Hukum Menceritakan Urusan Ranjang Suami-Istri
Senin, 18 Juli 2022 - 13:17 WIB
Senggama atau hubungan suami istri merupakan salah satu ibadah rohani yang tak boleh diceritakan kepada orang lain. Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan urusan ranjang suami istri adalah satu di antara sekian banyak perkara yang tersembunyi yang harus dipelihara oleh tiap pasangan.
"Suami isteri dilarang menceriterakan kepada rekan-rekannya tentang urusan ini," ujar al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Halal dan Haram dalam Islam ".
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
"Sesungguhnya di antara sejelek-jelek manusia dalam pandangan Allah nanti di hari kiamat, ialah seorang laki-laki yang menyetubuhi isterinya dan isteripun melakukan persetubuhan, kemudian dia menyiar-nyiarkan rahasianya." (Riwayat Muslim dan Abu Daud)
Rasulullah SAW juga bersabda,
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya (pelanggaran) amanah terbesar di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, lalu dia menyebarkan rahasia ranjangnya.” (HR Muslim no. 1437)
Perbuatan semacam ini terlarang, karena Rasulullah SAW bersabda,
Dari Abu Hurairah , ia berkata: Nabi SAW pernah sembahyang bersama kami, setelah salam beliau menghadapkan mukanya ke hadapan kami, kemudian bersabda: "Berhati-hatilah terhadap majelis-majelis kamu! Apakah di antara kamu ada seorang laki-laki yang menyetubuhi isterinya dengan menutup pintu dan melabuhkan korden, kemudian dia keluar dan bercerita, bahwa aku telah berbuat dengan istriku begini dan begini?"
Kemudian mereka pada diam semua ...
Lantas beliau menghadap kepada perempuan-perempuan dan menanyakan: "Apakah di antara kamu ada yang bercerita begitu?"
Tiba-tiba ada seorang perempuan memukul-mukul salah satu tulang lututnya sampai lama sekali supaya diperhatikan oleh Nabi dan supaya beliau mendengarkan omongannya.
Perempuan itu berkata: "Demi Allah kaum laki-laki bercerita dan perempuan perempuan juga bercerita!"
Lantas Nabi bertanya: "Tahukah kamu seperti apa yang mereka lakukan itu? Sesungguhnya orang yang berbuat demikian tak ubahnya dengan setan laki-laki dan setan perempuan satu sama lain saling bertemu di jalan kemudian melakukan persetubuhan, sedang orang lain banyak yang melihatnya." (HR Ahmad, Abu Daud dan Bazzar)
Imam Nawawi dalam kitab "Syarh Shahih Muslim" saat menafsirkan hadis ini mengatakan bahwa dalam hadis ini terdapat larangan bagi suami untuk menyebar-nyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya dalam perkara istimta’ (bersenang-senang, yaitu hubungan biologis), menggambarkan detil yang terjadi di antara keduanya, dan apa yang dilakukan oleh pihak wanita (istri), baik berupa ucapan, perbuatan, dan semacamnya.
Adapun semata-mata menceritakan adanya hubungan suami istri, jika hal itu tidak ada faedah dan tidak ada kebutuhan, maka hukumnya makruh, karena hal ini dinilai menyelisihi (menurunkan) muru’ah (kehormatan seseorang).”
Adapun jika terdapat kebutuhan atau ada faedah dengan menceritakan, kata Imam Nawawi, misalnya suami mengingkari keengganan istri yang tidak mau melayani suami, atau istri mengklaim bahwa suami lemah, tidak mampu menyetubuhi (istri), atau hal-hal semacam itu, maka hal ini tidaklah makruh menyebutkannya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya aku melakukannya dan juga ini.” Juga pertanyaan Nabi SAW kepada Abu Thalhah, “Apakah semalam Engkau menjadi pengantin?” (Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari no. 5470). Dan juga perkataan Nabi SAW kepada Jabir, “Kalau bisa segeralah punya anak, kalau bisa segeralah punya anak wahai Jabir.” [Sebagaimana dalam riwayat Bukhari (no. 5245) dan Muslim (no. 715)].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab "Syarh Riyadhus Shalihin" mengatakan yang menjadi kewajiban kita adalah menjaga perkara-perkara rahasia yang terjadi di dalam rumah, antara suami dan istri dan tidak menyebar-nyebarkannya. Baik hal itu berkaitan dengan hubungan biologis suami-istri, atau perkara-perkara rahasia lainnya yang tidak selayaknya disebarkan. Sehingga jika disebarkan, sama saja dengan perbuatan mengkhianati amanah.
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya "Fiqih Wanita" mengatakan bahwa sesungguhnya dilarang membicarakan secara panjang lebar mengenai apa yang terjadi pada saat melakukan hubungan badan dengan istri kepada orang lain.
Cerita itu dikecualikan kepada ahli medis yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh suami atau istri. "Akan tetapi, diperbolehkan membicarakannya bersama dokter jika berkenaan dengan penyakit yang ada pada istri maupun suami," katanya.
"Suami isteri dilarang menceriterakan kepada rekan-rekannya tentang urusan ini," ujar al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul " Halal dan Haram dalam Islam ".
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ مِنْ أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
"Sesungguhnya di antara sejelek-jelek manusia dalam pandangan Allah nanti di hari kiamat, ialah seorang laki-laki yang menyetubuhi isterinya dan isteripun melakukan persetubuhan, kemudian dia menyiar-nyiarkan rahasianya." (Riwayat Muslim dan Abu Daud)
Rasulullah SAW juga bersabda,
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْأَمَانَةِ عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ، وَتُفْضِي إِلَيْهِ، ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
“Sesungguhnya (pelanggaran) amanah terbesar di sisi Allah Ta’ala pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, lalu dia menyebarkan rahasia ranjangnya.” (HR Muslim no. 1437)
Perbuatan semacam ini terlarang, karena Rasulullah SAW bersabda,
Dari Abu Hurairah , ia berkata: Nabi SAW pernah sembahyang bersama kami, setelah salam beliau menghadapkan mukanya ke hadapan kami, kemudian bersabda: "Berhati-hatilah terhadap majelis-majelis kamu! Apakah di antara kamu ada seorang laki-laki yang menyetubuhi isterinya dengan menutup pintu dan melabuhkan korden, kemudian dia keluar dan bercerita, bahwa aku telah berbuat dengan istriku begini dan begini?"
Kemudian mereka pada diam semua ...
Lantas beliau menghadap kepada perempuan-perempuan dan menanyakan: "Apakah di antara kamu ada yang bercerita begitu?"
Tiba-tiba ada seorang perempuan memukul-mukul salah satu tulang lututnya sampai lama sekali supaya diperhatikan oleh Nabi dan supaya beliau mendengarkan omongannya.
Perempuan itu berkata: "Demi Allah kaum laki-laki bercerita dan perempuan perempuan juga bercerita!"
Lantas Nabi bertanya: "Tahukah kamu seperti apa yang mereka lakukan itu? Sesungguhnya orang yang berbuat demikian tak ubahnya dengan setan laki-laki dan setan perempuan satu sama lain saling bertemu di jalan kemudian melakukan persetubuhan, sedang orang lain banyak yang melihatnya." (HR Ahmad, Abu Daud dan Bazzar)
Imam Nawawi dalam kitab "Syarh Shahih Muslim" saat menafsirkan hadis ini mengatakan bahwa dalam hadis ini terdapat larangan bagi suami untuk menyebar-nyebarkan apa yang terjadi antara dia dan istrinya dalam perkara istimta’ (bersenang-senang, yaitu hubungan biologis), menggambarkan detil yang terjadi di antara keduanya, dan apa yang dilakukan oleh pihak wanita (istri), baik berupa ucapan, perbuatan, dan semacamnya.
Adapun semata-mata menceritakan adanya hubungan suami istri, jika hal itu tidak ada faedah dan tidak ada kebutuhan, maka hukumnya makruh, karena hal ini dinilai menyelisihi (menurunkan) muru’ah (kehormatan seseorang).”
Adapun jika terdapat kebutuhan atau ada faedah dengan menceritakan, kata Imam Nawawi, misalnya suami mengingkari keengganan istri yang tidak mau melayani suami, atau istri mengklaim bahwa suami lemah, tidak mampu menyetubuhi (istri), atau hal-hal semacam itu, maka hal ini tidaklah makruh menyebutkannya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya aku melakukannya dan juga ini.” Juga pertanyaan Nabi SAW kepada Abu Thalhah, “Apakah semalam Engkau menjadi pengantin?” (Hadis ini terdapat dalam Shahih Bukhari no. 5470). Dan juga perkataan Nabi SAW kepada Jabir, “Kalau bisa segeralah punya anak, kalau bisa segeralah punya anak wahai Jabir.” [Sebagaimana dalam riwayat Bukhari (no. 5245) dan Muslim (no. 715)].
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam kitab "Syarh Riyadhus Shalihin" mengatakan yang menjadi kewajiban kita adalah menjaga perkara-perkara rahasia yang terjadi di dalam rumah, antara suami dan istri dan tidak menyebar-nyebarkannya. Baik hal itu berkaitan dengan hubungan biologis suami-istri, atau perkara-perkara rahasia lainnya yang tidak selayaknya disebarkan. Sehingga jika disebarkan, sama saja dengan perbuatan mengkhianati amanah.
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya "Fiqih Wanita" mengatakan bahwa sesungguhnya dilarang membicarakan secara panjang lebar mengenai apa yang terjadi pada saat melakukan hubungan badan dengan istri kepada orang lain.
Cerita itu dikecualikan kepada ahli medis yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh suami atau istri. "Akan tetapi, diperbolehkan membicarakannya bersama dokter jika berkenaan dengan penyakit yang ada pada istri maupun suami," katanya.
(mhy)