Hukum Sholat Idul Fitri: Mayoritas Ulama Anggap Sunah, Mazhab Hanafiyah Mewajibkan

Sabtu, 30 April 2022 - 16:10 WIB
Sholat Id di Moskow pada tahun 2015. Foto/Ilustrasi: World Bulletin
Lebaran sebentar lagi. Idul Fitri diperkirakan akan jatuh pada tanggal 2 Mei 2022. Setidaknya Muhammadiyah sudah menetapkan begitu. Itu bermakna bahwa puasa tahun ini digenapkan 30 hari.

Idul Fitri ditandai dengan sholat dua rakaat, biasanya di lapangan atau di masjid. Lalu, bagaimana sebenarnya kedudukan hukum sholat id?



Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama tentang hukum shalat Idul Fitri.

Pertama, shalat Id hukumnya sunah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama.



Kedua, Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya sholat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan salat Id itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan mazhab Hambali .

Ketiga, Fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Sunnah

Mereka yang berpendapat sunnah, berdalil dengan hadis yang muttafaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :

“Artinya: Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Salat lima waktu dalam sehari dan semalam”.

Ia bertanya lagi: Adakah saya punya kewajiban salat lainnya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Beliau melanjutkan sabdanya, ”Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan”.

Ia bertanya: Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya?

Beliau menjawab, ”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”.

Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya.

Iapun bertanya ;”Adakah saya punya kewajiban lainnya? “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja”.

Perawi mengatakan :”Setelah itu orang ini pergi seraya berkata: Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini”.

(Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)”.

Mereka yang berpendapat sholat id sunnah mengatakan, hadis ini menunjukkan bahwa sholat selain sholat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (fardhu) ‘ain (bukan kewajiban per kepala).

Dua sholat ‘Ied termasuk ke dalam keumuman ini, yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja. Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama di antaranya Ibnu al-Mundzir dalam kitab “Al-Ausath”.



Fardhu Khifayah

Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa sholat id adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa sholat Id adalah sholat yang tidak diawali azan dan iqamat. Karena itu sholat ini serupa dengan salat jenazah, padahal sholat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula sholat ‘Id juga merupakan syi’ar Islam.

Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :

“Artinya: Maka dirikanlah sholat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2]

Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadis (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya sholat ‘Id.

Fardu Ain

Sementara para pengikut pendapat ketiga, bahwa sholat ied adalah fardhu ain, berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.

Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa salat ‘Id adalah wajib ‘ain (kewajiban per kepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para sahabat dulu melaksanakan sholat ‘Id di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan sholat tersebut di Masjid Nabawi.

Berarti hal ini menunjukkan bahwa sholat ‘Id termasuk jenis sholat Jum’at, bukan termasuk jenis sholat-sholat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan sholat ‘Id tanpa khutbah, persis seperti dalam sholat Jum’at.

Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam sholat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada sholat khusus untuk istisqa’.

Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami sholat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah.

Andaikata sholat ‘Id itu sunnah, tentu Sayyidina Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid.



Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin.

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak sholat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci.

Ketika ada di antara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa: ”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab, beliau tetap tidak memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :

“Artinya : Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya”. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]

Padahal dalam sholat Jum’at dan salat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita). “Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.

Juga bahwa sholat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan sholat ‘Ied (yang tidak ada gantinya).

Sholat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan sholat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun).

Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan sholat ‘Id, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju sholat ‘Id.

Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan sholat ‘Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negeri Islam sholat ‘ied ditinggalkan, sedangkan sholat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.

“Artinya : Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya”. [Al-Baqarah : 185].

Ibnu Taimiyah dalam "Majmu’ Fatawa" menegaskan pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan sholat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua.

Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Id dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Id menggugurkan kewajiban sholat Jum’at. Padahal sholat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib.

Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadis (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.



Pertama, mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan sholat Jum’at, sehingga apalagi salat Id.

Kedua, mungkin pula karena hadis tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban sholat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal sholat Id termasuk kewajiban salat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah” halaman 39].

Adapun argumentasi yang digunakan oleh mereka yang mengatakan bahwa salat Id hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.

“Artinya : Maka dirikanlah sholat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar : 2].

Atau bahwa sholat ‘Id merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa salat ‘Id hukumnya wajib ‘ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).

Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap sholat jenazah bahwa sholat ‘Id adalah sholat yang tidak didahului azan maupun iqamat (qamat) hingga mirip dengan sholat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.

Ibnu Taimiyah mengatakan: ”Siapa yang berpendapat sholat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh.



Sedangkan shalat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat salat ‘Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat salat tersebut dapat tercapai..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya”.

Imam Shana’ani, Imam Syaukani, Syaikh Al-Albani dan Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin berpegang kepada pendapat bahwa salat Id adalah “wajib ‘ain.
(mhy)
Follow
cover top ayah
فَقَضٰٮهُنَّ سَبۡعَ سَمٰوَاتٍ فِىۡ يَوۡمَيۡنِ وَاَوۡحٰى فِىۡ كُلِّ سَمَآءٍ اَمۡرَهَا‌ ؕ وَزَ يَّـنَّـا السَّمَآءَ الدُّنۡيَا بِمَصَابِيۡحَ ‌ۖ وَحِفۡظًا ‌ؕ ذٰ لِكَ تَقۡدِيۡرُ الۡعَزِيۡزِ الۡعَلِيۡمِ
Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian langit yang dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang, dan (Kami ciptakan itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.

(QS. Fussilat Ayat 12)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More