Cara Menentukan Waktu Sholat di Kutub dan Wilayah Abnormal Lainnya

Kamis, 16 Desember 2021 - 09:22 WIB
2. Kawasan II yang terletak antara 48-66 derajat LU-LS, dimana fenomena astronomi tidak muncul selama beberapa hari dalam setahun seperti tidak hilangnya mega (senja) ketika masuknya waktu isya, dan tidak hilangnya batas waktu maghrib sampai masuknya waktu fajar.

3. Kawasan III yang terletak antara 66-up derajat LU-LS, di mana tidak muncul tanda-tanda rotasi matahari dan memanjangnya waktu siang atau waktu malam sampai berbulan-bulan.



Dengan melihat fenomena alam di atas, maka Dewan Majelis Fiqh Islam memfatwakan:

1. Hukum kawasan I: dalam menentukan waktu shalat hendaknya penduduk di daerah menyesuaikan dengan waktu-waktu yang disyariatkan (mengikuti peredaran matahari), begitu pula dengan waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan barang siapa yang tidak mampu menyelesaikan ibadah puasanya karena terlalu panjang waktu siangnya, maka boleh berbuka dan menggantinya pada waktu yang lain.

2. Hukum kawasan II: waktu sholat isya dan fajar adalah dianalogikan dengan waktu terdekat, dan dewan majelis mengusulkan agar disamakan dengan waktu pada daerah 45 derajat. Misalnya jika waktu isya dimulai setelah 1/3 malam pada daerah 45 derajat, maka waktu isya dalam kawasan kedua ini juga dimulai setelah 1/3 malam. Begitu juga dalam menentukan waktu fajar.

3. Hukum kawasan III : penentuan waktu sholat dikira-kirakan dengan waktu pada kawasan I (45 derajat). Oleh karena itu, dalam penentuan waktu shalat pada kawasan ini, harus dikira-kirakan kapan waktu fajar, shubuh, asar, dzuhur, maghrib, dan isya’ dengan kondisi pada kawasan I. artinya tidak mengikuti pergerakan matahari, tetapi mengikuti pergerakan jam.

Kesimpulan

Bagi daerah yang abnormal dan ekstrim (seperti di kutub dimana siang dan malam masing-masing terjadi selama 6 bulan) maka dalam melaksanakan kewajiban shalat 5 waktu dan juga puasa dapat diperincikan sebagai berikut:

1. Hukum kawasan I (45-48 derajat LU-LS) Dalam menentukan waktu shalat hendaknya penduduk di daerah menyesuaikan dengan waktu-waktu yang disyariatkan (mengikuti peredaran matahari), begitu pula dengan waktu berpuasa dimulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dan barang siapa yang tidak mampu menyelesaikan ibadah puasanya karena terlalu panjang waktu siangnya, maka boleh berbuka dan menggantinya pada waktu yang lain.

2. Hukum kawasan II (48-66 derajat LU-LS ) waktu sholat isya dan fajar adalah dianalogikan dengan waktu terdekat, dan majlis mengusulkan agar disamakan dengan waktu pada daerah 45 derajat. Misalnya jika waktu isya dimulai setelah 1/3 malam pada daerah 45 derajat, maka waktu isya dalam kawasan kedua ini juga dimulai setelah 1/3 malam. Begitu juga dalam menentukan waktu fajar.

3. Hukum kawasan III (66-up derajat LU-LS) Penentuan waktu shalat dikira-kirakan dengan waktu pada kawasan I (45 derajat). Sederhananya bisa dikira-kira berapa jam jarak antara Shubuh – Dhuhur - Ashar - Maghrib – Isya’.

Sedangkan pendapat lainnya penentuan waktu sholat didasarkan pada daerah terdekat atau disesuaikan dengan Makkah dan Madinah. Wallahu a’lam bi shawab.



Menghilangkan Kesukaran

Pada prinsipnya ajaran Islam sesuai dengan tujuan pensyariatan agama mengandung substansi menghilangkan kesukaran (Adamul Kharaj). Rasulullah pun bersabda bahwasanya agama itu mudah namun jangan dipermudah.

Artinya, esensi karakteristik ajaran Islam adalah kemudahan. Hal ini tentunya membawa konsekuensi terhadap ajaran agama itu sendiri, agar tetap dapat dijalankan dengan baik dan benar.

Dalam prinsip tasyri’ fikih Islam dikenal pula istilah taqlilu takalif (meringankankan beban) hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah, terkait dengan pelaksanaan ajaran agama:

“Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali apa yang dia mampu untuk mengerjakannya”. ( QS Al-Baqarah : 286)

Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Handlalah bin Ali bahwa Mihjan bin Al Adra' telah menceritakan kepadanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam masjid, lalu beliau mendapati seorang laki-laki membaca tasyahud seusai shalat yang mengucapkan: Allahumma inni as'aluka Ya Allah Al Ahad As Shamad alladzii lam yalid wa lam yuulad walam yakul lahuu kufuwan ahad antaghfira lii dzunuubi innaka antal ghafuurur rakhiim (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, Dzat yang Maha Esa, Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Maka beliau bersabda: Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 835)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More