Kisah Said bin Jubair Hadapi Penguasa yang Banyak Membunuh Tabiin
Sabtu, 23 April 2022 - 14:27 WIB
Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi kesalamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak mengindahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya.
Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir. Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.
Orang tua itu berkata, “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at.”
Hajjaj mencelanya, “Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya olehnya, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketika itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad dibunuh.
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Karena perkataan itu Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir.
Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, ia memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.
Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan orang lainnya selamat setelah mengaku kafir. Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am ketika terjadi huru hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya.
Orang tua itu berkata, “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan bai’at.”
Hajjaj mencelanya, “Celakalah engkaku! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?”
Orang tua itu menjawab, “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.”
Hajjaj berkata mengancam, “Jika demikian aku akan membunuhmu.”
Orang tua itu menjawab, “Jika engkau membunuhku…demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu.”
Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorangpun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut dan memintakan rahmat untuknya.
Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad An-Nukhai dihadapkan dan ditanya olehnya, “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?”
Kamil menjawab, “Tidak. Demi Allah aku tidak mengakuinya.”
Hajjaj mengancam, “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”
Kamil menjawab, “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak kita akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.”
Hajjaj menimpalinya, “Ketika itu, kesalahan ada di pihakmu.”
Kamil berkata, “Benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.”
Hajjaj berkata kepada pengikutnya, “Bunuh dia!”
Lalu Kamil bin Ziyad dibunuh.
Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi buronan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang dihadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesunggulah akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Karena perkataan itu Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya.
Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuan lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir.
Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilihan, yang paling manis dari keduanya pun begitu pahit. Oleh sebab itu, ia memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Makkah.