Tafsir Ayat Poligami dalam Kisah Imam Abu Hanifah dan Khalifah Al-Mansur
Kamis, 10 Maret 2022 - 10:10 WIB
Pertama, membolehkan poligami dengan batas maksimal sembilan istri sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Zhahiriyah, Ibn As-Sabbagh, Al-Umrani, Al-Qasim bin Ibrahim dan sebagian kelompok Syiah. Meskipun ada hadits yang melarang sahabat Nabi untuk menikah lebih dari empat istri, kelompok ini tetap pada pendapatnya.
Menurut mereka hadits tersebut harus dipahami dalam satu konteks, misalnya ada hubungan nasab, susuan dan sebab syar’i lainnya. Maka tidak heran jika Nabi memerintah para sahabat saat itu untuk menceraikan istri-istrinya hingga tersisa empat.
Kedua, ulama yang menoleransi poligami dalam keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud berbeda-beda, misal sang sitri mandul, sang istri sakit atau ada dalam keadaan yang membuatnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya.
Al-Maraghi dan M Quraish Shihab menambah kriteria darurat tersebut dengan keadaan seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri sudah menopause sementara suami masih ‘segar’, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.
Ketiga, ulama yang hanya menoleransi poligami pada zaman Nabi. Para pemikir Islam di kelompok ini beralasan bahwa toleransi ini diberikan bukan karena adanya keadaan darurat seperti pandangan kelompok kedua, tetapi lebih karena Al-Quran tidak mungkin menghapus praktik poligami secara sekaligus. Oleh karena itu cara yang strategis adalah dengan pelan-pelan, dimulai dengan membatasi jumlah poligami serta dengan syarat yang tidak mudah.
Nama-nama tokoh seperti Fazlur Rahman, Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir ada di kelompok ketiga. Mereka juga berpandangan bahwa tujuan syariah dari pernikahan itu monogami, bukan poligami.
Hal ini didasarkan pada ayat 129 surat An-Nisa’ ,
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat 129 ini juga menjadi tafsir ayat poligami di ayat sebelumnya, yaitu ayat 3. Berdasar pada ayat ini, diketahui secara tekstual bahwa adil sebagai syarat poligami di ayat 3 sangat sulit atau bahkan tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh seorang suami.
Hanya saja, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam "Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram" tidak menafsirkan seperti itu. Menurutnya, dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama (An-Nisa ayat 3) tidak dinasakh oleh ayat yang kedua (An-Nisa' ayat 129), akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah.
Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia.
Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah SWT dalam do’a:
اَللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ , فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
“Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
Menurut mereka hadits tersebut harus dipahami dalam satu konteks, misalnya ada hubungan nasab, susuan dan sebab syar’i lainnya. Maka tidak heran jika Nabi memerintah para sahabat saat itu untuk menceraikan istri-istrinya hingga tersisa empat.
Kedua, ulama yang menoleransi poligami dalam keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud berbeda-beda, misal sang sitri mandul, sang istri sakit atau ada dalam keadaan yang membuatnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya.
Al-Maraghi dan M Quraish Shihab menambah kriteria darurat tersebut dengan keadaan seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri sudah menopause sementara suami masih ‘segar’, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.
Ketiga, ulama yang hanya menoleransi poligami pada zaman Nabi. Para pemikir Islam di kelompok ini beralasan bahwa toleransi ini diberikan bukan karena adanya keadaan darurat seperti pandangan kelompok kedua, tetapi lebih karena Al-Quran tidak mungkin menghapus praktik poligami secara sekaligus. Oleh karena itu cara yang strategis adalah dengan pelan-pelan, dimulai dengan membatasi jumlah poligami serta dengan syarat yang tidak mudah.
Nama-nama tokoh seperti Fazlur Rahman, Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir ada di kelompok ketiga. Mereka juga berpandangan bahwa tujuan syariah dari pernikahan itu monogami, bukan poligami.
Hal ini didasarkan pada ayat 129 surat An-Nisa’ ,
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat 129 ini juga menjadi tafsir ayat poligami di ayat sebelumnya, yaitu ayat 3. Berdasar pada ayat ini, diketahui secara tekstual bahwa adil sebagai syarat poligami di ayat 3 sangat sulit atau bahkan tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh seorang suami.
Hanya saja, Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam "Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram" tidak menafsirkan seperti itu. Menurutnya, dalam dua ayat tersebut tidak ada pertentangan dan ayat yang pertama (An-Nisa ayat 3) tidak dinasakh oleh ayat yang kedua (An-Nisa' ayat 129), akan tetapi yang dituntut dari sikap adil adalah adil di dalam membagi giliran dan nafkah.
Adapun sikap adil dalam kasih sayang dan kecenderungan hati kepada para istri itu di luar kemampuan manusia.
Oleh sebab itu ada sebuah hadits dari Aisyah ra bahwasanya Rasulullah SAW telah membagi giliran di antara para istrinya secara adil, lalu mengadu kepada Allah SWT dalam do’a:
اَللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ , فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ
“Ya Allah inilah pembagian giliran yang mampu aku penuhi dan janganlah Engkau mencela apa yang tidak mampu aku lakukan” [Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]
(mhy)