Kisah Sukses Islamisasi Jawa: Ini Dia 2 Figur yang Legendaris Itu
Sabtu, 06 Agustus 2022 - 20:14 WIB
Sejarawan KH Agus Sunyoto mengatakan islamisasi efektif pertama di Pulau Jawa dimulai pada sekitar tahun 1440 M ketika rombongan dari Champa yang dipimpin oleh dua orang saudara putra Syekh Ibrahim as-Samargandi, yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadha, tiba di Jawa. Merekalah yang pertama kali memulai dakwah Islam di tanah Jawa secara masif, terorganisasi, dan sistematis.
Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya berjudul "Atlas Wali Songo", putra-putri, menantu, keponakan, kerabat, serta santri-santri kedua orang keturunan Rasulullah SAW itu tersebar ke seluruh Jawa-Madura, bahkan juga ke Kalimantan, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan wilayah-wilayah lain di luar Jawa dalam usaha islamisasi secara sistematis.
"Pengakuan ini bisa dilihat dalam Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, Babad Ngampeldenta, Babad Risaking Majapahit, Serat Kandhaning Ringgit Purwa, Babad Tjerbon, Sadjarah Banten, dan Pustaka Nagara Kretabhumi," ujar Agus Sunyoto.
Dakwah mereka kelak menjadi sebuah arus besar yang mampu mengubah tatanan sosial Jawa secara khusus dan Nusantara secara umum yang pada mulanya berbasiskan pada nilai-nilai Hindu-Buddha dan animisme-dinamisme (Kapitayan) menjadi berbasiskan pada nilai-nilai Islam.
Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim menyebut islamisasi yang dilakukan oleh Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadha dalam satu sisi diuntungkan oleh beberapa kondisi dan situasi.
Pertama, bibi mereka diperistri oleh Raja Majapahit, penguasa Nusantara kala itu. Hal ini menjadi satu poin yang sangat menguntungkan. Rombongan keduanya berangkat ke Kerajaan Majapahit, dan mereka diterima dengan baik.
Menurut Serat Walisana, nasib Sayyid Ali Rahmatullah beserta keluarganya yang beragama Islam diserahkan kepada Adipati Surabaya, Arya Lembu Sura, yang juga beragama Islam.
Arya Lembu Sura mengangkat Sayyid Ali Rahmatullah sebagai imam Surabaya sekaligus diambil mantu, sedangkan Sayyid Ali Murtadha diangkat sebagai imam di Gresik dengan gelar Raja Pandhita Agung (Raden Santri).
Sayyid Ali Rahmatullah mendirikan masjid dan pesantren di Ampeldenta, lalu masyarakat menggelarinya Sunan Ampel, sedangkan Sayyid Ali Murtadha yang menyebarkan Islam di Gresik digelari oleh penduduk Sunan Gisik.
Dari dakwah yang mereka mulai ini, Islam kemudian dianut oleh kalangan elite pribumi di kalangan keluarga Raja Majapahit, selanjutnya dianut secara luas oleh masyarakat umum pribumi.
Kedua, Raja Majapahit (Bhre Kertabhumi yang memerintah tahun 1474-1478 M) terlibat perseteruan dengan penguasa Kediri, Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Pada 1478, pasukan Kediri menyerang Kutaraja Majapahit dan meluluhlantakkannya.
Bhre Kertabhumi hilang dalam kerusuhan besar itu, dan hukum serta politik Majapahit dipenuhi oleh ketidakpastian. Orang-orang yang mengaku memiliki hubungan darah dengan raja-raja Majapahit mendirikan kerajaan-kerajaan kecil di daerah-daerah. Situasi politik kacau. Namun, kondisi ini merupakan berkah bagi dakwah Islam. Sebab, dakwah para wali itu dengan pimpinan Sunan Ampel menjadi tak terhalang. Masyarakat muslim di sepanjang pesisir utara Jawa tumbuh pesat.
Dengan memanfaatkan kemerosotan politik Majapahit, salah seorang santri dan menantu Sunan Ampel sekaligus putra mantan Raja Majapahit (Prabu Kertawijaya), Raden Patah, yang mulanya menjadi penguasa Demak Bintara, atas izin dari sang guru, mendeklarasikan kesultanan Islam pertama di tanah Jawa, yakni Kesultanan Demak Bintara.
Bersama-sama dengan anggota Wali Songo, ia membangun Masjid Agung Demak pada tahun 1479 M sebagai penanda bahwa kerajaan yang didirikannya merupakan kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Lebih-lebih, kala itu Majapahit tidak memiliki raja dan tidak memiliki kutaraja. Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana memindahkan Kutaraja Majapahit ke pedalaman Kediri. Ia terlalu sibuk dengan politik sehingga tidak mengurusi keberadaan Kesultanan Demak Bintara dan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa yang dikuasai oleh para penguasa muslim.
Oleh karenanya, sepanjang kekuasaan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana sebagai raja baru Majapahit yang diteruskan oleh putranya, Dyah Wijayakusuma Girindrawarddhana, dakwah Islam di pesisir utara Jawa dengan pusatnya di Demak Bintara praktis tanpa hambatan besar.
Ketiga, raja-raja kecil di sepanjang pantai utara Jawa yang berbasis Hindu-Buddha merupakan kerabat dari Raden Patah, sama-sama keturunan Prabu Kertawijaya (Brawijaya V).
Raden Patah adalah putra Prabu Kertawijaya. Perlu diketahui, ayah Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana yang bernama Bhre Pandansalas Sri Adhi Suraprabhawa (Raja Majapahit yang berkuasa tahun 1466-1474) dikudeta oleh Bhre Kertabhumi. Adapun ayah Bhre Pandansalas Sri Adhi Suraprabhawa, Bhre Wengker Sri Suryawikrama, merupakan saudara seayah dengan Raden Patah.
Jadi, Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana adalah cucu keponakan Raden Patah. Adapun penguasa-penguasa Hindu-Buddha di Kediri, Terung, Surabaya, Tumapel, Lumajang, Tuban, Lasem, Giri, Wengker, Kahuripan, Blitar, Pengging, dan Sengguruh adalah keturunan Prabu Kertawijaya. Oleh karena itu, atas dasar kekerabatan, mereka satu sama lain saling menghormati dan tidak saling menyerang.
Semua anggota Wali Songo dan penyebar-penyebar Islam lainnya di Jawa merupakan putra-putri, cucu, menantu, besan, dan santri-santri Sunan Ampel dan Sayyid Ali Murtadha.
Sunan Giri (Raden Paku), misalnya, adalah santri sekaligus Sunan Ampel . Sunan Drajat (Raden Qasim) adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) adalah putra Sunan Ampel. Sunan Kudus (Raden Ja'far Shadiq) merupakan cucu Sayyid Ali Murtadha. Sunan Kalijaga (Raden Sahid) adalah santri Sunan Ampel.
Selanjutnya, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat) juga merupakan santri Sunan Ampel. Kemudian, keturunan dan santri-santri Wali Songo menyebar ke berbagai wilayah dari Jawa hingga Hitu di Maluku untuk menyebarkan Islam. Jadilah, Islam dipeluk oleh rata-rata penduduk Nusantara.
Sunan Ampel sebagai penasihat, para anggota Wali Songo melakukan sejumlah strategi islamisasi yang sistematis. Hal-hal yang ditempuh antara lain pengembangan asimilasi nilai-nilai adat istiadat, sinkretisasi tradisi keagamaan, pengembangan kesenian lokal, pengembangan sistem hukum yang disesuaikan dengan hukum Islam, pengembangan teknologi tepat guna, pembentukan sistem sosial masyarakat Islam baru yang berdasar pada pola dan struktur masyarakat lama, pengembangan sistem pendidikan pesantren.
Strategi ini terbukti menjadi arus kuat sebuah proses perubahan sosial masyarakat Majapahit yang Hindu-Buddhis menjadi masyarakat muslim sinkretik, asimilasi antara sufisme Islam dengan sinkretisme Jawa.
Putra-putri, kerabat, dan murid-murid para anggota Wali Songo ditugaskan ke sejumlah daerah untuk menyebarkan agama Islam sesuai dengan strategi dakwah yang diinisiasi oleh anggota inti Wali Songo dan direstui oleh Sunan Ampel dan penggantinya.
Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya berjudul "Atlas Wali Songo", putra-putri, menantu, keponakan, kerabat, serta santri-santri kedua orang keturunan Rasulullah SAW itu tersebar ke seluruh Jawa-Madura, bahkan juga ke Kalimantan, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan wilayah-wilayah lain di luar Jawa dalam usaha islamisasi secara sistematis.
"Pengakuan ini bisa dilihat dalam Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, Babad Ngampeldenta, Babad Risaking Majapahit, Serat Kandhaning Ringgit Purwa, Babad Tjerbon, Sadjarah Banten, dan Pustaka Nagara Kretabhumi," ujar Agus Sunyoto.
Baca Juga
Dakwah mereka kelak menjadi sebuah arus besar yang mampu mengubah tatanan sosial Jawa secara khusus dan Nusantara secara umum yang pada mulanya berbasiskan pada nilai-nilai Hindu-Buddha dan animisme-dinamisme (Kapitayan) menjadi berbasiskan pada nilai-nilai Islam.
Buku "Sejarah Lengkap Islam Jawa" karya Husnul Hakim menyebut islamisasi yang dilakukan oleh Sayyid Ali Rahmatullah dan Sayyid Ali Murtadha dalam satu sisi diuntungkan oleh beberapa kondisi dan situasi.
Pertama, bibi mereka diperistri oleh Raja Majapahit, penguasa Nusantara kala itu. Hal ini menjadi satu poin yang sangat menguntungkan. Rombongan keduanya berangkat ke Kerajaan Majapahit, dan mereka diterima dengan baik.
Menurut Serat Walisana, nasib Sayyid Ali Rahmatullah beserta keluarganya yang beragama Islam diserahkan kepada Adipati Surabaya, Arya Lembu Sura, yang juga beragama Islam.
Arya Lembu Sura mengangkat Sayyid Ali Rahmatullah sebagai imam Surabaya sekaligus diambil mantu, sedangkan Sayyid Ali Murtadha diangkat sebagai imam di Gresik dengan gelar Raja Pandhita Agung (Raden Santri).
Sayyid Ali Rahmatullah mendirikan masjid dan pesantren di Ampeldenta, lalu masyarakat menggelarinya Sunan Ampel, sedangkan Sayyid Ali Murtadha yang menyebarkan Islam di Gresik digelari oleh penduduk Sunan Gisik.
Dari dakwah yang mereka mulai ini, Islam kemudian dianut oleh kalangan elite pribumi di kalangan keluarga Raja Majapahit, selanjutnya dianut secara luas oleh masyarakat umum pribumi.
Kedua, Raja Majapahit (Bhre Kertabhumi yang memerintah tahun 1474-1478 M) terlibat perseteruan dengan penguasa Kediri, Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana. Pada 1478, pasukan Kediri menyerang Kutaraja Majapahit dan meluluhlantakkannya.
Bhre Kertabhumi hilang dalam kerusuhan besar itu, dan hukum serta politik Majapahit dipenuhi oleh ketidakpastian. Orang-orang yang mengaku memiliki hubungan darah dengan raja-raja Majapahit mendirikan kerajaan-kerajaan kecil di daerah-daerah. Situasi politik kacau. Namun, kondisi ini merupakan berkah bagi dakwah Islam. Sebab, dakwah para wali itu dengan pimpinan Sunan Ampel menjadi tak terhalang. Masyarakat muslim di sepanjang pesisir utara Jawa tumbuh pesat.
Dengan memanfaatkan kemerosotan politik Majapahit, salah seorang santri dan menantu Sunan Ampel sekaligus putra mantan Raja Majapahit (Prabu Kertawijaya), Raden Patah, yang mulanya menjadi penguasa Demak Bintara, atas izin dari sang guru, mendeklarasikan kesultanan Islam pertama di tanah Jawa, yakni Kesultanan Demak Bintara.
Bersama-sama dengan anggota Wali Songo, ia membangun Masjid Agung Demak pada tahun 1479 M sebagai penanda bahwa kerajaan yang didirikannya merupakan kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Lebih-lebih, kala itu Majapahit tidak memiliki raja dan tidak memiliki kutaraja. Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana memindahkan Kutaraja Majapahit ke pedalaman Kediri. Ia terlalu sibuk dengan politik sehingga tidak mengurusi keberadaan Kesultanan Demak Bintara dan wilayah-wilayah pesisir utara Jawa yang dikuasai oleh para penguasa muslim.
Oleh karenanya, sepanjang kekuasaan Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana sebagai raja baru Majapahit yang diteruskan oleh putranya, Dyah Wijayakusuma Girindrawarddhana, dakwah Islam di pesisir utara Jawa dengan pusatnya di Demak Bintara praktis tanpa hambatan besar.
Ketiga, raja-raja kecil di sepanjang pantai utara Jawa yang berbasis Hindu-Buddha merupakan kerabat dari Raden Patah, sama-sama keturunan Prabu Kertawijaya (Brawijaya V).
Raden Patah adalah putra Prabu Kertawijaya. Perlu diketahui, ayah Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana yang bernama Bhre Pandansalas Sri Adhi Suraprabhawa (Raja Majapahit yang berkuasa tahun 1466-1474) dikudeta oleh Bhre Kertabhumi. Adapun ayah Bhre Pandansalas Sri Adhi Suraprabhawa, Bhre Wengker Sri Suryawikrama, merupakan saudara seayah dengan Raden Patah.
Jadi, Dyah Ranawijaya Girindrawarddhana adalah cucu keponakan Raden Patah. Adapun penguasa-penguasa Hindu-Buddha di Kediri, Terung, Surabaya, Tumapel, Lumajang, Tuban, Lasem, Giri, Wengker, Kahuripan, Blitar, Pengging, dan Sengguruh adalah keturunan Prabu Kertawijaya. Oleh karena itu, atas dasar kekerabatan, mereka satu sama lain saling menghormati dan tidak saling menyerang.
Semua anggota Wali Songo dan penyebar-penyebar Islam lainnya di Jawa merupakan putra-putri, cucu, menantu, besan, dan santri-santri Sunan Ampel dan Sayyid Ali Murtadha.
Sunan Giri (Raden Paku), misalnya, adalah santri sekaligus Sunan Ampel . Sunan Drajat (Raden Qasim) adalah putra Sunan Ampel. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) adalah putra Sunan Ampel. Sunan Kudus (Raden Ja'far Shadiq) merupakan cucu Sayyid Ali Murtadha. Sunan Kalijaga (Raden Sahid) adalah santri Sunan Ampel.
Selanjutnya, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayat) juga merupakan santri Sunan Ampel. Kemudian, keturunan dan santri-santri Wali Songo menyebar ke berbagai wilayah dari Jawa hingga Hitu di Maluku untuk menyebarkan Islam. Jadilah, Islam dipeluk oleh rata-rata penduduk Nusantara.
Sunan Ampel sebagai penasihat, para anggota Wali Songo melakukan sejumlah strategi islamisasi yang sistematis. Hal-hal yang ditempuh antara lain pengembangan asimilasi nilai-nilai adat istiadat, sinkretisasi tradisi keagamaan, pengembangan kesenian lokal, pengembangan sistem hukum yang disesuaikan dengan hukum Islam, pengembangan teknologi tepat guna, pembentukan sistem sosial masyarakat Islam baru yang berdasar pada pola dan struktur masyarakat lama, pengembangan sistem pendidikan pesantren.
Strategi ini terbukti menjadi arus kuat sebuah proses perubahan sosial masyarakat Majapahit yang Hindu-Buddhis menjadi masyarakat muslim sinkretik, asimilasi antara sufisme Islam dengan sinkretisme Jawa.
Putra-putri, kerabat, dan murid-murid para anggota Wali Songo ditugaskan ke sejumlah daerah untuk menyebarkan agama Islam sesuai dengan strategi dakwah yang diinisiasi oleh anggota inti Wali Songo dan direstui oleh Sunan Ampel dan penggantinya.
(mhy)
Lihat Juga :