Said bin Amir: Gajinya sebagai Gubernur Dibagikan untuk Rakyat Miskin
loading...
A
A
A
Said bin Amir adalah sahabat Rasullullah yang utama. Beliau menjadi gubernur di wilayah Syria. Hidupnya bersahaja bahkan cenderung miskin. Gajinya sebagai pejabat tinggi sebagian besar dibagi-bagikan kepada rakyatnya yang miskin.
Said bin Amir memang tidak sepopuler sabahat Nabi lainnya. la memang tak hendak menonjolkan diri. Namun kisahnya terukir indah dalam sejarah para sahabat yang agung.
Said bin Amir tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasullullah SAW. Dan memang itu memang telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut mengambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun di kancah peperangan.
Said bin Amir memeluk Islam tidak lama setelah pembebasan Khaibar. Dan sejak itu ia memeluk Islam dan bai'at kepada Rasullullah SAW. Seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita-citanya dibaktikan kepada keduanya.
Kebesaran tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar daripada tersembul di permukaan lahir yang kemilau ia jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya.
Ketika Amirul Mu'minin Umar bin Khathab memecat Mu'awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya.
Khalifah Umar sangat hati-hati dalam memilih pemimpin di daerah. Ia sadar bahwa dirinya ikut bertanggung jawab di hadapan Allah SWT tiap kesalahan penguasa yang diangkatnya itu.
Oleh sebab itu syarat-syarat yang dipergunakannya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan amat berat dan ketat serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, setajam penglihatan dan setembus pandangannya.
Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam mengikuti peradaban yang silih berganti. Di samping iu Syria merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang. Daerah ini adalah negeri yang penuh godaan dan rangsangan.
Maka menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdaya setan mana pun, seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah.
Tiba-tiba Umar berseru, katanya: "Saya telah menemukannya...! Bawa ke sini Sa'id bin ’Amir...!"
Tak lama antaranya datanglah Sa'id mendapatkan Amirul Mu'minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Hems. Tetapi Sa'id menyatakan keberatannya, katanya: "Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu'minin ...!"
Dengan nada keras Umar menjawab: "Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan Anda!
Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku , lalu tuan-tuan meninggalkan daku ...?"
Dalam sekejap saat, Sa'id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan itu.
Sungguh suatu hal yang tidak adil namanya bila mereka mengalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sebatang kara.
Dan seandainya seorang seperti Sa'id bin'Amir menolak untuk memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang amat berat itu?
Said bin Amir memang tidak sepopuler sabahat Nabi lainnya. la memang tak hendak menonjolkan diri. Namun kisahnya terukir indah dalam sejarah para sahabat yang agung.
Said bin Amir tidak pernah absen dalam semua perjuangan dan jihad yang dihadapi Rasullullah SAW. Dan memang itu memang telah menjadi pola dasar kehidupan semua orang Islam. Tidak selayaknya bagi orang yang beriman akan tinggal berpangku tangan dan tidak hendak turut mengambil bagian dalam apa juga yang dilakukan Nabi, baik di arena damai maupun di kancah peperangan.
Said bin Amir memeluk Islam tidak lama setelah pembebasan Khaibar. Dan sejak itu ia memeluk Islam dan bai'at kepada Rasullullah SAW. Seluruh kehidupannya, segala wujud dan cita-citanya dibaktikan kepada keduanya.
Kebesaran tokoh ini lebih mendalam dan berurat akar daripada tersembul di permukaan lahir yang kemilau ia jauh tersembunyi di sana, di balik kesederhanaan dan kesahajaannya.
Ketika Amirul Mu'minin Umar bin Khathab memecat Mu'awiyah dari jabatannya sebagai kepala daerah di Syria, ia menoleh kiri dan kanan mencari seseorang yang akan menjadi penggantinya.
Khalifah Umar sangat hati-hati dalam memilih pemimpin di daerah. Ia sadar bahwa dirinya ikut bertanggung jawab di hadapan Allah SWT tiap kesalahan penguasa yang diangkatnya itu.
Oleh sebab itu syarat-syarat yang dipergunakannya untuk menilai orang dan memilih para pejabat pemerintahan amat berat dan ketat serta didasarkan atas pertimbangan tajam dan sempurna, setajam penglihatan dan setembus pandangannya.
Syria ketika itu merupakan wilayah yang modern dan besar, sementara kehidupan di sana sebelum datangnya Islam mengikuti peradaban yang silih berganti. Di samping iu Syria merupakan pusat perdagangan yang penting dan tempat yang cocok untuk bersenang-senang. Daerah ini adalah negeri yang penuh godaan dan rangsangan.
Maka menurut pendapat Umar, tidak ada yang cocok untuk negeri itu kecuali seorang suci yang tidak dapat diperdaya setan mana pun, seorang zahid yang gemar beribadat, yang tunduk dan patuh serta melindungkan diri kepada Allah.
Tiba-tiba Umar berseru, katanya: "Saya telah menemukannya...! Bawa ke sini Sa'id bin ’Amir...!"
Tak lama antaranya datanglah Sa'id mendapatkan Amirul Mu'minin yang menawarkan jabatan sebagai wali kota Hems. Tetapi Sa'id menyatakan keberatannya, katanya: "Janganlah saya dihadapkan kepada fitnah, wahai Amirul Mu'minin ...!"
Dengan nada keras Umar menjawab: "Tidak, demi Allah saya tak hendak melepaskan Anda!
Apakah tuan-tuan hendak membebankan amanat dan khilafat di atas pundakku , lalu tuan-tuan meninggalkan daku ...?"
Dalam sekejap saat, Sa'id dapat diyakinkan. Dan memang kata-kata yang diucapkan Umar layak untuk mendapatkan hasil yang diharapkan itu.
Sungguh suatu hal yang tidak adil namanya bila mereka mengalungkan ke lehernya amanat dan jabatan sebagai khalifah, lalu mereka tinggalkan ia sebatang kara.
Dan seandainya seorang seperti Sa'id bin'Amir menolak untuk memikul tanggung jawab hukum, maka siapa lagi yang akan membantu Umar dalam memikul tanggung jawab yang amat berat itu?