Tasawuf dan Ketiadaan

Rabu, 08 Desember 2021 - 17:10 WIB
Fokky Fuad Wasitaatmadja. FOTO/DOK.PRIBADI
Fokky Fuad Wasitaatmadja

Dosen Universitas Al Azhar Indonesia

TASAWUF adalah sebuah bentuk pembebasan manusia atas segala ketergantungan dari selain Allah. Eksistensi adalah bentuk dari segala hal menjadi ada, dan manusia selalu berupaya menunjukkan ke'ada'annya atau hadirnya melalui beragam simbol yang ia hadirkan.

Untuk itu makna kata 'ada' atau eksisten selalu dikedepankan untuk mewujudkan hadirnya manusia. Ia menunjukkan ragam simbol yang dihadirkan, apakah ia wujudkan dalam wujud-wujud kebendaan hingga abstraksi logika. Gerak akal adalah upaya untuk unjuk keadaan hadir manusia.

Ilmu pengetahuan sejak awal selalu diletakkan untuk mewujudkan atau menjadikan atau menghadirkan segala ketidaktahuan manusia menjadi hal yang dapat dipahami. Ilmu menjadi sebuah sarana eksistensi atas segenap objek semesta. Tabir rahasia yang selama ini tak terangkai dan tak dipahami dicoba untuk dihadirkan melalui rangkaian logika hingga ragaan inderawi manusia.

Baca juga: Pengertian Tasawuf dan Manfaat Mempelajarinya



Segenap komponen akal yang terdapat dalam konstruksi tubuh manusia berupaya menghadirkan segenap objek menjadi eksisten atau hadir. Untuk itu ilmu pengetahuan adalah cahaya yang menerangi ketidaktahuan atas sebuah objek. Ilmu bagi seorang Suhrawardi al Maqtul tidak sekedar logika melainkan juga intuisi cahaya Tuhan yang bekerja menguak segenap tabir rahasia semesta.

Ketika segenap objek dijelaskan, maka segala hal menjadi terang. Segala hal menjadi jelas karena cahaya ilmu mampu mewujudkan segala yang ada dalam tabir rahasia menjadi benderang. Tasawuf memiliki peran penting dalam mewujudkan ide-ide kehadiran dan eksistensi baik Tuhan dan semesta alam.

Lalu bagaimana dengan ketiadaan? Apakah makna ketiadaan? Apakah ketiadaan yang dapat dijelaskan berarti menunjukkan sebuah keadaan dan dapat dinyatakan sebagai ada? Manusia yang hadir dalam ruang kosmologi Ibn Arabi, hakikatnya penuh dengan ketiadaan. Sebuah konstruksi bahwa manusia adalah wujud ketiadaan.

Ketika keadaan atau hal yang dapat dinyatakan sebagai sesuatu yang ada itu dapat dijelaskan melalui rangkaian pemikiran serta kalimat, lalu bagaimana menjelaskan sebuah ketiadaan? Ketiadaan sering kali bermakna sebagai sebuah kehilangan eksistensi, hilangnya kehadiran sebuah objek, tak bermaknanya objek.

Baca juga: Husain ibn Mansur al-Hallaj: Martir Pertama dalam Tasawuf (1)



Sebuah objek tak memiliki makna bahkan tak hadir dalam rangkaian logika ataupun rabaan empirisme inderawi manusia. Ketiadaan hanya dapat dipahami atau dirasakan. Hilangnya sebuah eksistensi, yang beruwujud menjadi sebuah keheningan tanpa bisa dibentuk menjadi sebuah susunan kata atau kalimat.

Tasawuf dan Pemahaman atas Ketiadaan

Ketiadaan walau begitu sulit untuk dirangkaikan setidaknya ada gapaian rasa untuk mencoba menguak tabir ketiadaan (non exsistensi). Ketiadaan ditujukan kepada manusia dan juga manusia dalam metode tasawuf, walaupun tasawuf telah secara gemilang telah melahirkan konstruksi eksistensi.

Tasawuf non eksistensi dengan konsep negativa merujuk pada sebuah ide tentang ketiadaan manusia dan semesta. Sosok hadirnya manusia dan alam semesta dalam rangkaian eksistensi yang tercipta atas kehendak Allah, sekaligus menunjukkan non eksistensi manusia dan alam semesta itu sendiri.

Dalam teologi negatif Ibn Arabi, manusia dan alam adalah ketiadaan. Manusia dengan segenap kekuatan akal dan kemampuan untuk mengkonstruksi peradaban, bahkan merekayasa segenap alam yang dapat ia tundukkan hanyalah sebuah sosok-sosok wujud ketiadaan.

Manusia adalah maujud atas eksistensi Allah, dan kehidupan manusia hanyalah sendau gurau dan permainan semata. Kehidupan yang ia jalani hanyalah konstruksi imajinasi dan tidak nyata. Konstruksi imajinasi ini akan menghilang dan manusia menjadi eksisten ketika ia telah berada dalam alam kematiannya.

Eksistensi manusia adalah non eksistensi bagi Allah, maka dalam perspekstif Ibn Arabi, bagaimana manusia dapat mensifati Allah sebagai eksistensi mutlak, wujud wajib, sekaligus wujud mutlak? Ketiadaan manusia yang hanya bagai bayang-bayang dari hadirnya sebuah eksistensi yang sesungguhnya yaitu Allah, lalu bagaimana ia mampu menentukan kehendak-Nya sesuai dengan perspektif rasionalitas manusia yang non eksisten?
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
اَوَلَا يَرَوۡنَ اَنَّهُمۡ يُفۡتَـنُوۡنَ فِىۡ كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً اَوۡ مَرَّتَيۡنِ ثُمَّ لَا يَتُوۡبُوۡنَ وَلَا هُمۡ يَذَّكَّرُوۡنَ
Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, namun mereka tidak (juga) bertobat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?

(QS. At-Taubah Ayat 126)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More