Detik-Detik Menjelang Runtuhnya Daulah Umayyah dan Berdirinya Daulah Abbasiyah
Selasa, 22 Maret 2022 - 05:15 WIB
Abu al-'Abbas Abdullah bin Muhammad as-Saffah (721-754) merupakan khalifah pertama Bani Abbasiyah . Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul-Muththalib bin Hasyim. Abu Abbas menumbangkan Dinasti Umayyah saat dipimpin oleh Marwan II. Gerakan Bani Abbasiyah yang paling kuat pada awalnya adalah di wilayah Persia.
Kisah berikut meceritakan bagaimana Abul Abbas menyusun kekuatan dan melakukan perebutan kekuasaan menjelang tumbangnya Daulah Umayyah digantikan Daulah Abbasiyah.
Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" menceritakan pada hari itu, Jumat tanggal 13 Rabiul Awal, Abul Abbas menunaikan sholat Jumat bersama penduduk Kufah. Dalam khutbahnya setelah memuji dan bersyukur kepada Allah SWT, ia menyatakan merasa bangga karena kekerabatannya dengan Rasulullah SAW.
Lalu menyebut khulafaurrasyidin dan memuji mereka, seraya menyatakan perang terhadap Bani Harb dan Bani Marwan atas sikap dan kezaliman mereka.
Lalu ia berkata, “Sungguh aku berharap agar kalian tidak mendapatkan pemimpin jahat ketika datang kepada kalian yang baik, dan tidak memilih pemimpin yang rusak ketika datang yang terpuji. Tiada yang dapat memberikan pertolongan kepada kami Ahlul Bait, kecuali Allah."
"Wahai penduduk Kufah, kalian adalah tumpuhan cinta kami dan tempat kami mendapatkan kasih sayang. Kalian adalah orang-orang yang tidak berubah mencintai kami, dan tidak menjauhkan kalian dari kami, dan mampu bertahan hidup dari pemimpin yang jahat hingga kalian mendapati masa pemerintahan kami dan Allah SWT menganugerahkan kepada kalian dengan berdirinya pemerintahan kami."
"Kalian adalah orang yang paling membahagiakan kami dan paling mulia di hadapan kami. Aku telah menambah kompensasi bagi kalian hingga seratus dirham. Karena itu, bersiaplah. Aku adalah As-Saffah Al-Mubih dan Ats-Tsa 'ir Al-Mutih!
Berdasarkan pernyataan inilah di kemudian hari ia lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah.
Kala itu, Abul Abbas As-Saffah sedang menderita sakit dan semakin parah. Ia pun duduk di atas mimbar. Sedangkan pamannya, Dawud bin Ali, naik ke mimbar. Dawud adalah sosok yang paling fasih berbicara di kalangan Bani Abbas, lalu menyampaikan khutbah.
Dalam khutbah tersebut, Dawud bin Ali berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak keluar untuk menangani masalah ini untuk memperbanyak keturunan, bukan mencari emas murni, dan tidak menggali sungai ataupun membangun istana. Melainkan keluar karena terdorong atas pelecehan mereka terhadap hak kami, kemarahan terhadap putra-putra paman kami."
"Kami tidak ingin merusak urusan kalian dan tidak pula merendahkannya. Menangani urusan kalian membuat kami menderita sakit sehingga terbaring di atas tempat tidur kami."
"Kami merasa tertekan atas sikap dan perilaku Bani Umayyah terhadap kalian, ulah mereka yang membakar rumah-rumah kalian, merendahkan martabat kalian, merampas harta benda, zakat, dan ghanimah kalian. Kalian berhak mendapatkan jaminan dari Allah dan utusan-Nya, dan jaminan Al-Abbas."
"Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya (Abul Abbas) dan berkenan membimbing kami memerintah kalian berdasarkan aturan yang diturunkan Allah agar kami dapat memimpin kalian berdasarkan Kitabullah dan dapat berinteraksi dengan rakyat, baik kelas bawah maupun kelas menengah ke atas dengan meneladani Rasulullah SAW."
Kemudian kami berjanji kepada penduduk Kufah untuk dapat memimpin mereka dengan baik dan benar, memuji penduduk Khurasan yang telah memberikan dukungan dan pengorbanan kepada Ahlul Bait dan mengembalikan hak-hak mereka.”
Di akhir khutbahnya, ia berkata, “Ingatlah, tiada seorangpun dari khalifah Rasulullah yang menaiki mimbar kalian ini, kecuali Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Amirul Mukminin Abdullah bin Muhammad -seraya memberikan isyarat dengan tangannya kepada Abul Abbas-. Karena itu ketahuilah, urusan ini berada di tangan kami hingga kami menyerahkannya kepada Isa bin Maryam.”
Setelah menyelesaikan dua khutbah dan sholat, As-Saffah keluar menuju istananya dan meminta saudaranya Abu Jafar untuk datang dan membaiat orang-orang di masjid.
Abu Jafar membaiat mereka hingga sholat Ashar bersama dan dilanjutkan sholat Maghrib. Menjelang malam tiba, As-Saffah pun masuk. Setelah itu, Abul Abbas As-Saffah keluar menuju pangkalan militer di Hamam Al-A'yun dan memberikan mandat kepada pamannya, Dawud bin Ali, untuk melaksanakan tugas pemerintahannya di Kufah.
Menyerang Marwan
Setelah mereka berhasil meraih pencapaian ini, maka mereka pun memutuskan untuk menyerang pasukan Khalifah Dinasti Umayyah, Marwan bin Muhammad di Wasith, kota yang terletak antara Bashrah dan Kufah.
Kala itu, Marwan berada di Harran yang didukung dengan kekuatan besar. Kemudian ia bergerak dari kota itu menuju Mosul. Abul Abbas memilih salah satu dari anggota keluarganya, yaitu pamannya Abdullah bin Ali sebagai komandan militer yang terpilih untuk melawan Marwan bin Muhammad.
Medan pertempuran kedua belah pihak berada di sungai Az-Zab Al-Ala, yang merupakan salah satu cabang dari sungai Tigris dari arah timur. Pertempuran tersebut sangat sengit dan berakhir dengan kemenangan Abdullah bin Ali dan pasukannya.
Marwan bin Muhammad sendiri berhasil melarikan diri. Peristiwa itu terjadi pada sebelas hari terakhir bulan Jumadal Akhir tahun 132 H.
Marwan ketika itu didukung 120 ribu tentara, yang terdiri dari tentara pilihan dari warga Syam. Setelah mengalami kekalahan telak tersebut, Marwan melarikan diri hingga mencapai Harran, yang ketika itu dipimpin oleh sepupunya, Aban bin Yazid bin Muhammad, dan menetap di sana selama 21 hari atau lebih.
Abdullah bin Ali terus mengejar Marwan. Saat Abdullah mendekati kota tersebut, maka Marwan melarikan diri darinya bersama keluarga dan anak-anaknya.
Abdullah bin Ali pun datang dan ditemui Aban dengan berpura-pura membaiatnya dan loyal pada kelompoknya. Abdullah bin Ali memberikan jaminan keamanan kepadanya bersama orang-orang yang berada di Harran dan Al-Jazirah.
Marwan terus bergerak hingga mencapai Qannasrin, sedangkan Abdullah bin Ali bergerak menuju Himsh (Homs) hingga sampai di Damaskus, yang dipimpin oleh Al-Walid bin Muawiyah bin Marwan.
Ketika Marwan merasakan bahwa Abdullah bin Ali semakin dekat, maka ia meninggalkannya. Lalu Abdullah datang dan menaklukkannya setelah melalui pertempuran sengit karena perlawanan rakyatnya dan Al-Walid bin Muawiyah sendiri terbunuh.
Setelah itu, Marwan bin Muhammad bergerak menuju Yordania dan Palestina, lalu dilanjutkan hingga sampai di Fusthath. Kemudian dari Fusthath bergerak menuju Bushair, yaitu sebuah perkampungan yang merupakan pusat kota Al-Wasithi di Bani Suwaif.
Adapun Abdullah bin Ali, ia mendapatkan surat dari Abul Abbas As-Saffah, yang memerintahkannya untuk mengirimkan Shaleh bin Ali agar mengejar Marwan bin Muhammad.
Shaleh bin Ali segera bergerak pada bulan Dzulqaidah tahun 132 H dengan menelusuri pesisir pantai dan berlayar mengikuti jejaknya hingga mencapai Mesir. Dari Mesir ini Shaleh bin Ali bergerak menuju Bushair. Di sana lah ia membunuh Marwan bin Muhammad pada tiga hari terakhir di bulan Dzulhijjah tahun 132 H.
Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad ini, maka berakhirlah pemerintahan Dinasti Umayyah di wilayah Timur dan pondasi negara Abbasiyah semakin kuat.
Sedangkan Yazid bin Umair bin Hubairah ketika mengalami kekalahan dari pasukan Khurasan, ia bergerak ke Wasith dan membuat benteng di sana. Penasehatnya memberi masukan kepadanya agar bergerak ke Kufah untuk bertempur hingga ia terbunuh atau meraih kemenangan.
Mereka juga memperingatkannya di Wasith agar tidak menjadi tawanan dalam sebuah blokade militer. Tiada yang terjadi dalam blokade tersebut, kecuali pembunuhan. Akan tetapi Yazid bin Umair menentang saran tersebut.
Abu Salamah segera memobilisasi pasukannya di bawah komando Al-Hasan bin Quhthubah hingga terjadilah beberapa peperangan di antara mereka. Setelah itu, Ibnu Hubairah bersama pengikutnya bertahan di benteng-benteng mereka.
Ketika waktu berjalan beberapa lama, Abul Abbas mengirimkan saudaranya Abu Jafar untuk memimpin sebuah pasukan hingga terjadilah pertempuran sengit antara pasukan dari kedua belah pihak. Mereka terus bertempur sengit selama sepuluh bulan lamanya.
Ketika Ibnu Hubairah mendapat informasi tentang terbunuhnya Marwan bin Muhammad, maka ia pun memilih jalan damai hingga terjadilah pertukaran delegasi antara dirinya dengan Abu Jafar hingga ia bersedia memberikan jaminan keamanan kepadanya.
Ibnu Hubairah menulis surat jaminan selama empat puluh malam sambil berkonsultasi dengan para ulama hingga Ibnu Hubairah bisa menerimanya. Kemudian surat tersebut dikirimkan kepada Abu Jafar, yang kemudian disampaikan Abu Jafar kepada Abu As-Saffah.
Abu As-Saffah memerintahkan untuk menandatanganinya. Abu Jafar berpandangan bahwa ia harus menepati isi dokumen perjanjian tersebut. Sedangkan Abul Abbas As-Saffah tidak dapat memberikan sebuah keputusan, kecuali setelah mendapat persetujuan dari Abu Muslim Al-Khurasani.
Abu Muslim Al-Khurasani pun memberikan jawaban dengan mengatakan, “Sesunguhnya jalan yang mudah adalah jika Anda melemparkan bebatuan itu di dalamnya. Demi Allah, tiada suatu jalan kebaikan jika di dalamnya terdapat Ibnu Hubairah.”
Ketika surat tersebut telah ditulis, Ibnu Hubairah keluar menemui Abu Jafar dan menghadap kepadanya lalu berbincang-bincang sesaat. Setelah beberapa hari berlangsung, Abu Muslim memerintahkan Abu Jafar untuk membunuh Ibnu Hubairah sedangkan tinta surat tersebut belum mengering.
Ibnu Hubairah pun akhirnya dibunuh bersama beberapa pengikut seniornya. Pembunuhan ini menimbulkan duka yang mendalam pada diri Mungidz bin Abdurrahman Al-Hilali.
Dengan terbunuhnya Ibnu Hubairah, maka padamlah lampu pemerintahan Dinasti Umayyah.
Didukung Syiah dan Khawarij
Imam As-Suyuti dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa atau Sejarah Para Penguasa Islam" menjelaskan Abu al-'Abbas, didukung oleh Syi’ah, Khawarij, dan daerah Khurasan, memimpin pasukannya menang terhadap Bani Umayyah dan akhirnya menjatuhkan penguasa terakhirnya Marwan II.
Sejumlah kaum Syiah memganggap Abu al-'Abbas merupakan Mahdi yang diutus setelah 1000 tahun masa kenabian.
Sejumlah sarjana Muslim yang menonjol menulis karya seperti Jafr yang mengatakan muslimin yang setia bahwa perang saudara yang brutal merupakan konflik besar antara yang hak dan batil.
Pilihan Bani Umayyah memasuki pertempuran dengan bendera putih dan Bani Abbasiyah memasukinya dengan bendera hitam membesarkan teori-teori itu. Warna putih, bagaimanapun dianggap kebanyakan orang Persia sebagai tanda dukacita.
Mengenai bahwa ada kemungkinan kembalinya kekuatan Khilafah Bani Umayyah, Abu al-'Abbas mencari-cari seluruh anggota yang tersisa dari keluarga Umayyah untuk menghukum mati mereka. Karena usahanya untuk menyingkirkan keluarga Bani Umayyah, Abu al-'Abbas memperoleh julukan as-Saffah, atau tulisan berdarah.
Itulah yang membuat, pelarian ke al-Andalus, atau Spanyol, dipimpin oleh Abd ar-Rahman I di mana Khilafah Bani Umayyah akan bertahan selama 3 abad.
Setelah kemenangan terhadap Bani Umayyah, pemerintahan pendek Abu al-'Abbas ditandai dengan usaha mengkonsolidasi dan membangun kembali Khilafah.
Para pendukungnya diwakili dalam pemerintahan baru, namun selain dari kebijakannya terhadap keluarga Umayyah, Abu al-'Abbas secara luas dipandang sejarawan sebagai pemenang yang mendingan.
Orang-orang Yahudi, Kristen Nestorian, dan Persia secara baik diwakili dalam pemerintahan Abu al-'Abbas dan dalam meneruskan administrasi Abbasiyah. Pendudukan juga didorong, dan pabrik kertas pertama didirikan di Samarkand.
Pasukan Abu al-'Abbas sangat revolusioner. Mereka banyak dari kalangan non-Muslim dan non-Arab. Ini sangat berbeda dengan Bani Umayyah yang menolak pasukan dari 2 golongan itu.
Abu al-'Abbas meninggal pada 754, hanya 5 tahun setelah menjatuhkan Bani Umayyah. Ia digantikan saudaranya al-Mansur.
Kisah berikut meceritakan bagaimana Abul Abbas menyusun kekuatan dan melakukan perebutan kekuasaan menjelang tumbangnya Daulah Umayyah digantikan Daulah Abbasiyah.
Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" menceritakan pada hari itu, Jumat tanggal 13 Rabiul Awal, Abul Abbas menunaikan sholat Jumat bersama penduduk Kufah. Dalam khutbahnya setelah memuji dan bersyukur kepada Allah SWT, ia menyatakan merasa bangga karena kekerabatannya dengan Rasulullah SAW.
Lalu menyebut khulafaurrasyidin dan memuji mereka, seraya menyatakan perang terhadap Bani Harb dan Bani Marwan atas sikap dan kezaliman mereka.
Lalu ia berkata, “Sungguh aku berharap agar kalian tidak mendapatkan pemimpin jahat ketika datang kepada kalian yang baik, dan tidak memilih pemimpin yang rusak ketika datang yang terpuji. Tiada yang dapat memberikan pertolongan kepada kami Ahlul Bait, kecuali Allah."
"Wahai penduduk Kufah, kalian adalah tumpuhan cinta kami dan tempat kami mendapatkan kasih sayang. Kalian adalah orang-orang yang tidak berubah mencintai kami, dan tidak menjauhkan kalian dari kami, dan mampu bertahan hidup dari pemimpin yang jahat hingga kalian mendapati masa pemerintahan kami dan Allah SWT menganugerahkan kepada kalian dengan berdirinya pemerintahan kami."
"Kalian adalah orang yang paling membahagiakan kami dan paling mulia di hadapan kami. Aku telah menambah kompensasi bagi kalian hingga seratus dirham. Karena itu, bersiaplah. Aku adalah As-Saffah Al-Mubih dan Ats-Tsa 'ir Al-Mutih!
Berdasarkan pernyataan inilah di kemudian hari ia lebih dikenal dengan sebutan Abul Abbas As-Saffah.
Kala itu, Abul Abbas As-Saffah sedang menderita sakit dan semakin parah. Ia pun duduk di atas mimbar. Sedangkan pamannya, Dawud bin Ali, naik ke mimbar. Dawud adalah sosok yang paling fasih berbicara di kalangan Bani Abbas, lalu menyampaikan khutbah.
Dalam khutbah tersebut, Dawud bin Ali berkata, “Demi Allah, sesungguhnya kami tidak keluar untuk menangani masalah ini untuk memperbanyak keturunan, bukan mencari emas murni, dan tidak menggali sungai ataupun membangun istana. Melainkan keluar karena terdorong atas pelecehan mereka terhadap hak kami, kemarahan terhadap putra-putra paman kami."
"Kami tidak ingin merusak urusan kalian dan tidak pula merendahkannya. Menangani urusan kalian membuat kami menderita sakit sehingga terbaring di atas tempat tidur kami."
"Kami merasa tertekan atas sikap dan perilaku Bani Umayyah terhadap kalian, ulah mereka yang membakar rumah-rumah kalian, merendahkan martabat kalian, merampas harta benda, zakat, dan ghanimah kalian. Kalian berhak mendapatkan jaminan dari Allah dan utusan-Nya, dan jaminan Al-Abbas."
"Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya (Abul Abbas) dan berkenan membimbing kami memerintah kalian berdasarkan aturan yang diturunkan Allah agar kami dapat memimpin kalian berdasarkan Kitabullah dan dapat berinteraksi dengan rakyat, baik kelas bawah maupun kelas menengah ke atas dengan meneladani Rasulullah SAW."
Kemudian kami berjanji kepada penduduk Kufah untuk dapat memimpin mereka dengan baik dan benar, memuji penduduk Khurasan yang telah memberikan dukungan dan pengorbanan kepada Ahlul Bait dan mengembalikan hak-hak mereka.”
Di akhir khutbahnya, ia berkata, “Ingatlah, tiada seorangpun dari khalifah Rasulullah yang menaiki mimbar kalian ini, kecuali Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib dan Amirul Mukminin Abdullah bin Muhammad -seraya memberikan isyarat dengan tangannya kepada Abul Abbas-. Karena itu ketahuilah, urusan ini berada di tangan kami hingga kami menyerahkannya kepada Isa bin Maryam.”
Setelah menyelesaikan dua khutbah dan sholat, As-Saffah keluar menuju istananya dan meminta saudaranya Abu Jafar untuk datang dan membaiat orang-orang di masjid.
Abu Jafar membaiat mereka hingga sholat Ashar bersama dan dilanjutkan sholat Maghrib. Menjelang malam tiba, As-Saffah pun masuk. Setelah itu, Abul Abbas As-Saffah keluar menuju pangkalan militer di Hamam Al-A'yun dan memberikan mandat kepada pamannya, Dawud bin Ali, untuk melaksanakan tugas pemerintahannya di Kufah.
Menyerang Marwan
Setelah mereka berhasil meraih pencapaian ini, maka mereka pun memutuskan untuk menyerang pasukan Khalifah Dinasti Umayyah, Marwan bin Muhammad di Wasith, kota yang terletak antara Bashrah dan Kufah.
Kala itu, Marwan berada di Harran yang didukung dengan kekuatan besar. Kemudian ia bergerak dari kota itu menuju Mosul. Abul Abbas memilih salah satu dari anggota keluarganya, yaitu pamannya Abdullah bin Ali sebagai komandan militer yang terpilih untuk melawan Marwan bin Muhammad.
Medan pertempuran kedua belah pihak berada di sungai Az-Zab Al-Ala, yang merupakan salah satu cabang dari sungai Tigris dari arah timur. Pertempuran tersebut sangat sengit dan berakhir dengan kemenangan Abdullah bin Ali dan pasukannya.
Marwan bin Muhammad sendiri berhasil melarikan diri. Peristiwa itu terjadi pada sebelas hari terakhir bulan Jumadal Akhir tahun 132 H.
Marwan ketika itu didukung 120 ribu tentara, yang terdiri dari tentara pilihan dari warga Syam. Setelah mengalami kekalahan telak tersebut, Marwan melarikan diri hingga mencapai Harran, yang ketika itu dipimpin oleh sepupunya, Aban bin Yazid bin Muhammad, dan menetap di sana selama 21 hari atau lebih.
Abdullah bin Ali terus mengejar Marwan. Saat Abdullah mendekati kota tersebut, maka Marwan melarikan diri darinya bersama keluarga dan anak-anaknya.
Baca Juga
Abdullah bin Ali pun datang dan ditemui Aban dengan berpura-pura membaiatnya dan loyal pada kelompoknya. Abdullah bin Ali memberikan jaminan keamanan kepadanya bersama orang-orang yang berada di Harran dan Al-Jazirah.
Marwan terus bergerak hingga mencapai Qannasrin, sedangkan Abdullah bin Ali bergerak menuju Himsh (Homs) hingga sampai di Damaskus, yang dipimpin oleh Al-Walid bin Muawiyah bin Marwan.
Ketika Marwan merasakan bahwa Abdullah bin Ali semakin dekat, maka ia meninggalkannya. Lalu Abdullah datang dan menaklukkannya setelah melalui pertempuran sengit karena perlawanan rakyatnya dan Al-Walid bin Muawiyah sendiri terbunuh.
Setelah itu, Marwan bin Muhammad bergerak menuju Yordania dan Palestina, lalu dilanjutkan hingga sampai di Fusthath. Kemudian dari Fusthath bergerak menuju Bushair, yaitu sebuah perkampungan yang merupakan pusat kota Al-Wasithi di Bani Suwaif.
Adapun Abdullah bin Ali, ia mendapatkan surat dari Abul Abbas As-Saffah, yang memerintahkannya untuk mengirimkan Shaleh bin Ali agar mengejar Marwan bin Muhammad.
Shaleh bin Ali segera bergerak pada bulan Dzulqaidah tahun 132 H dengan menelusuri pesisir pantai dan berlayar mengikuti jejaknya hingga mencapai Mesir. Dari Mesir ini Shaleh bin Ali bergerak menuju Bushair. Di sana lah ia membunuh Marwan bin Muhammad pada tiga hari terakhir di bulan Dzulhijjah tahun 132 H.
Dengan terbunuhnya Marwan bin Muhammad ini, maka berakhirlah pemerintahan Dinasti Umayyah di wilayah Timur dan pondasi negara Abbasiyah semakin kuat.
Sedangkan Yazid bin Umair bin Hubairah ketika mengalami kekalahan dari pasukan Khurasan, ia bergerak ke Wasith dan membuat benteng di sana. Penasehatnya memberi masukan kepadanya agar bergerak ke Kufah untuk bertempur hingga ia terbunuh atau meraih kemenangan.
Mereka juga memperingatkannya di Wasith agar tidak menjadi tawanan dalam sebuah blokade militer. Tiada yang terjadi dalam blokade tersebut, kecuali pembunuhan. Akan tetapi Yazid bin Umair menentang saran tersebut.
Abu Salamah segera memobilisasi pasukannya di bawah komando Al-Hasan bin Quhthubah hingga terjadilah beberapa peperangan di antara mereka. Setelah itu, Ibnu Hubairah bersama pengikutnya bertahan di benteng-benteng mereka.
Ketika waktu berjalan beberapa lama, Abul Abbas mengirimkan saudaranya Abu Jafar untuk memimpin sebuah pasukan hingga terjadilah pertempuran sengit antara pasukan dari kedua belah pihak. Mereka terus bertempur sengit selama sepuluh bulan lamanya.
Ketika Ibnu Hubairah mendapat informasi tentang terbunuhnya Marwan bin Muhammad, maka ia pun memilih jalan damai hingga terjadilah pertukaran delegasi antara dirinya dengan Abu Jafar hingga ia bersedia memberikan jaminan keamanan kepadanya.
Ibnu Hubairah menulis surat jaminan selama empat puluh malam sambil berkonsultasi dengan para ulama hingga Ibnu Hubairah bisa menerimanya. Kemudian surat tersebut dikirimkan kepada Abu Jafar, yang kemudian disampaikan Abu Jafar kepada Abu As-Saffah.
Abu As-Saffah memerintahkan untuk menandatanganinya. Abu Jafar berpandangan bahwa ia harus menepati isi dokumen perjanjian tersebut. Sedangkan Abul Abbas As-Saffah tidak dapat memberikan sebuah keputusan, kecuali setelah mendapat persetujuan dari Abu Muslim Al-Khurasani.
Abu Muslim Al-Khurasani pun memberikan jawaban dengan mengatakan, “Sesunguhnya jalan yang mudah adalah jika Anda melemparkan bebatuan itu di dalamnya. Demi Allah, tiada suatu jalan kebaikan jika di dalamnya terdapat Ibnu Hubairah.”
Ketika surat tersebut telah ditulis, Ibnu Hubairah keluar menemui Abu Jafar dan menghadap kepadanya lalu berbincang-bincang sesaat. Setelah beberapa hari berlangsung, Abu Muslim memerintahkan Abu Jafar untuk membunuh Ibnu Hubairah sedangkan tinta surat tersebut belum mengering.
Ibnu Hubairah pun akhirnya dibunuh bersama beberapa pengikut seniornya. Pembunuhan ini menimbulkan duka yang mendalam pada diri Mungidz bin Abdurrahman Al-Hilali.
Dengan terbunuhnya Ibnu Hubairah, maka padamlah lampu pemerintahan Dinasti Umayyah.
Didukung Syiah dan Khawarij
Imam As-Suyuti dalam bukunya berjudul "Tarikh Khulafa atau Sejarah Para Penguasa Islam" menjelaskan Abu al-'Abbas, didukung oleh Syi’ah, Khawarij, dan daerah Khurasan, memimpin pasukannya menang terhadap Bani Umayyah dan akhirnya menjatuhkan penguasa terakhirnya Marwan II.
Sejumlah kaum Syiah memganggap Abu al-'Abbas merupakan Mahdi yang diutus setelah 1000 tahun masa kenabian.
Sejumlah sarjana Muslim yang menonjol menulis karya seperti Jafr yang mengatakan muslimin yang setia bahwa perang saudara yang brutal merupakan konflik besar antara yang hak dan batil.
Pilihan Bani Umayyah memasuki pertempuran dengan bendera putih dan Bani Abbasiyah memasukinya dengan bendera hitam membesarkan teori-teori itu. Warna putih, bagaimanapun dianggap kebanyakan orang Persia sebagai tanda dukacita.
Mengenai bahwa ada kemungkinan kembalinya kekuatan Khilafah Bani Umayyah, Abu al-'Abbas mencari-cari seluruh anggota yang tersisa dari keluarga Umayyah untuk menghukum mati mereka. Karena usahanya untuk menyingkirkan keluarga Bani Umayyah, Abu al-'Abbas memperoleh julukan as-Saffah, atau tulisan berdarah.
Itulah yang membuat, pelarian ke al-Andalus, atau Spanyol, dipimpin oleh Abd ar-Rahman I di mana Khilafah Bani Umayyah akan bertahan selama 3 abad.
Setelah kemenangan terhadap Bani Umayyah, pemerintahan pendek Abu al-'Abbas ditandai dengan usaha mengkonsolidasi dan membangun kembali Khilafah.
Para pendukungnya diwakili dalam pemerintahan baru, namun selain dari kebijakannya terhadap keluarga Umayyah, Abu al-'Abbas secara luas dipandang sejarawan sebagai pemenang yang mendingan.
Orang-orang Yahudi, Kristen Nestorian, dan Persia secara baik diwakili dalam pemerintahan Abu al-'Abbas dan dalam meneruskan administrasi Abbasiyah. Pendudukan juga didorong, dan pabrik kertas pertama didirikan di Samarkand.
Pasukan Abu al-'Abbas sangat revolusioner. Mereka banyak dari kalangan non-Muslim dan non-Arab. Ini sangat berbeda dengan Bani Umayyah yang menolak pasukan dari 2 golongan itu.
Abu al-'Abbas meninggal pada 754, hanya 5 tahun setelah menjatuhkan Bani Umayyah. Ia digantikan saudaranya al-Mansur.
(mhy)