutlak? Tidak lain karena buah relativitas eksistensi manusia yang mengada. Dia yang tiada dalam ontologi-Nya, tetapi Dia ada dalam epistemologi-Nya. Dia yang ada sekaligus tiada, karena dia bukan makhluk, melainkan al-Haqq yang mutlak dalam eksistensi-Nya.

Puncak dari eksistensi manusia kesadaran akan posisi non eksistensi manusia itu sendiri. Manusia berada dalam ketiadaan makna, ketiadaan peran di hadapan Allah dan semesta alam. Begitu kecil dirinya di hadapan alam semesta yang seakan tak bertepi, betapa kecilnya ia di hadapan ombak laut yang mengganas, sedangkan alam semesta ini begitu kecil di hadapan Allah, lalu apa makna dan hakikat manusia itu sendiri? Menyadari ketiadaan adalah memahami keagungan Allah itu sendiri.

Tasawuf mengajak manusia memahami ketiadaan dirinya di hadapan diri-Nya. Manusia adalah bentuk sosok eksistens karena ia adalah khalifah, sebuah citra bentuk yang paling sempurna untuk menjelaskan eksistensi Allah itu sendiri. Dalam eksistensi struktur tubuh manusia terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya. Di dalam dirinya terdapat cahaya Allah berupa rahman dan rahim yang menjadikannya eksis.

Dalam diri manusia sekaligus menunjukkan sebuah non-eksisten. Manusia juga sebagai zat yang tak memiliki makna, karena sesungguhnya selain-Nya hanyalah wujud ketiadaan dan ketidakabadian. Selain-Nya adalah noneksisten, jikalau dinyatakan ada, maka kehadiran makhluk tak bermakna yang diadakan dan dihadirkan oleh-Nya. Manusia yang tak memiliki kemampuan untuk hadir atas kehendaknya sendiri dan menjelaskan kekuasaan ontologis Allah dalam konstruksi nalar yang terbangun. Akankah eksistensi ego mampu memahami hal ini?
(abd)
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
لَـتَجِدَنَّ اَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِّـلَّذِيۡنَ اٰمَنُوا الۡيَهُوۡدَ وَالَّذِيۡنَ اَشۡرَكُوۡا‌ ۚ وَلَـتَجِدَنَّ اَ قۡرَبَهُمۡ مَّوَدَّةً لِّـلَّذِيۡنَ اٰمَنُوا الَّذِيۡنَ قَالُوۡۤا اِنَّا نَصٰرٰى‌ ؕ ذٰ لِكَ بِاَنَّ مِنۡهُمۡ قِسِّيۡسِيۡنَ وَرُهۡبَانًا وَّاَنَّهُمۡ لَا يَسۡتَكۡبِرُوۡنَ‏
Pasti akan kamu dapati orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan pasti akan kamu dapati orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya kami adalah orang Nasrani. Yang demikian itu karena di antara mereka terdapat para pendeta dan para rahib, (juga) karena mereka tidak menyombongkan diri.

(QS. Al-Maidah Ayat 82)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More