Sahabat Nabi Muhammad SAW yang Paling Miskin
Selasa, 16 Agustus 2022 - 05:15 WIB
Lalu, Antarah berkata pada Ali. "Ya Amiral Mukminin, Allah telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda sendiri?"
"Demi Allah," sahut Ali bin Abu Thalib, "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini menyebut 'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Ali bin Abu Thalib: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"
"Celaka benar engkau itu," jawab Ali bin Abu Thalib. "Allah SWT mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin."
Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Ali bin Abu Thalib. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Ali bin Abu Thalib. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu."
"Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar'…"
"Ya Suwaid," jawab Ali bin Abu Thalib, "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."
Said bin Amir Al Jumahy
Kemiskinan juga akrab dengan Said bin Amir Al Jumahy. Bahkan ia tercatat sebagai orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, Said diangkat menjadi Gubernur di Himsh. Ia sempat menolak namun dipaksa oleh Umar.
Sesudah pelantikan, Khalifah Umar bertanya kepada Said, “Berapa gaji yang Engkau inginkan?”
“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mu’minin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dan Baitul Mal sudah cukup?”
Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Hims yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.
Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan, dan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy.
Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy. Lalu beliau bertanya “Siapa Said bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?” “Gubernur kami!“ jawab mereka.
“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya khalifah heran.
“Sungguh, ya Amiral Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.
Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu dinar.
“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin ‘Amir. Dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.
Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Sa ‘id melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, ‘inna lilahi wa inna ilaihi raji’un. (Kita milik Allah, pasti kembali kepada Allah).”
"Demi Allah," sahut Ali bin Abu Thalib, "Aku tidak mau mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu keluar meninggalkan Madinah."
Buku Sejarah Hidup Imam Ali ra karya H.M.H. Al Hamid Al Husaini menyebut 'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Ali bin Abu Thalib: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makanan anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?"
"Celaka benar engkau itu," jawab Ali bin Abu Thalib. "Allah SWT mewajibkan para pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain, agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin."
Suwaid bin Ghaflah juga menyaksikan cara hidup Ali bin Abu Thalib. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri: "Pada suatu hari aku datang ke rumah Ali bin Abu Thalib. Di dalamnya tidak terdapat perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di tempat itu."
"Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin, mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin, yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain tikar'…"
"Ya Suwaid," jawab Ali bin Abu Thalib, "dalam rumah yang bersifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama lagi kami akan kembali ke sana."
Said bin Amir Al Jumahy
Kemiskinan juga akrab dengan Said bin Amir Al Jumahy. Bahkan ia tercatat sebagai orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di masa Khalifah Umar bin Khattab, Said diangkat menjadi Gubernur di Himsh. Ia sempat menolak namun dipaksa oleh Umar.
Sesudah pelantikan, Khalifah Umar bertanya kepada Said, “Berapa gaji yang Engkau inginkan?”
“Apa yang harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mu’minin?” jawab Said balik bertanya. “Bukankah penghasilan saya dan Baitul Mal sudah cukup?”
Tidak berapa lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap Khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Hims yang ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.
Dalam pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta Khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama si Fulan, dan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy.
Ketika Khalifah meneliti daftar tersebut, beliau menemukan nama Said bin ‘Amir Al-Jumahy. Lalu beliau bertanya “Siapa Said bin ‘Amir yang kalian cantumkan ini?” “Gubernur kami!“ jawab mereka.
“Betulkah Gubernur kalian miskin?” tanya khalifah heran.
“Sungguh, ya Amiral Mu’minin! Demi Allah! Sering kali di rumahnya tidak kelihatan tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.
Mendengar perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundi-pundi berisi uang seribu dinar.
“Kembalilah kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin ‘Amir. Dan uang ini saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah tangganya,” ucap Umar sedih.
Setibanya di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Sa ‘id melihat pundi-pundi berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap, ‘inna lilahi wa inna ilaihi raji’un. (Kita milik Allah, pasti kembali kepada Allah).”