Penjelasan Gus Baha tentang Hukum Memajang Foto di Rumah
Senin, 13 Juni 2022 - 18:53 WIB
Penjelasan Gus Baha tentang hukum memajang foto di rumah dan perbedaan pendapat tentang hukum foto dan gambar makhluk hidup cukup simpel. "Pastinya, yang haram itu foto pornografi ," tandas kiai bernama lengkap KH Ahmad Bahauddin Nursalim ini.
Gus Baha mengakui bahwa masalah hukum berfoto dan memasang foto dalam Islam masih terjadi perbedaan pendapat atau ikhtilaf di kalangan ulama. Hal ini terasa lucu, soalnya berfoto sudah menjadi kebiasaan semua orang pada saat ini.
"Misalnya kalian mengharamkan foto, rata-rata santri itu punya foto kiainya, ahli thoriqoh juga punya foto mursyidnya," ujar Gus Baha sebagaimana dilansir sejumlah kanal di jaringan YouTube.
Nah, lantaran itu Gus Baha mengambil gambangnya saja. "Menurut saya pribadi, yang pasti haram itu gambar pornografi," ujarnya.
Selanjutnya Gus Baha menceritakan tentang Sayyid Muhammad yang menurut dia, cukup modern karena dia mau difoto. Di rumah santri banyak yang punya fotonya Sayyid Muhammad.
Hanya saja, kata Gus Baha, guru-guru Sayyid Muhammad yang di Yaman ternyata tidak mau foto. Menurut Gus Baha, mereka tidak mau difoto karena orang alim dan punya murid banyak. "Jadi, beliau-beliau punya paspor tanpa foto, ditulisi 'ini paspor khusus' rekomendasinya dari presiden," katanya.
Mereka ke Mekkah pakai paspor tanpa foto karena saking fanatiknya. Kalau Sayyid Muhammad itu longgar. "Nah, makanya yang gampang diharamkan itu kan foto pornografi, kalau foto-foto lainnya itu terjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Perbedaannya memang repotnya di situ," jelas Gus Baha.
Beda Pendapat: Halal Mutlak
Sementara itu, Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat Lc sebagaimana dilansir dari rumahfiqih menyampaikan sejumlah pendapat mengenai hukum memajang foto di rumah.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa lukisan atau gambar dengan objek makhkuk hidup yang bernyawa seperti manusia atau hewan hukumnya halal secara mutlak.
Ada banyak dalil yang mereka gunakan untuk menghalalkan lukisan dan gambar bernyawa ini, antara lain:
Pertama, larangan hanya berlaku pada objek tiga dimensi. Dalam pandangan mereka, semua dalil yang mengharamkan itu terbatas larangan untuk membuat patung berbentuk tiga dimensi. Sedangkan apabila gambar itu dibuat di atas kertas, kanvas, kain atau apa pun objek yang datang, tidak termasuk ke dalam yang diharamkan syariat.
Di dalam Al-Qur'an, Allah memang secara tegas mengharamkan patung berbentuk tiga dimensi yang dibuat untuk disembah oleh manusia.
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Ibrahim berkata: 'Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". ( QS Ash-Shaaffaat : 95-96)
Kedua, syariat di masa lalu membolehkan patung. Mereka juga mendasarkan pendapat atas kebolehan membuat patung yang diberlakukan dalam syariat bagi ummat terdahulu. Dan hal itu diabadikan di dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاء مِن مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ
"Para Jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)." (QS. Saba' : 13)
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa para Jin anak buah Nabi Sulaiman membuatkan untuknya patung-patung untuknya. Dan hal itu tidak dilarang atau diharamkan.
Meski peristiwanya di masa Nabi Sulaiman, namun dalam pandangan mereka, syariat yang Allah turunkan di masa lalu juga berlaku buat kita umat Muhammad SAW. Dan berlakunya syariat masa lalu itu juga ditegaskan di dalam Al-Qur'an.
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." (QS. Al-An'am : 90)
Ketiga, dinar dan dirham bergambar manusia tidak diharamkan. Dalil mereka yang lain adalah bahwa di masa Nabi, orang-orang bermualat dan berjual-beli dengan menggunakan koin logam dari emas dan perak. Yang terbuat dari emas disebut dengan dinar. Koin itu digunakan di barat, yaitu negeri Romawi dan wilayah jajahannya. Dan sudah lazim bahwa pada tiap-tiap koin dinar itu ada gambar para raja Romawi.
Koin yang terbuat dari perak disebut dirham. Berasal dari negeri Persia dan wilayah jajahannya, yang terletak di timur negeri Arab. Dan juga sudah menjadi lazim bahwa pada tiap-tiap koin perak itu terukir gambar para raja Persia yang sedang berkuasa.
Namun meski koin-koin emas dan perak itu bergambar kepala manusia, kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah mengharamkan pemakaian kedua jenis koin itu. Seandainya gambar manusia yang bernyawa itu haram, maka seharusnya kita menemukan dalil yang qath'i dari lisan Nabi bahwa beliau mengharamkannya karena ada gambar makhluk bernyawa.
Keempat, tafsir atas hadis. Ketika menghalalkan lukisan, mereka juga menggunakan hadis yang umumnya digunakan orang untuk mengharamkan lukisan. Namun mereka mengkritisi cara mengambil kesimpulan hukumnya. Hadits itu adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المـُصَوِّرُونَ
"Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang melukis". (HR Al-Bukhari)
Kalau kalangan yang mengharamkan lukisan menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk melarang praktek membuat lukisan dan gambar, mereka justru memahami sebaliknya. Hadits ini justru menjadi bukti bahwa yang dimaksud dengan orang yang melukis di sini bukan sembarang melukis. Namun, melukis di sini maknanya adalah membuat patung atau berhala yang disembah.
Logikanya, para ulama sudah sepakat lewat dari Qur'an dan Sunnah bahwa orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Kalau hadits di atas hanya dipahami secara kulit-kulitnya saja, yaitu sekadar membuat lukisan saja, maka tentu akan terjadi perbedaan (ta'arudh) yang sangat besar. Sebab melukis itu bukan jenis pekerjaan syirik atau menyekutukan Allah.
Agar maknanya sesuai dengan dalil yang lain, maka yang dimaksud dengan al-mushawwir di dalam hadits Bukhari ini harus disesuaikan maknanya dengan apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama, yaitu maksudnya adalah orang yang melukis atau membuat patung berhala dalam rangka menyekutukan Allah.
Haram Mutlak
Di tengah umat Islam kita menemukan pendapat yang cenderung mengharamkan gambar makhluk bernyawa secara mutlak. Hal ini berdasarkan beberapa logika, yaitu zhahir nash dan kehati-hatian.
Pertama, banyak nash yang mengharamkan. Dilihat dari sisi sanad, kebanyakan di antaranya adalah hadits-hadits yang bisa diterima sebagai dalil-dalil syar'i. Di dalam tulisan ini saja, setidaknya ada 12 hadits yang berbeda, di mana semuanya mengarah ke satu titik, yaitu haramnya gambar. Maka jumlah hadits yang banyak ini tidak bisa diremehkan begitu saja, kecuali kita benar-benar menerima apa adanya.
Kedua, ancaman yang sangat keras. Hadis-hadis di atas bukan hanya banyak dari segi kuantitas, tetapi apabila kita perdalam esensi dan kandungannya, ternyata ada ancaman yang sangat keras bagi mereka yang menggambar dan segala yang terkait.
Dari sekian banyak ancaman itu antara lain Allah memastikan bahwa orang yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah para pelukis dan penggambar.
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
"Orang yang paling pedih siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat kelak adalah para pelukis." (HR Ahmad)
Dan Allah menjuluki orang yang membuat lukisan dan gambar sebagai makhluk paling jahat di dunia.
الصُّوَرَ أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
"Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk di sisi Allah." (HR. Al-Bukhari Muslim)
Selain itu juga ada ancaman nanti di akhirat dipaksa meniupkan ruh ke dalam lukisan buatannya. Dan tentunya masih banyak lagi jenis-jenis ancaman yang berat bagi pelakunya.
Ketiga, kehati-hatian. Semua itu larangan dan ancaman yang sudah disebutkan di atas tentu bukan untuk dilupakan atau ditinggalkan, juga sikap kita bukan pura-pura tidak tahu.
Sebagai muslim, di dalam hati kita harus ada rasa takut atas semua ancaman itu, dan khawatir apabila nanti ancaman itu benar-benar dijatuhkan.
Setidaknya, sikap yang paling bijak itu adalah lebih hati-hati dengan segala larangan dan ancaman yang bertubi-tubi. Dan orang yang bersikap hati-hati tidak akan pernah merugi, bahkan dia akan beruntung dan selamat dari segala resiko.
Pendapat Pertengahan
Di antara dua pendapat yang membolehkan secara mutlak dengan yang mengharamkan secara mutlak, ada pendapat pertengahan. Maksudnya, pendapat ini tidak secara ekstrem menghalalkan gambar namun juga tidak secara ekstrim mengharamkannya.
Halal dan haramnya tergantung kriteria dan 'illat yang dilanggar, karena bertentangan dengan syariah. Setidaknya, dalam pandangan mereka, keharaman itu tidak bersifat mutlak, tetapi muqayyad, yaitu bila memang di dalam lukisan itu ada hal-hal yang secara nyata melanggar dan menyalahi ketentuan syariah.
1. Lukisan yang Haram
Keharaman lukisan menurut pendapat pertengahan ini yaitu apabila di dalam lukisan itu terkandung hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, lukisan Allah atau Para Dewa, lukisan objek tertentu yang dianggap sebagai Allah, lukisan Rasulullah SAW, lukisan Nabi Isa (Yesus). Atau lukisan orang berzina, atau adegan tidak senonoh, .
2. Menghalalkan Foto
Para ulama mazhab pertengahan tidak mengharamkan lukisan yang dibuat berdasarkan teknik fotografi. Perbedaan yang asasi antara melukis dan memotret adalah bahwa esensi memotret itu tidak lain hanyalah sebatas menangkap proyeksi atau bayangan suatu benda pada suatu media. Sedangkan melukis adalah membuat atau menciptakan tiruan dari suatu benda. Jadi, gambar atau foto-foto yang dipajang di rumah itu tidak haram menurut ulama pertengahan ini.
Para ulama mazhab pertengahan secara umum mengharamkan patung yang memenuhi kriteria keharaman. Sedangkan benda-benda yang mirip patung, tetapi tidak sampai memenuhi kriteria patung yang telah ditetapkan, tidak diharamkan.
Gus Baha mengakui bahwa masalah hukum berfoto dan memasang foto dalam Islam masih terjadi perbedaan pendapat atau ikhtilaf di kalangan ulama. Hal ini terasa lucu, soalnya berfoto sudah menjadi kebiasaan semua orang pada saat ini.
"Misalnya kalian mengharamkan foto, rata-rata santri itu punya foto kiainya, ahli thoriqoh juga punya foto mursyidnya," ujar Gus Baha sebagaimana dilansir sejumlah kanal di jaringan YouTube.
Nah, lantaran itu Gus Baha mengambil gambangnya saja. "Menurut saya pribadi, yang pasti haram itu gambar pornografi," ujarnya.
Baca Juga
Selanjutnya Gus Baha menceritakan tentang Sayyid Muhammad yang menurut dia, cukup modern karena dia mau difoto. Di rumah santri banyak yang punya fotonya Sayyid Muhammad.
Hanya saja, kata Gus Baha, guru-guru Sayyid Muhammad yang di Yaman ternyata tidak mau foto. Menurut Gus Baha, mereka tidak mau difoto karena orang alim dan punya murid banyak. "Jadi, beliau-beliau punya paspor tanpa foto, ditulisi 'ini paspor khusus' rekomendasinya dari presiden," katanya.
Mereka ke Mekkah pakai paspor tanpa foto karena saking fanatiknya. Kalau Sayyid Muhammad itu longgar. "Nah, makanya yang gampang diharamkan itu kan foto pornografi, kalau foto-foto lainnya itu terjadi ikhtilaf di kalangan ulama. Perbedaannya memang repotnya di situ," jelas Gus Baha.
Beda Pendapat: Halal Mutlak
Sementara itu, Pengasuh Rumah Fiqih Indonesia Ustaz Ahmad Sarwat Lc sebagaimana dilansir dari rumahfiqih menyampaikan sejumlah pendapat mengenai hukum memajang foto di rumah.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa lukisan atau gambar dengan objek makhkuk hidup yang bernyawa seperti manusia atau hewan hukumnya halal secara mutlak.
Ada banyak dalil yang mereka gunakan untuk menghalalkan lukisan dan gambar bernyawa ini, antara lain:
Pertama, larangan hanya berlaku pada objek tiga dimensi. Dalam pandangan mereka, semua dalil yang mengharamkan itu terbatas larangan untuk membuat patung berbentuk tiga dimensi. Sedangkan apabila gambar itu dibuat di atas kertas, kanvas, kain atau apa pun objek yang datang, tidak termasuk ke dalam yang diharamkan syariat.
Di dalam Al-Qur'an, Allah memang secara tegas mengharamkan patung berbentuk tiga dimensi yang dibuat untuk disembah oleh manusia.
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Ibrahim berkata: 'Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". ( QS Ash-Shaaffaat : 95-96)
Kedua, syariat di masa lalu membolehkan patung. Mereka juga mendasarkan pendapat atas kebolehan membuat patung yang diberlakukan dalam syariat bagi ummat terdahulu. Dan hal itu diabadikan di dalam salah satu ayat Al-Qur'an.
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاء مِن مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ
"Para Jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)." (QS. Saba' : 13)
Dalam ayat ini jelas sekali bahwa para Jin anak buah Nabi Sulaiman membuatkan untuknya patung-patung untuknya. Dan hal itu tidak dilarang atau diharamkan.
Meski peristiwanya di masa Nabi Sulaiman, namun dalam pandangan mereka, syariat yang Allah turunkan di masa lalu juga berlaku buat kita umat Muhammad SAW. Dan berlakunya syariat masa lalu itu juga ditegaskan di dalam Al-Qur'an.
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
"Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka." (QS. Al-An'am : 90)
Ketiga, dinar dan dirham bergambar manusia tidak diharamkan. Dalil mereka yang lain adalah bahwa di masa Nabi, orang-orang bermualat dan berjual-beli dengan menggunakan koin logam dari emas dan perak. Yang terbuat dari emas disebut dengan dinar. Koin itu digunakan di barat, yaitu negeri Romawi dan wilayah jajahannya. Dan sudah lazim bahwa pada tiap-tiap koin dinar itu ada gambar para raja Romawi.
Koin yang terbuat dari perak disebut dirham. Berasal dari negeri Persia dan wilayah jajahannya, yang terletak di timur negeri Arab. Dan juga sudah menjadi lazim bahwa pada tiap-tiap koin perak itu terukir gambar para raja Persia yang sedang berkuasa.
Namun meski koin-koin emas dan perak itu bergambar kepala manusia, kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah mengharamkan pemakaian kedua jenis koin itu. Seandainya gambar manusia yang bernyawa itu haram, maka seharusnya kita menemukan dalil yang qath'i dari lisan Nabi bahwa beliau mengharamkannya karena ada gambar makhluk bernyawa.
Keempat, tafsir atas hadis. Ketika menghalalkan lukisan, mereka juga menggunakan hadis yang umumnya digunakan orang untuk mengharamkan lukisan. Namun mereka mengkritisi cara mengambil kesimpulan hukumnya. Hadits itu adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ المـُصَوِّرُونَ
"Dari Ibnu Mas'ud radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang melukis". (HR Al-Bukhari)
Kalau kalangan yang mengharamkan lukisan menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk melarang praktek membuat lukisan dan gambar, mereka justru memahami sebaliknya. Hadits ini justru menjadi bukti bahwa yang dimaksud dengan orang yang melukis di sini bukan sembarang melukis. Namun, melukis di sini maknanya adalah membuat patung atau berhala yang disembah.
Logikanya, para ulama sudah sepakat lewat dari Qur'an dan Sunnah bahwa orang yang paling keras siksanya di hari kiamat adalah orang-orang yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Kalau hadits di atas hanya dipahami secara kulit-kulitnya saja, yaitu sekadar membuat lukisan saja, maka tentu akan terjadi perbedaan (ta'arudh) yang sangat besar. Sebab melukis itu bukan jenis pekerjaan syirik atau menyekutukan Allah.
Agar maknanya sesuai dengan dalil yang lain, maka yang dimaksud dengan al-mushawwir di dalam hadits Bukhari ini harus disesuaikan maknanya dengan apa yang telah menjadi kesepakatan para ulama, yaitu maksudnya adalah orang yang melukis atau membuat patung berhala dalam rangka menyekutukan Allah.
Haram Mutlak
Di tengah umat Islam kita menemukan pendapat yang cenderung mengharamkan gambar makhluk bernyawa secara mutlak. Hal ini berdasarkan beberapa logika, yaitu zhahir nash dan kehati-hatian.
Pertama, banyak nash yang mengharamkan. Dilihat dari sisi sanad, kebanyakan di antaranya adalah hadits-hadits yang bisa diterima sebagai dalil-dalil syar'i. Di dalam tulisan ini saja, setidaknya ada 12 hadits yang berbeda, di mana semuanya mengarah ke satu titik, yaitu haramnya gambar. Maka jumlah hadits yang banyak ini tidak bisa diremehkan begitu saja, kecuali kita benar-benar menerima apa adanya.
Kedua, ancaman yang sangat keras. Hadis-hadis di atas bukan hanya banyak dari segi kuantitas, tetapi apabila kita perdalam esensi dan kandungannya, ternyata ada ancaman yang sangat keras bagi mereka yang menggambar dan segala yang terkait.
Dari sekian banyak ancaman itu antara lain Allah memastikan bahwa orang yang paling pedih siksanya di hari kiamat adalah para pelukis dan penggambar.
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
"Orang yang paling pedih siksaannya di sisi Allah pada hari kiamat kelak adalah para pelukis." (HR Ahmad)
Dan Allah menjuluki orang yang membuat lukisan dan gambar sebagai makhluk paling jahat di dunia.
الصُّوَرَ أُولَئِكَ شِرَارُ الْخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ
"Mereka itu adalah sejahat-jahatnya makhluk di sisi Allah." (HR. Al-Bukhari Muslim)
Selain itu juga ada ancaman nanti di akhirat dipaksa meniupkan ruh ke dalam lukisan buatannya. Dan tentunya masih banyak lagi jenis-jenis ancaman yang berat bagi pelakunya.
Ketiga, kehati-hatian. Semua itu larangan dan ancaman yang sudah disebutkan di atas tentu bukan untuk dilupakan atau ditinggalkan, juga sikap kita bukan pura-pura tidak tahu.
Sebagai muslim, di dalam hati kita harus ada rasa takut atas semua ancaman itu, dan khawatir apabila nanti ancaman itu benar-benar dijatuhkan.
Setidaknya, sikap yang paling bijak itu adalah lebih hati-hati dengan segala larangan dan ancaman yang bertubi-tubi. Dan orang yang bersikap hati-hati tidak akan pernah merugi, bahkan dia akan beruntung dan selamat dari segala resiko.
Pendapat Pertengahan
Di antara dua pendapat yang membolehkan secara mutlak dengan yang mengharamkan secara mutlak, ada pendapat pertengahan. Maksudnya, pendapat ini tidak secara ekstrem menghalalkan gambar namun juga tidak secara ekstrim mengharamkannya.
Halal dan haramnya tergantung kriteria dan 'illat yang dilanggar, karena bertentangan dengan syariah. Setidaknya, dalam pandangan mereka, keharaman itu tidak bersifat mutlak, tetapi muqayyad, yaitu bila memang di dalam lukisan itu ada hal-hal yang secara nyata melanggar dan menyalahi ketentuan syariah.
1. Lukisan yang Haram
Keharaman lukisan menurut pendapat pertengahan ini yaitu apabila di dalam lukisan itu terkandung hal-hal yang bertentangan dengan syariat. Misalnya, lukisan Allah atau Para Dewa, lukisan objek tertentu yang dianggap sebagai Allah, lukisan Rasulullah SAW, lukisan Nabi Isa (Yesus). Atau lukisan orang berzina, atau adegan tidak senonoh, .
2. Menghalalkan Foto
Para ulama mazhab pertengahan tidak mengharamkan lukisan yang dibuat berdasarkan teknik fotografi. Perbedaan yang asasi antara melukis dan memotret adalah bahwa esensi memotret itu tidak lain hanyalah sebatas menangkap proyeksi atau bayangan suatu benda pada suatu media. Sedangkan melukis adalah membuat atau menciptakan tiruan dari suatu benda. Jadi, gambar atau foto-foto yang dipajang di rumah itu tidak haram menurut ulama pertengahan ini.
Para ulama mazhab pertengahan secara umum mengharamkan patung yang memenuhi kriteria keharaman. Sedangkan benda-benda yang mirip patung, tetapi tidak sampai memenuhi kriteria patung yang telah ditetapkan, tidak diharamkan.
(mhy)