Hukum Pakaian yang Terkena Keputihan, Najis atau Tidak?
Selasa, 21 Desember 2021 - 12:29 WIB
Hukum pakaian yang terkena keputihan , najis atau tidak? Bagaimana menurut pandangan syariat? Dalam Islam, keputihan atau ifrazat adalah lendir yang umumnya bening, keluar dari organ reproduksi wanita, namun bukan madzi dan mani, baik karena syahwat maupun ketika aktivitas normal. Baik yang bersifat normal maupun karena penyakit.
Para ulama menjelaskan hukum keputihan (ifrazat) sebagaimana ruthubah (lendir yang selalu membasahi organ reproduksi wanita). Dalam madzhab Abu Hanifah, Imam Ahmad dan salah satu pendapat dari Imam Asy-Syafi’i dan dikuatkan pula oleh Imam Nawawi, bahwa cairan keputihan itu suci. Penulis kitab al-Hawi mengatakan, ‘Imam as-Syafi'i menegaskan dalam sebagian kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya suci.’ (al-Majmu’, 2/570). Dalilnya berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu'anha.
Ketika dijelaskan tentang masalah keputihan dalam 'matan Zaad Al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memilih pendapat yang menyatakan suci. Seperti dilansir laman rumahsyo, beliau mengutarakan bahwa farji (kemaluan) itu punya dua saluran.
Saluran pertama adalah saluran zakar (reproduksi) yang ini bersambung hingga ke rahim dan tidak terkait dengan saluran kencing maupun kandung kemih, keluarnya di bagian bawah saluran kencing. Saluran kedua adalah saluran kencing, ini akan bersambung dengan kandung kemih dan keluar di atas kemaluan.
Jika cairan itu keluar dari kandung kemih lewat saluran kencing, maka hukumnya itu najis. Hukum cairan yang keluar seperti itu adalah seperti hukum air kencing, yaitu najis .
Jika cairan itu keluar dari saluran reproduksi, maka tergolong suci. Karena cairan tersebut bukanlah dari sisa pencernaan makan dan minum sebagaimana kencing. Hukum asalnya adalah tidak najis sampai adanya dalil. Juga dikarenakan ketika seorang suami bersenggama dengan istrinya, ia tidak harus untuk mencuci kemaluannya atau pula pakaian yang tercemari mani. Mani itu tidak najis. Sama pula dengan cairan yang keluar dari saluran reproduksi yang dibahas di atas. (Syarh Al-Mumthi’, 1: 457)
Kesimpulannya, keputihan tidaklah najis dan tidak wajib membersihkan pakaian yang terkena keputihan.
Wallahu A'lam
Para ulama menjelaskan hukum keputihan (ifrazat) sebagaimana ruthubah (lendir yang selalu membasahi organ reproduksi wanita). Dalam madzhab Abu Hanifah, Imam Ahmad dan salah satu pendapat dari Imam Asy-Syafi’i dan dikuatkan pula oleh Imam Nawawi, bahwa cairan keputihan itu suci. Penulis kitab al-Hawi mengatakan, ‘Imam as-Syafi'i menegaskan dalam sebagian kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya suci.’ (al-Majmu’, 2/570). Dalilnya berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu'anha.
Ketika dijelaskan tentang masalah keputihan dalam 'matan Zaad Al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin memilih pendapat yang menyatakan suci. Seperti dilansir laman rumahsyo, beliau mengutarakan bahwa farji (kemaluan) itu punya dua saluran.
Saluran pertama adalah saluran zakar (reproduksi) yang ini bersambung hingga ke rahim dan tidak terkait dengan saluran kencing maupun kandung kemih, keluarnya di bagian bawah saluran kencing. Saluran kedua adalah saluran kencing, ini akan bersambung dengan kandung kemih dan keluar di atas kemaluan.
Jika cairan itu keluar dari kandung kemih lewat saluran kencing, maka hukumnya itu najis. Hukum cairan yang keluar seperti itu adalah seperti hukum air kencing, yaitu najis .
Jika cairan itu keluar dari saluran reproduksi, maka tergolong suci. Karena cairan tersebut bukanlah dari sisa pencernaan makan dan minum sebagaimana kencing. Hukum asalnya adalah tidak najis sampai adanya dalil. Juga dikarenakan ketika seorang suami bersenggama dengan istrinya, ia tidak harus untuk mencuci kemaluannya atau pula pakaian yang tercemari mani. Mani itu tidak najis. Sama pula dengan cairan yang keluar dari saluran reproduksi yang dibahas di atas. (Syarh Al-Mumthi’, 1: 457)
Kesimpulannya, keputihan tidaklah najis dan tidak wajib membersihkan pakaian yang terkena keputihan.
Wallahu A'lam
(wid)