Kisah Muhammad Iqbal Menjawab Jawaharlal Nehru Terkait Khatamul-Anbiya dan Ahmadiyah
Rabu, 26 Oktober 2022 - 13:55 WIB
Dalam mengidentifikasikan kedua kepenutupan itu, yaitu kepenutupannya sendiri dan kepenutupan nabi Besar itu, secara sadar dia mengabaikan makna duniawi dari gagasan Kepenutupan itu.
Namun yang jelas, bahwa kata buruz itu, walaupun dalam pengertian kemiripan yang sempurna, tidak dapat mendukungnya sama sekali; karena buruz pasti selalu berdampingan dengan aslinya.
Hanya dalam pengertian reinkarnasi (penitisan) sajalah buruz jadi identik dengan yang asli. Jadi bila kita menganggap kata buruz berarti 'mirip dalam sifat-sifat spiritual' argumen itu tetap tidak efektif; bila, di lain pihak, kita menganggapnya berarti reinkarnasi dari yang asli sebagaimana dalam pengertian bangsa Arya di zaman dahulu.
Argumen itu baru bisa dikatakan masuk akal; tetapi orang yang mengakui dirinya sebagai buruz itu tidak lain hanyalah seorang Magi yang terselubung.
Status kepenutupan itu lebih jauh dinyatakannya berdasarkan otoritas wali besar Muslim, Muhyiddin ibnu 'Arabi dari Spanyol, bahwa setiap wali Muslim dapat memperoleh, dalam perkembangan spiritualnya, sejenis pengalaman yang khas seperti kesadaran para nabi.
"Secara pribadi saya tidak percaya bahwa pendapat Syaikh Muhyiddin ibnu 'Arabi ini benar secara psikologik; tetapi seandainya ia benar pun argumen kelompok Qadiani itu sama sekali didasarkan atas kesalahpahaman terhadap pendapatnya yang pasti," ujar Iqbal.
Syaikh itu menganggapnya sebagai keberhasilan atau pencapaian perorangan murni yang tidak, dan dalam hakikatnya tidak dapat, memberi hak kepada wali yang bersangkutan untuk menyatakan bahwa semua orang yang tidak mempercayainya dianggap telah keluar dari kalangan Islam.
Iqbal mengakui, memang, dari sudut pandang Syaikh tersebut, ada kemungkinan lebih dari seorang wali, yang hidup di zaman atau di negara yang sama, bisa mencapai tingkat kesadaran nabi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, meskipun secara psikologik mungkin bagi seorang wali untuk mencapai pengalaman kenabian, pengalamannya itu sama sekali tidak memiliki arti sosiopolitik yang menempatkannya sebagai inti suatu organisasi yang baru dan memberikan hak kepadanya untuk menyatakan organisasi ini sebagai ukuran keimanan atau kekufuran bagi para pengikut Muhammad.
Dengan mengesampingkan psikologi sufistiknya, Iqbal mengtaakan, dari kajian yang cermat terhadap beberapa bagian relevan dari buku Futahat [al-Makkiyyah], saya yakin bahwa tokoh besar Sufi dari Spanyol itu adalah orang yang benar-benar percaya terhadap Muhammad sebagai penutup para nabi, sama sebagaimana kepercayaan ummat Muslim ortodoks lainnya.
Seandainya dia benar-benar telah melihat dalam penglihatan sufistiknya bahwa pada suatu hari di Timur ada beberapa orang tokoh Sufi gadungan akan menghancurkan kepenutupan nabi Besar [Muhammad] dengan memakai kedok psikologi sufistiknya itu, dia pasti akan mengantisipasi para 'Ulama India untuk mengingatkan dunia Islam agar menentang orang-orang yang tidak patuh kepada Islam seperti mereka itu.
Namun yang jelas, bahwa kata buruz itu, walaupun dalam pengertian kemiripan yang sempurna, tidak dapat mendukungnya sama sekali; karena buruz pasti selalu berdampingan dengan aslinya.
Hanya dalam pengertian reinkarnasi (penitisan) sajalah buruz jadi identik dengan yang asli. Jadi bila kita menganggap kata buruz berarti 'mirip dalam sifat-sifat spiritual' argumen itu tetap tidak efektif; bila, di lain pihak, kita menganggapnya berarti reinkarnasi dari yang asli sebagaimana dalam pengertian bangsa Arya di zaman dahulu.
Argumen itu baru bisa dikatakan masuk akal; tetapi orang yang mengakui dirinya sebagai buruz itu tidak lain hanyalah seorang Magi yang terselubung.
Status kepenutupan itu lebih jauh dinyatakannya berdasarkan otoritas wali besar Muslim, Muhyiddin ibnu 'Arabi dari Spanyol, bahwa setiap wali Muslim dapat memperoleh, dalam perkembangan spiritualnya, sejenis pengalaman yang khas seperti kesadaran para nabi.
"Secara pribadi saya tidak percaya bahwa pendapat Syaikh Muhyiddin ibnu 'Arabi ini benar secara psikologik; tetapi seandainya ia benar pun argumen kelompok Qadiani itu sama sekali didasarkan atas kesalahpahaman terhadap pendapatnya yang pasti," ujar Iqbal.
Syaikh itu menganggapnya sebagai keberhasilan atau pencapaian perorangan murni yang tidak, dan dalam hakikatnya tidak dapat, memberi hak kepada wali yang bersangkutan untuk menyatakan bahwa semua orang yang tidak mempercayainya dianggap telah keluar dari kalangan Islam.
Iqbal mengakui, memang, dari sudut pandang Syaikh tersebut, ada kemungkinan lebih dari seorang wali, yang hidup di zaman atau di negara yang sama, bisa mencapai tingkat kesadaran nabi.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa, meskipun secara psikologik mungkin bagi seorang wali untuk mencapai pengalaman kenabian, pengalamannya itu sama sekali tidak memiliki arti sosiopolitik yang menempatkannya sebagai inti suatu organisasi yang baru dan memberikan hak kepadanya untuk menyatakan organisasi ini sebagai ukuran keimanan atau kekufuran bagi para pengikut Muhammad.
Dengan mengesampingkan psikologi sufistiknya, Iqbal mengtaakan, dari kajian yang cermat terhadap beberapa bagian relevan dari buku Futahat [al-Makkiyyah], saya yakin bahwa tokoh besar Sufi dari Spanyol itu adalah orang yang benar-benar percaya terhadap Muhammad sebagai penutup para nabi, sama sebagaimana kepercayaan ummat Muslim ortodoks lainnya.
Seandainya dia benar-benar telah melihat dalam penglihatan sufistiknya bahwa pada suatu hari di Timur ada beberapa orang tokoh Sufi gadungan akan menghancurkan kepenutupan nabi Besar [Muhammad] dengan memakai kedok psikologi sufistiknya itu, dia pasti akan mengantisipasi para 'Ulama India untuk mengingatkan dunia Islam agar menentang orang-orang yang tidak patuh kepada Islam seperti mereka itu.
(mhy)