Hukum Sholat Idul Fitri: Mayoritas Ulama Anggap Sunah, Mazhab Hanafiyah Mewajibkan

Sabtu, 30 April 2022 - 16:10 WIB
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa salat ‘Id adalah wajib ‘ain (kewajiban per kepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan sholat ‘Id di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan sholat tersebut di Masjid Nabawi.

Berarti hal ini menunjukkan bahwa sholat ‘Id termasuk jenis sholat Jum’at, bukan termasuk jenis sholat-sholat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan sholat ‘Id tanpa khutbah, persis seperti dalam sholat Jum’at.

Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam sholat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada sholat khusus untuk istisqa’.

Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami sholat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah.

Andaikata sholat ‘Id itu sunnah, tentu Sayyidina Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.



Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin.

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak sholat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci.

Ketika ada di antara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: ”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :

“Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]

Padahal dalam sholat Jum’at dan salat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita). “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.

Juga bahwa sholat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan sholat ‘Ied (yang tidak ada gantinya).

Sholat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan sholat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun).

Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan sholat ‘Id, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju sholat ‘Id.

Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan sholat ‘Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam sholat ‘ied ditinggalkan, sedangkan sholat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.

“Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya”. [Al-Baqarah : 185].

Ibnu Taimiyah dalam "Majmu’ Fatawa" menegaskan pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sholat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua.

Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Id dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Id menggugurkan kewajiban sholat Jum’at. Padahal sholat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib.

Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadis (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.



Pertama, mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at, sehingga apalagi salat Id.

Kedua, mungkin pula karena hadis tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban sholat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal sholat Id termasuk kewajiban salat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah” halaman 39].

Adapun argumentasi yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa salat Id hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.

“Artinya : Maka dirikanlah sholat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2].

Atau bahwa sholat ‘Id merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa salat ‘Id hukumnya wajib ‘ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).

Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap sholat jenazah bahwa sholat ‘Id adalah sholat yang tidak didahului azan maupun iqamat (qamat) hingga mirip dengan sholat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.

Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Siapa yang berpendapat sholat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh.



Sedangkan shalat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat salat ‘Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat salat tersebut dapat tercapai..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya”.

Imam Shana’ani, Imam Syaukani, Syaikh Al-Albani dan Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin berpegang kepada pendapat bahwa salat Id adalah “wajib ‘ain.
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta, janganlah kalian saling mendiamkan, janganlah suka mencari-cari isu, saling mendengki, saling membelakangi, serta saling membenci. Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

(HR. Bukhari No. 5604)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More