Perayaan Maulid Nabi: Di Yogjakarta Ada Grebeg, di Banjarmasin Baayun
Kamis, 06 Oktober 2022 - 16:06 WIB
Peringatan maulid ini dilakukan di berbagai tempat, seperti: tempat-tempat ibadah; mesjid dan langgar (mushalla), sekolah-sekolah dan perkantoran, rumah-rumah penduduk, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya.
Masyarakat rela bergotong-royong untuk mempersiapkan segala sesuatu demi suksesnya perayaan ini. Biaya penyelenggaraannya pun mereka tanggung bersama-sama.
Sementara itu, sebagian masyarakat Banjar, khususnya keturunan kerajaan, ada pula yang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini dengan menggelar suatu tradisi unik yang mereka sebut dengan istilah maayun anak.
Karena tradisi maayun anak ini digelar seiring dengan peringatan hari kelahiran Nabi yaitu pada bulan Maulid, maka upacara ini dalam bahasa Banjar dinamakan dengan istilah Baayun Mulud.
Pada perkembangan beberapa tahun terakhir ini, upacara Baayun Mulud semakin banyak diminati masyarakat, terbukti dengan semakin bertambahnya peserta yang hadir meramaikan, dan yang ikut maayun anak tidak lagi terbatas untuk keturunan kerajaan saja, tetapi juga orang yang bukan keturunan kerajaan.
Hal yang lebih unik lagi, terkait dengan peserta yang diayun, bukan lagi hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa, bahkan yang sudah tua. Mereka masing-masing mengikuti kegiatan ini dengan beragam kepercayaan dan motivasi tersendiri.
Asal mula munculnya tradisi Baayun Mulud ini diduga kuat pada awalnya berkaitan erat dengan tradisi lainnya dalam masyarakat Banjar, yaitu tradisi Bapalas Bidan.
Tradisi Bapalas Bidan sendiri adalah sebuah upacara pemberkatan yang dilakukan oleh seorang bidan kampung/tradisional kepada sang jabang bayi dan ibunya. Mereka yang melaksanakan tradisi ini berpandangan bahwa jika sebuah keluarga yang baru saja menerima kehadiran seorang bayi tidak melaksanakan upacara bapalas bidan, maka seakan-akan bayi yang baru lahir tersebut dianggap sebagai anak dari bidan yang menolong prosesi persalinannya.
Begitu kuatnya sebagian masyarakat Banjar mempercayai anggapan ini, sampai-sampai mereka tetap mengadakan acara bapalas bidan, meskipun yang membantu prosesi melahirkannya bukan lagi bidan tradisional atau bidan kampung, melainkan bidan yang berpendidikan modern atau dokter di rumah sakit.
Mereka juga percaya, bahwa jika acara bapalas bidan ini tidak dilakukan, maka konon bayinya akan sering sakit-sakitan karena diganggu makhluk gaib.
Dalam pelaksanaan upacara Bapalas Bidan, disediakan ayunan (buaian) yang terdiri tiga lapis kain panjang, lapis yang paling atas biasanya berwarna kuning.
Juga disediakan berbagai kue-kue dan piduduk (sesajian), baik piduduk kering maupun piduduk basah, dan berbagai perlengkapan lainnya.
Pada prosesinya, bayi yang baru dilahirkan pertama-tama diayun atau dibuai oleh sang bidan, kemudian diserahkan kepada ibunya atau keluarganya. Selanjutnya, dibacakan do’a keselamatan dan keberkahan untuk sang bayi, juga ibu dan keluarga besarnya. Terakhir, kue-kue dan sesajian lainnya dinikmati bersama-sama.
Tampaknya, acara Bapalas Bidan ini pada awalnya, lebih dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih dari pihak keluarga yang baru saja menerima kelahiran seorang bayi kepada sang bidan yang telah membantu prosesi kelahirannya.
Jika bidan zaman sekarang pada umumnya mendapat imbalan upah berupa bayaran sejumlah uang, maka dalam tradisi masyarakat Banjar tempo dulu, tampaknya seserahan dan piduduk (sesajian) yang disediakan pihak keluarga dalam upacara bapalas bidan inilah yang menjadi tanda terima kasih pihak keluarga terhadap bidan yang telah membantu prosesi persalinan.
Pada perkembangan berikutnya, acara Bapalas Bidan dilakukan bersamaan waktunya dengan acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan maulid atau Rabi’ul Awwal. Dari sinilah kemudian muncul istilah Baayun Mulud.
Dalam buku "Seni dan Budaya Dalam Pengobatan Tradisional Banjar" karya Ahmad Fadillah disebutkan seiring dengan perkembangan zaman, sejumlah peralatan dan sesajian pada acara bapalas bidan tetap dipertahankan dalam pelaksanaan upacara Baayun Mulud hingga sekarang.
Meskipun tradisi Baayun Mulud ini sempat dilupakan oleh sebagian masyarakat di lingkungan kota Banjarmasin, tetapi sekitar tujuh tahun terakhir ini kembali dihidupkan lagi terutama di lingkungan keluarga kerajaan Banjar.
Masyarakat rela bergotong-royong untuk mempersiapkan segala sesuatu demi suksesnya perayaan ini. Biaya penyelenggaraannya pun mereka tanggung bersama-sama.
Sementara itu, sebagian masyarakat Banjar, khususnya keturunan kerajaan, ada pula yang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini dengan menggelar suatu tradisi unik yang mereka sebut dengan istilah maayun anak.
Karena tradisi maayun anak ini digelar seiring dengan peringatan hari kelahiran Nabi yaitu pada bulan Maulid, maka upacara ini dalam bahasa Banjar dinamakan dengan istilah Baayun Mulud.
Pada perkembangan beberapa tahun terakhir ini, upacara Baayun Mulud semakin banyak diminati masyarakat, terbukti dengan semakin bertambahnya peserta yang hadir meramaikan, dan yang ikut maayun anak tidak lagi terbatas untuk keturunan kerajaan saja, tetapi juga orang yang bukan keturunan kerajaan.
Hal yang lebih unik lagi, terkait dengan peserta yang diayun, bukan lagi hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa, bahkan yang sudah tua. Mereka masing-masing mengikuti kegiatan ini dengan beragam kepercayaan dan motivasi tersendiri.
Asal mula munculnya tradisi Baayun Mulud ini diduga kuat pada awalnya berkaitan erat dengan tradisi lainnya dalam masyarakat Banjar, yaitu tradisi Bapalas Bidan.
Tradisi Bapalas Bidan sendiri adalah sebuah upacara pemberkatan yang dilakukan oleh seorang bidan kampung/tradisional kepada sang jabang bayi dan ibunya. Mereka yang melaksanakan tradisi ini berpandangan bahwa jika sebuah keluarga yang baru saja menerima kehadiran seorang bayi tidak melaksanakan upacara bapalas bidan, maka seakan-akan bayi yang baru lahir tersebut dianggap sebagai anak dari bidan yang menolong prosesi persalinannya.
Begitu kuatnya sebagian masyarakat Banjar mempercayai anggapan ini, sampai-sampai mereka tetap mengadakan acara bapalas bidan, meskipun yang membantu prosesi melahirkannya bukan lagi bidan tradisional atau bidan kampung, melainkan bidan yang berpendidikan modern atau dokter di rumah sakit.
Mereka juga percaya, bahwa jika acara bapalas bidan ini tidak dilakukan, maka konon bayinya akan sering sakit-sakitan karena diganggu makhluk gaib.
Dalam pelaksanaan upacara Bapalas Bidan, disediakan ayunan (buaian) yang terdiri tiga lapis kain panjang, lapis yang paling atas biasanya berwarna kuning.
Juga disediakan berbagai kue-kue dan piduduk (sesajian), baik piduduk kering maupun piduduk basah, dan berbagai perlengkapan lainnya.
Pada prosesinya, bayi yang baru dilahirkan pertama-tama diayun atau dibuai oleh sang bidan, kemudian diserahkan kepada ibunya atau keluarganya. Selanjutnya, dibacakan do’a keselamatan dan keberkahan untuk sang bayi, juga ibu dan keluarga besarnya. Terakhir, kue-kue dan sesajian lainnya dinikmati bersama-sama.
Tampaknya, acara Bapalas Bidan ini pada awalnya, lebih dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih dari pihak keluarga yang baru saja menerima kelahiran seorang bayi kepada sang bidan yang telah membantu prosesi kelahirannya.
Jika bidan zaman sekarang pada umumnya mendapat imbalan upah berupa bayaran sejumlah uang, maka dalam tradisi masyarakat Banjar tempo dulu, tampaknya seserahan dan piduduk (sesajian) yang disediakan pihak keluarga dalam upacara bapalas bidan inilah yang menjadi tanda terima kasih pihak keluarga terhadap bidan yang telah membantu prosesi persalinan.
Pada perkembangan berikutnya, acara Bapalas Bidan dilakukan bersamaan waktunya dengan acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan maulid atau Rabi’ul Awwal. Dari sinilah kemudian muncul istilah Baayun Mulud.
Dalam buku "Seni dan Budaya Dalam Pengobatan Tradisional Banjar" karya Ahmad Fadillah disebutkan seiring dengan perkembangan zaman, sejumlah peralatan dan sesajian pada acara bapalas bidan tetap dipertahankan dalam pelaksanaan upacara Baayun Mulud hingga sekarang.
Meskipun tradisi Baayun Mulud ini sempat dilupakan oleh sebagian masyarakat di lingkungan kota Banjarmasin, tetapi sekitar tujuh tahun terakhir ini kembali dihidupkan lagi terutama di lingkungan keluarga kerajaan Banjar.