Begini Beban Berat Puasa Sebelum Turun Surat Al-Baqarah Ayat 187
Jum'at, 25 Maret 2022 - 17:10 WIB
Sebelum turun surat Al-Baqarah ayat 187, ketentuan puasa tidaklah seperti sekarang ini. Puasa nyaris sehari semalam. Buka puasa dalam rentang waktu Maghrib sampai Isya'. Setelah itu puasa, tanpa ada sahur. Berat bagi yang di waktu buka tertidur.
Sahabat Barrā` bercerita bahwa “dahulu, jika salah satu sahabat Nabi berpuasa, lalu waktu berbuka tiba ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak diperbolehkan lagi makan sepanjang malam itu dan siang hari berikutnya sampai tiba waktu sore (yakni waktu berbuka untuk hari esoknya)”.
Hal ini tentu terasa berat bagi sebagian sahabat Nabi yang siang harinya sudah memeras keringat mencari rejeki. Belum lagi cuaca tanah Arab yang terkenal ekstrem, hal itu tentunya membuat sahabat merasa lebih berat lagi dalam menjalani puasa di hari esoknya.
Suatu ketika – tutur sahabat Barrā` bin ‘Āzib – Shirmah bin Qais al-Anshārī berpuasa. Begitu waktu puasa tiba, ia menghampiri istrinya dan bertanya "Apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?"
"Tidak, tapi aku akan keluar mencarikan makanan untukmu" jawab sang istri.
Sebagai orang yang bekerja di siang hari, Qais pun merasa letih dan tertidur. Tidak lama istrinya datang. Mengetahui suaminya tertidur, istrinya berucap, "kasihan sekali dirimu, suamiku!".
Keesokan harinya, ketika tengah hari tiba, Qais pingsan. Tragedi yang mengenaskan ini dilaporkan kepada Nabi lalu turunlah ayat “dihalalkan bagimu menggauli istrimu pada malam puasa”
Para sahabat pun sangat senang luar biasa. Selain itu, turun pula “makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang merah” (HR Bukhari, Ahmad, al-Darimi, Abu Dawud, dan al-Turmudzi).
Sementara itu, dalam kitab yang ditulis oleh Khalid bin Sulaiman al-Mazīnī ada hadis riwayat Imam Ahmad yang menjadi satu rangkaian hadis-hadis sebab turunnya Surat Al-Baqarah ayat 187.
Hadis ini menceritakan kejadian yang dialami Umar bin Khattab bersama istrinya. Pada bulan Ramadhan – dalam hadis tersebut – ketika seseorang berpuasa kemudian tertidur menjelang waktu berbuka, haram baginya makanan, minuman, dan menggauli istri hingga tiba waktu berbuka puasa keesokan harinya.
Suatu malam, Umar bin Khattab pulang dari kediaman Nabi setelah terjaga bersamanya dan menjumpai istrinya tertidur. Umar ingin menggaulinya namun istrinya mengaku bahwa dirinya telah tertidur sehingga tidak bisa memenuhi keinginan suaminya itu. Umar pun berkata, "Engkau tidak tidur". Terjadilah apa yang diinginkannya dari istrinya itu.
Keesokan harinya, Umar menghadap Nabi dan melapor perihal kejadian semalam. Lalu turunlah ayat “Allah tahu bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, Allah pun menerima taubatmu dan memaafkanmu” (HR Ahmad).
Setelah ayat ini turun, sempurna sudah kenikmatan yang dirasakan para sahabat kala itu. Mereka tidak lagi tersiksa oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan biologis semisal makan, minum, dan lainnya.
Ini merupakan rukhsah (keringanan) dari Allah Ta’ala bagi kaum Muslimin serta penghapusan hukum yang sebelumnya berlaku pada permulaan Islam. Pada saat itu, jika seorang dari kaum Muslimin berbuka puasa, maka dihalalkan baginya makan, minum, dan berhubungan badan sampai sholat Isya’ atau ia tidur sebelum itu. Jika ia sudah tidur atau sholat Isya’, maka diharamkan baginya makan, minum dan berhubungan badan sampai malam berikutnya. Karena itu, mereka pun merasa sangat berat. Yang dimaksudkan dengan “ar-rafats” pada ayat tersebut adalah “al-jima’” (hubungan badan).
Mengenai dua hadis ini, Ibn Katsīr dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhīm-nya berkomentar “Demikianlah yang diriwayatkan dari Mujāhid, ‘Athā`, ‘Ikrimah, Qatādah, dan yang lain terkait sebab turunnya ayat ini. Ia menjadi jawaban atas kasus yang menimpa Umar bin Khattāb, Shirmah bin Qais, dan siapa pun yang senasib dengan mereka. Kemudian Allah memperbolehkan berhubungan badan, makan, dan minum sepanjang malam-malam puasa sebagai bentuk kasih sayang dan keringanan”.
Sahabat Barrā` bercerita bahwa “dahulu, jika salah satu sahabat Nabi berpuasa, lalu waktu berbuka tiba ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak diperbolehkan lagi makan sepanjang malam itu dan siang hari berikutnya sampai tiba waktu sore (yakni waktu berbuka untuk hari esoknya)”.
Hal ini tentu terasa berat bagi sebagian sahabat Nabi yang siang harinya sudah memeras keringat mencari rejeki. Belum lagi cuaca tanah Arab yang terkenal ekstrem, hal itu tentunya membuat sahabat merasa lebih berat lagi dalam menjalani puasa di hari esoknya.
Suatu ketika – tutur sahabat Barrā` bin ‘Āzib – Shirmah bin Qais al-Anshārī berpuasa. Begitu waktu puasa tiba, ia menghampiri istrinya dan bertanya "Apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?"
"Tidak, tapi aku akan keluar mencarikan makanan untukmu" jawab sang istri.
Sebagai orang yang bekerja di siang hari, Qais pun merasa letih dan tertidur. Tidak lama istrinya datang. Mengetahui suaminya tertidur, istrinya berucap, "kasihan sekali dirimu, suamiku!".
Keesokan harinya, ketika tengah hari tiba, Qais pingsan. Tragedi yang mengenaskan ini dilaporkan kepada Nabi lalu turunlah ayat “dihalalkan bagimu menggauli istrimu pada malam puasa”
Para sahabat pun sangat senang luar biasa. Selain itu, turun pula “makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang merah” (HR Bukhari, Ahmad, al-Darimi, Abu Dawud, dan al-Turmudzi).
Sementara itu, dalam kitab yang ditulis oleh Khalid bin Sulaiman al-Mazīnī ada hadis riwayat Imam Ahmad yang menjadi satu rangkaian hadis-hadis sebab turunnya Surat Al-Baqarah ayat 187.
Hadis ini menceritakan kejadian yang dialami Umar bin Khattab bersama istrinya. Pada bulan Ramadhan – dalam hadis tersebut – ketika seseorang berpuasa kemudian tertidur menjelang waktu berbuka, haram baginya makanan, minuman, dan menggauli istri hingga tiba waktu berbuka puasa keesokan harinya.
Suatu malam, Umar bin Khattab pulang dari kediaman Nabi setelah terjaga bersamanya dan menjumpai istrinya tertidur. Umar ingin menggaulinya namun istrinya mengaku bahwa dirinya telah tertidur sehingga tidak bisa memenuhi keinginan suaminya itu. Umar pun berkata, "Engkau tidak tidur". Terjadilah apa yang diinginkannya dari istrinya itu.
Keesokan harinya, Umar menghadap Nabi dan melapor perihal kejadian semalam. Lalu turunlah ayat “Allah tahu bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, Allah pun menerima taubatmu dan memaafkanmu” (HR Ahmad).
Setelah ayat ini turun, sempurna sudah kenikmatan yang dirasakan para sahabat kala itu. Mereka tidak lagi tersiksa oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan biologis semisal makan, minum, dan lainnya.
Ini merupakan rukhsah (keringanan) dari Allah Ta’ala bagi kaum Muslimin serta penghapusan hukum yang sebelumnya berlaku pada permulaan Islam. Pada saat itu, jika seorang dari kaum Muslimin berbuka puasa, maka dihalalkan baginya makan, minum, dan berhubungan badan sampai sholat Isya’ atau ia tidur sebelum itu. Jika ia sudah tidur atau sholat Isya’, maka diharamkan baginya makan, minum dan berhubungan badan sampai malam berikutnya. Karena itu, mereka pun merasa sangat berat. Yang dimaksudkan dengan “ar-rafats” pada ayat tersebut adalah “al-jima’” (hubungan badan).
Mengenai dua hadis ini, Ibn Katsīr dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhīm-nya berkomentar “Demikianlah yang diriwayatkan dari Mujāhid, ‘Athā`, ‘Ikrimah, Qatādah, dan yang lain terkait sebab turunnya ayat ini. Ia menjadi jawaban atas kasus yang menimpa Umar bin Khattāb, Shirmah bin Qais, dan siapa pun yang senasib dengan mereka. Kemudian Allah memperbolehkan berhubungan badan, makan, dan minum sepanjang malam-malam puasa sebagai bentuk kasih sayang dan keringanan”.
(mhy)