Implikasi Nabi Muhammad Penutup Segala Nabi Menurut Nurcholish Madjid
Rabu, 26 Oktober 2022 - 14:12 WIB
Salah satu implikasi Nabi Muhammad penutup segala nabi adalah manusia terbebas dari keharusan tunduk tidak semestinya kepada sesamanya, dan terbebas pula dari godaan cultic dan mitologi.
Jalan lurus terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. "Maka konsep Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan semangat ajaran Tauhid ," ujar Nurcholish Madjid dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Nurcholish Madjid mengatakan keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan Rasul diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktik tabanni.
Tabanni adalah mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi kehukuman atau legalnya.
Praktik tabanni itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya.
Oleh karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri secara lisan (yakni, secara formal), maka praktik itu dianggap tidak fitri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, kata Nurcholish Madjid, praktik tabanni (yang beliau lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd ibn Haritsah) mengakibatkan sebutan Nabi sebagai "bapak" seseorang di antara kaum beriman, yaitu Zayd. Maka beliau disebut Zayd ibn Muhammad, dengan mengesampingkan kaum beriman yang lain.
Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." ( QS al-Ahzab/33 :40).
Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." ( QS. al-Ahzab/33 :6).
Nurcholish Madjid menjelaskan sudah tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang di antara kaum beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua.
"Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang relevan," ujar Nurcholish Madjid.
Muhammad Asad dalam bunya berjudul "The Message of the Qur'an" (London: E.J. Brill, 1980) menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil sebagai hubungan fisikal), maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama.
"Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah yang terakhir," jelas Nurcholish Madjid.
Pengertian Penutup
Menurut Nurcholish Madjid, untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah "khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad sendiri juga memilikinya (antara lain beliau pergunakan mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim ke para penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu).
Jadi fungsi Nabi Muhammad SAW terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab suci, dan ajaran mereka.
Hal ini tersimpul dari penjelasan tentang kedudukan al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq) dan penentu atau penguji (mahaymin), di samping sebagai pengoreksi (furqan) atas penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut kitab-kitab itu.
Penegasan itu, kata Nurcholish Madjid, kita dapatkan dalam al-Qur'an dalam deretan keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen, disertai harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran agama mereka masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan dengan penegasan pluralitas kenyataan hidup manusia, termasuk dan terutama hidup keagamaannya.
Selanjutnya Nurcholish Madjid mengutip deretan firman itu, karena amat patut (dan di zaman sekarang cukup mendesak) untuk disimak dan direnungkan akan makna dan semangatnya:
Mereka (kaum Yahudi ) itu suka mendengarkan kedustaan dan memakan harta terlarang. Kalau mereka datang kepadamu (Muhammad) maka buatlah keputusan hukum antara mereka (berkenaan dengan perkara yang menyangkut mereka), atau berpalinglah dari mereka.
Jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidaklah akan merugikan engkau sedikitpun juga. Dan jika engkau buat keputusan hukum, maka buatlah keputusan hukum itu antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat keadilan.
Tetapi bagaimana mereka akan meminta hukum kepadamu, padahal mereka punya Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari keputusanmu). Mereka bukanlah kaum yang (benar-benar) beriman.
Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya ada hidayah dan cahaya, yang dengan Taurat itu para Nabi yang berserah diri (kepada Allah) membuat keputusan hukum untuk mereka yang beragama Yunani, demikian pula mereka yang ber-Ketuhanan (rabbaniyyun) dan para pendeta mereka, karena perintah agar mereka memelihara kitab Allah, dan mereka menjadi saksi atas hal itu. Maka janganlah kamu takut kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan jangan pula kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.
Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang kafir.
Dan telah kami tetapkan bagi mereka (kaum Yahudi) dalam Taurat bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, kuping dengan kuping, gigi dengan gigi, dan luka pun ada balasannya. Namun barangsiapa melepaskan haknya (untuk membalas), maka hal itu menjadi penebus bagi (dosa)-nya. Dan barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang zalim.
Dan Kami susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam sebagai pendukung bagi kitab yang ada sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada hidayah dan cahaya, sebagai mendukung kebenaran kitab yang ada, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk dan nasihat bagi mereka yang bertaqwa.
Karena itu hendaknyalah para penganut Injil itu menjalankan hukum dengan apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang fasik.
Dan Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) dengan benar, sebagai pendukung bagi yang ada sebelumnya, yaitu kitab-kitab suci (terdahulu) dan sebagai penentu (kebenaran kitab yang lalu itu). Maka jalankan hukum dengan yang diturunkan Allah, dan jangan mengikuti keinginan mereka sehingga menyimpang dari yang datang kepada engkau, yaitu kebenaran. Untuk masing-masing dari kamu (ummat manusia) telah Kami tetapkan tatanan hukum (syir'ah, syari'ah) dan jalan hidup (minhaj).
Jika seandainya Allah menghendaki, maka tentu akan dijadikannya kamu sekalian ummat yang tunggal. Tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang telah dikaruniakan kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah tempat kembalimu semua, maka Dia akan menjelaskan kepadamu tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan. ( QS al-Maidah/5 :42-48)
Menurut Nurcholish Madjid, penafsiran terhadap ayat-ayat Ilahi ini amat baku di kalangan para ahli dan 'ulama.
Pertama, dalam firman itu terdapat penegasan bahwa para penganut agama, dalam hal ini Yahudi dan Kristen, harus menjalankan ajaran kebenaran yang diberikan Allah kepada mereka melalui kitab-kitab mereka, berturut-turut Taurat dan Injil. Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka mereka adalah kafir dan zalim.
Kedua, al-Qur'an mendukung kebenaran dasar ajaran-ajaran dalam kitab-kitab suci itu, tapi juga mengujinya dari kemungkinan pengimpangan oleh para pengikutnya.
Jadi al-Qur'an mengajarkan tentang kontinuitas agama-agama Tuhan-sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai tempat lain dalam al-Qur'an- sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama Tuhan itu dari masa ke masa.
Nurcholish Madjid menjelaskan segi kebenaran yang didukung dan dilindungi oleh al-Qur'an ialah kebenaran asasi yang menjadi inti semua agama Allah, khususnya Tauhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Inti agama yang umum itu dinyatakan dalam istilah Arab al-din, yang seperti dijelaskan oleh Muhammad Asad mengandung makna kebenaran-kebenaran agama/spiritual yang asasi dan tidak berubah-ubah, yang menurut al-Qur'an diajarkan kepada setiap Utusan Allah.
Jadi semua Nabi dan Rasul membawa ajaran inti keagamaan (din) yang sama, kecuali jika diselewengkan atau diubah oleh para pengikutnya. Namun para Nabi dan Rasul tidak membawa sistem hukum (syir'ah, syari'ah) ataupun cara hidup (minhaj, way of life) yang sama.
Perbedaan dalam segi ini membawa kepada adanya kenyataan plural agama-agama, yang sepanjang ajaran al-Qur'an tidak perlu kita persoalkan, karena itu sudah menjadi kehendak Allah (Dia tidak menghendaki masyarakat tunggal manusia), dan Allah pula yang akan menjelaskan adanya perbedaan ini.
Menurut Nurcholish Madjid, dari urutan dan logika ajaran al-Qur'an itu dapat dilihat letak pandangan bahwa al-Qur'an adalah kulminasi semua kitab suci, dan bahwa penerimanya, yaitu Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebab ajaran yang dibawakannya adalah perkembangan akhir dari semua agama, menuju kesempurnaan. Maka Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi juga berarti bahwa beliau diutus untuk sekalian ummat manusia:
Katakan olehmu (Muhammad): "Wahai sekalian ummat manusia!Sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu sekalian, yang bagi-Nya kekuasaan seluruh langit dan bumi; tiada Tuhan selain Dia yang menghidupkan dan mematikan." Maka sekarang berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan kepada Rasul-Nya yang tak pandai baca tulis itu, yang beriman kepada firman-firmanNya. Ikutilah dia, agar kamu mendapatkan petunjuk. ( QS al-Araf/7 : 158)
Firman ini, kata Nurcholish Madjid, dilihat dari letaknya, merupakan interpolasi atas deretan keterangan tentang Nabi Musa dan keturunan Israel. Maksudnya ialah menjelaskan bahwa sementara Nabi-nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang dibawanya tertuju khusus kepada bangsa, tempat dan zaman tertentu, namun Nabi Muhammad dan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa terikat oleh bangsa, tempat maupun zaman tertentu.
Sebab sesudah Nabi Muhammad SAW tidak akan lagi ada Nabi, dan sesudah al-Qur'an tidak diturunkan lagi kitab suci.
Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW juga disebut sebagai bukti rahmat atau kasih Allah kepada seluruh alam, khususnya seluruh ummat manusia:
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk sekalian alam. Katakan (olehmu, Muhammad), "Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Apakah kamu bersedia tunduk (Islam) kepada-Nya?" Kalau mereka berpaling, maka katakan olehmu, "Ku telah sampaikan hal ini kepada kamu semua tanpa perbedaan. Dan aku tidak tahu apakah dekat (segera) atau jauh (terjadinya) apa yang dijanjikan kepada kamu (oleh Tuhan) itu. (QS Al-Anbiya/21:107-109).
Jadi paham Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Nurcholish Madjid, adalah inti ajaran al-Qur'an, sebagaimana juga inti ajaran para Nabi yang lain. Kita diperintahkan untuk tunduk (Islam) kepada Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah disampaikan Nabi kepada ummat manusia tanpa perbedaan.
Dengan kata-kata lain, katanya, ajaran adalah universal. Muhammad Asad menjelaskan segi-segi yang mendukung universalitas al-Qur'an, yaitu:
Pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan lingkungan budayanya.
Kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru semata-mata kepada amal manusia dan karenanya, tidak merumuskan dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan buta semata.
Ketiga, fakta bahwa -berbeda dari semua kitab suci yang diketahui dalam sejarah- al-Qur'an tetap seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia diturunkan dalam belasan abad yang lalu dan akan selamanya demikian keadaannya, karena ia diantara sedemikian luas, sesuai dengan janji Illahi. "Dan Kami-(Tuhan)-lah yang pasti menjaganya" (QS al-Hijr/15:9).
Berdasarkan tiga daftar isi muka al-Qur'an merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah penutup segala Nabi.
Setiap Orang Adalah Pendeta
Implikasi bahwa al-Qur'an menyeru kepada akal, dan karenanya tidak ada dogma yang harus diterima tanpa sikap kritis, ialah bahwa al-Qur'an terbuka bagi setiap orang yang akan mencoba untuk menangkap pesan-pesan Ilahi di dalamnya.
Keterbukaannya bagi setiap orang itu benar-benar sejalan dengan tekanan atas adanya tanggung jawab pribadi setiap orang kepada Allah kelak di akhirat, yang ajaran ini sendiri membawa konsekuensi tidak dibenarkannya sistem perantaraan bagi seseorang kepada Allah melalui lembaga-lembaga keagamaan seperti kependetaan.
Setiap orang adalah pendeta untuk dirinya sendiri, dalam arti bahwa dia sendirilah yang mampu membawa jiwanya untuk mendekat kepada Allah, bukan orang lain.
Kemudian, implikasi dari prinsip ini ialah bahwa manusia tidak lagi perlu kepada pembimbing kerohanian melainkan dirinya sendiri setingkat dengan usahanya memahami ajaran Kitab Suci yang terbuka itu.
"Mungkin ia memerlukan bantuan dari seorang atau para sarjana (ulama), atau pemikir, atau pembaharu, namun tidak kepada seorang atau para tokoh dengan kekuasaan spiritual," ujar Nurcholish Madjid.
Hal ini juga ditegaskan, misalnya, oleh A. Yusuf Ali dalam tafsirnya uraiannya atas ayat "penutup (khatam) pada Nabi:"
Jika sebuah dokumen telah distempel, ia telah lengkap, dan tidak boleh ada tambahan. Nabi Besar Muhammad mengakhiri garis panjang para rasul. Ajaran Tuhan tetap berlanjut, dan akan tetap terus demikian, namun tidak pernah ada dan tidak akan ada lagi Nabi sesudah Muhammad.
Zaman akhir memerlukan para pemikir dan pembaharu bukan Nabi-nabi. Ini bukanlah perkara sewenang-wenang. Ia merupakan keputusan dengan penuh pengetahuan dan kebijaksanaan: "sebab Allah mengetahui sepenuhnya akan segala sesuatu."
Nurcholish Madjid menyimpulkan sungguh banyak implikasi positif, baik sosial maupun keagamaan, dari ajaran bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup segala Nabi.
"Dengan berakhirnya kemungkinan ada Nabi dan Kitab suci serta agama sesudah Nabi Muhammad, al-Qur'an dan agama Islam, maka manusia tinggal harus mengembangkan apa yang telah diwariskan itu, dalam semangat persamaan hak dan kewajiban, dan dengan penuh rasa tanggung jawab pribadi kepada Allah di akhirat," katanya.
Menurutnya, dengan begitu pula maka manusia terbebas dari keharusan tunduk tidak semestinya kepada sesamanya, dan terbebas pula dari godaan cultic dan mitologi. Jalan lurus terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. "Maka konsep Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan semangat ajaran Tauhid," demikian Nurcholish Madjid.
Jalan lurus terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. "Maka konsep Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan semangat ajaran Tauhid ," ujar Nurcholish Madjid dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah".
Baca Juga
Nurcholish Madjid mengatakan keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan Rasul diberikan dalam al-Qur'an dalam rangkaian firman Allah dan ajaran-Nya tentang pembatalan praktik tabanni.
Tabanni adalah mengangkat anak, kemudian anak itu diakui seperti anak sendiri, seolah benar-benar mempunyai pertalian darah dengan orang tua angkat bersangkutan, dengan segala konsekuensi kehukuman atau legalnya.
Praktik tabanni itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lebih mendalam dan asasi, yaitu ajaran tentang fitrah yang antara lain menghendaki segala sesuatu dinilai, dipandang dan dilakukan berdasarkan kenyataan intrinsiknya, bukan fakta formalnya.
Oleh karena tabanni memberi hak kehukuman kepada seseorang anak angkat hanya karena ia dinyatakan sebagai anak sendiri secara lisan (yakni, secara formal), maka praktik itu dianggap tidak fitri.
Dalam sangkutannya dengan Nabi, kata Nurcholish Madjid, praktik tabanni (yang beliau lakukan untuk bekas budaknya yang dimerdekakan oleh beliau sendiri, Zayd ibn Haritsah) mengakibatkan sebutan Nabi sebagai "bapak" seseorang di antara kaum beriman, yaitu Zayd. Maka beliau disebut Zayd ibn Muhammad, dengan mengesampingkan kaum beriman yang lain.
Maka firman Allah mengenai hal ini terbaca: "Muhammad itu bukanlah bapak seseorang dari antara kaum lelakimu, melainkan Rasul Allah dan penutup para Nabi." ( QS al-Ahzab/33 :40).
Kemudian, mendahului firman itu terbaca firman: "Nabi lebih berhak atas kaum beriman daripada diri mereka sendiri, dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." ( QS. al-Ahzab/33 :6).
Nurcholish Madjid menjelaskan sudah tentu yang dimaksud bahwa isteri-isteri Nabi itu adalah ibu-ibu kaum beriman ialah dalam pengertian spiritual. Maka Nabi sendiri, sementara dinyatakan sebagai bukan bapak salah seorang di antara kaum beriman, adalah bapak (spiritual) seluruh kaum beriman, yakni, panutan mereka semua.
"Inilah yang dapat kita simpulkan dari rangkaian firman-firman yang relevan," ujar Nurcholish Madjid.
Muhammad Asad dalam bunya berjudul "The Message of the Qur'an" (London: E.J. Brill, 1980) menjabarkan bahwa penegasan itu mengandung arti penolakan kepada pandangan bahwa adanya hubungan fisik (keturunan) dengan Nabi mempunyai makna spiritual tersendiri; sebaliknya, karena hubungan kebapakan kepada Nabi dan keibuan kepada para isteri beliau itu harus dipahami hanya sebagai hubungan spiritual (dan mustahil sebagai hubungan fisikal), maka kedudukan seluruh kaum beriman dalam hal ini di hadapan beliau adalah mutlak sama.
"Pengertian ini lebih-lebih lagi sangat logis karena Nabi Muhammad SAW adalah Utusan Allah yang terakhir," jelas Nurcholish Madjid.
Pengertian Penutup
Menurut Nurcholish Madjid, untuk pengertian "penutup" itu al-Qur'an menggunakan istilah "khatam," yang secara harfiah berarti "cincin," yaitu cincin pengesah dokumen (seal, stempel), sebagaimana Nabi Muhammad sendiri juga memilikinya (antara lain beliau pergunakan mereka yang sahkan surat-surat yang beliau kirim ke para penguasa sekitar Jazirah Arabia saat itu).
Jadi fungsi Nabi Muhammad SAW terhadap para Nabi dan Rasul sebelum beliau ialah untuk memberi pengesahan kepada kebesaran, kitab-kitab suci, dan ajaran mereka.
Hal ini tersimpul dari penjelasan tentang kedudukan al-Qur'an terhadap kitab-kitab suci yang lalu, yaitu sebagai pembenar (mushaddiq) dan penentu atau penguji (mahaymin), di samping sebagai pengoreksi (furqan) atas penyimpangan yang terjadi oleh para pengikut kitab-kitab itu.
Penegasan itu, kata Nurcholish Madjid, kita dapatkan dalam al-Qur'an dalam deretan keterangan tentang kaum Yahudi dan Kristen, disertai harapan agar mereka benar-benar menjalankan ajaran agama mereka masing-masing dengan baik, dan dirangkaikan dengan penegasan pluralitas kenyataan hidup manusia, termasuk dan terutama hidup keagamaannya.
Selanjutnya Nurcholish Madjid mengutip deretan firman itu, karena amat patut (dan di zaman sekarang cukup mendesak) untuk disimak dan direnungkan akan makna dan semangatnya:
Mereka (kaum Yahudi ) itu suka mendengarkan kedustaan dan memakan harta terlarang. Kalau mereka datang kepadamu (Muhammad) maka buatlah keputusan hukum antara mereka (berkenaan dengan perkara yang menyangkut mereka), atau berpalinglah dari mereka.
Jika engkau berpaling dari mereka, maka mereka tidaklah akan merugikan engkau sedikitpun juga. Dan jika engkau buat keputusan hukum, maka buatlah keputusan hukum itu antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat keadilan.
Tetapi bagaimana mereka akan meminta hukum kepadamu, padahal mereka punya Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari keputusanmu). Mereka bukanlah kaum yang (benar-benar) beriman.
Sesungguhnya Kami (Tuhan) telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya ada hidayah dan cahaya, yang dengan Taurat itu para Nabi yang berserah diri (kepada Allah) membuat keputusan hukum untuk mereka yang beragama Yunani, demikian pula mereka yang ber-Ketuhanan (rabbaniyyun) dan para pendeta mereka, karena perintah agar mereka memelihara kitab Allah, dan mereka menjadi saksi atas hal itu. Maka janganlah kamu takut kepada manusia, melainkan takutlah kepada-Ku, dan jangan pula kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga murah.
Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang kafir.
Dan telah kami tetapkan bagi mereka (kaum Yahudi) dalam Taurat bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, kuping dengan kuping, gigi dengan gigi, dan luka pun ada balasannya. Namun barangsiapa melepaskan haknya (untuk membalas), maka hal itu menjadi penebus bagi (dosa)-nya. Dan barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang zalim.
Dan Kami susuli atas jejak mereka dengan Isa putera Maryam sebagai pendukung bagi kitab yang ada sebelumnya, yaitu Taurat. Dan Kami karuniakan kepadanya Injil, didalamnya ada hidayah dan cahaya, sebagai mendukung kebenaran kitab yang ada, yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk dan nasihat bagi mereka yang bertaqwa.
Karena itu hendaknyalah para penganut Injil itu menjalankan hukum dengan apa yang diturunkan Allah didalamnya. Barangsiapa tidak menjalankan hukum dengan yang diturunkan Allah maka mereka adalah kaum yang fasik.
Dan Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) dengan benar, sebagai pendukung bagi yang ada sebelumnya, yaitu kitab-kitab suci (terdahulu) dan sebagai penentu (kebenaran kitab yang lalu itu). Maka jalankan hukum dengan yang diturunkan Allah, dan jangan mengikuti keinginan mereka sehingga menyimpang dari yang datang kepada engkau, yaitu kebenaran. Untuk masing-masing dari kamu (ummat manusia) telah Kami tetapkan tatanan hukum (syir'ah, syari'ah) dan jalan hidup (minhaj).
Jika seandainya Allah menghendaki, maka tentu akan dijadikannya kamu sekalian ummat yang tunggal. Tetapi Dia hendak menguji kamu berkenaan dengan hal-hal yang telah dikaruniakan kepada kamu. Maka berlombalah kamu sekalian untuk berbagai kebajikan. Kepada Allah tempat kembalimu semua, maka Dia akan menjelaskan kepadamu tentang perkara yang pernah kamu perselisihkan. ( QS al-Maidah/5 :42-48)
Menurut Nurcholish Madjid, penafsiran terhadap ayat-ayat Ilahi ini amat baku di kalangan para ahli dan 'ulama.
Pertama, dalam firman itu terdapat penegasan bahwa para penganut agama, dalam hal ini Yahudi dan Kristen, harus menjalankan ajaran kebenaran yang diberikan Allah kepada mereka melalui kitab-kitab mereka, berturut-turut Taurat dan Injil. Kalau mereka tidak melakukan hal itu, maka mereka adalah kafir dan zalim.
Kedua, al-Qur'an mendukung kebenaran dasar ajaran-ajaran dalam kitab-kitab suci itu, tapi juga mengujinya dari kemungkinan pengimpangan oleh para pengikutnya.
Jadi al-Qur'an mengajarkan tentang kontinuitas agama-agama Tuhan-sebagaimana banyak ditegaskan di berbagai tempat lain dalam al-Qur'an- sekaligus ajaran tentang perkembangan agama-agama Tuhan itu dari masa ke masa.
Nurcholish Madjid menjelaskan segi kebenaran yang didukung dan dilindungi oleh al-Qur'an ialah kebenaran asasi yang menjadi inti semua agama Allah, khususnya Tauhid atau paham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Inti agama yang umum itu dinyatakan dalam istilah Arab al-din, yang seperti dijelaskan oleh Muhammad Asad mengandung makna kebenaran-kebenaran agama/spiritual yang asasi dan tidak berubah-ubah, yang menurut al-Qur'an diajarkan kepada setiap Utusan Allah.
Jadi semua Nabi dan Rasul membawa ajaran inti keagamaan (din) yang sama, kecuali jika diselewengkan atau diubah oleh para pengikutnya. Namun para Nabi dan Rasul tidak membawa sistem hukum (syir'ah, syari'ah) ataupun cara hidup (minhaj, way of life) yang sama.
Perbedaan dalam segi ini membawa kepada adanya kenyataan plural agama-agama, yang sepanjang ajaran al-Qur'an tidak perlu kita persoalkan, karena itu sudah menjadi kehendak Allah (Dia tidak menghendaki masyarakat tunggal manusia), dan Allah pula yang akan menjelaskan adanya perbedaan ini.
Menurut Nurcholish Madjid, dari urutan dan logika ajaran al-Qur'an itu dapat dilihat letak pandangan bahwa al-Qur'an adalah kulminasi semua kitab suci, dan bahwa penerimanya, yaitu Nabi Muhammad SAW adalah penutup para Nabi dan Rasul. Sebab ajaran yang dibawakannya adalah perkembangan akhir dari semua agama, menuju kesempurnaan. Maka Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi juga berarti bahwa beliau diutus untuk sekalian ummat manusia:
Katakan olehmu (Muhammad): "Wahai sekalian ummat manusia!Sesungguhnya aku adalah Utusan Allah kepada kamu sekalian, yang bagi-Nya kekuasaan seluruh langit dan bumi; tiada Tuhan selain Dia yang menghidupkan dan mematikan." Maka sekarang berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan kepada Rasul-Nya yang tak pandai baca tulis itu, yang beriman kepada firman-firmanNya. Ikutilah dia, agar kamu mendapatkan petunjuk. ( QS al-Araf/7 : 158)
Firman ini, kata Nurcholish Madjid, dilihat dari letaknya, merupakan interpolasi atas deretan keterangan tentang Nabi Musa dan keturunan Israel. Maksudnya ialah menjelaskan bahwa sementara Nabi-nabi terdahulu dan ajaran-ajaran yang dibawanya tertuju khusus kepada bangsa, tempat dan zaman tertentu, namun Nabi Muhammad dan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa terikat oleh bangsa, tempat maupun zaman tertentu.
Sebab sesudah Nabi Muhammad SAW tidak akan lagi ada Nabi, dan sesudah al-Qur'an tidak diturunkan lagi kitab suci.
Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW juga disebut sebagai bukti rahmat atau kasih Allah kepada seluruh alam, khususnya seluruh ummat manusia:
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (hai Muhammad) melainkan sebagai rahmat untuk sekalian alam. Katakan (olehmu, Muhammad), "Sesungguhnya diwahyukan kepadaku bahwa Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Apakah kamu bersedia tunduk (Islam) kepada-Nya?" Kalau mereka berpaling, maka katakan olehmu, "Ku telah sampaikan hal ini kepada kamu semua tanpa perbedaan. Dan aku tidak tahu apakah dekat (segera) atau jauh (terjadinya) apa yang dijanjikan kepada kamu (oleh Tuhan) itu. (QS Al-Anbiya/21:107-109).
Jadi paham Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, kata Nurcholish Madjid, adalah inti ajaran al-Qur'an, sebagaimana juga inti ajaran para Nabi yang lain. Kita diperintahkan untuk tunduk (Islam) kepada Tuhan Yang Maha Esa itu. Dan ajaran inti ini telah disampaikan Nabi kepada ummat manusia tanpa perbedaan.
Dengan kata-kata lain, katanya, ajaran adalah universal. Muhammad Asad menjelaskan segi-segi yang mendukung universalitas al-Qur'an, yaitu:
Pertama, seruan al-Qur'an tertuju kepada seluruh ummat manusia, tanpa mempedulikan keturunan, ras dan lingkungan budayanya.
Kedua, fakta bahwa al-Qur'an menyeru semata-mata kepada amal manusia dan karenanya, tidak merumuskan dengan yang bisa diterima atas dasar kepercayaan buta semata.
Ketiga, fakta bahwa -berbeda dari semua kitab suci yang diketahui dalam sejarah- al-Qur'an tetap seluruhnya tak berubah dalam kata-katanya sejak ia diturunkan dalam belasan abad yang lalu dan akan selamanya demikian keadaannya, karena ia diantara sedemikian luas, sesuai dengan janji Illahi. "Dan Kami-(Tuhan)-lah yang pasti menjaganya" (QS al-Hijr/15:9).
Berdasarkan tiga daftar isi muka al-Qur'an merupakan tahap akhir wahyu Tuhan, dan Nabi Muhammad adalah penutup segala Nabi.
Setiap Orang Adalah Pendeta
Implikasi bahwa al-Qur'an menyeru kepada akal, dan karenanya tidak ada dogma yang harus diterima tanpa sikap kritis, ialah bahwa al-Qur'an terbuka bagi setiap orang yang akan mencoba untuk menangkap pesan-pesan Ilahi di dalamnya.
Keterbukaannya bagi setiap orang itu benar-benar sejalan dengan tekanan atas adanya tanggung jawab pribadi setiap orang kepada Allah kelak di akhirat, yang ajaran ini sendiri membawa konsekuensi tidak dibenarkannya sistem perantaraan bagi seseorang kepada Allah melalui lembaga-lembaga keagamaan seperti kependetaan.
Setiap orang adalah pendeta untuk dirinya sendiri, dalam arti bahwa dia sendirilah yang mampu membawa jiwanya untuk mendekat kepada Allah, bukan orang lain.
Kemudian, implikasi dari prinsip ini ialah bahwa manusia tidak lagi perlu kepada pembimbing kerohanian melainkan dirinya sendiri setingkat dengan usahanya memahami ajaran Kitab Suci yang terbuka itu.
"Mungkin ia memerlukan bantuan dari seorang atau para sarjana (ulama), atau pemikir, atau pembaharu, namun tidak kepada seorang atau para tokoh dengan kekuasaan spiritual," ujar Nurcholish Madjid.
Hal ini juga ditegaskan, misalnya, oleh A. Yusuf Ali dalam tafsirnya uraiannya atas ayat "penutup (khatam) pada Nabi:"
Jika sebuah dokumen telah distempel, ia telah lengkap, dan tidak boleh ada tambahan. Nabi Besar Muhammad mengakhiri garis panjang para rasul. Ajaran Tuhan tetap berlanjut, dan akan tetap terus demikian, namun tidak pernah ada dan tidak akan ada lagi Nabi sesudah Muhammad.
Zaman akhir memerlukan para pemikir dan pembaharu bukan Nabi-nabi. Ini bukanlah perkara sewenang-wenang. Ia merupakan keputusan dengan penuh pengetahuan dan kebijaksanaan: "sebab Allah mengetahui sepenuhnya akan segala sesuatu."
Nurcholish Madjid menyimpulkan sungguh banyak implikasi positif, baik sosial maupun keagamaan, dari ajaran bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup segala Nabi.
"Dengan berakhirnya kemungkinan ada Nabi dan Kitab suci serta agama sesudah Nabi Muhammad, al-Qur'an dan agama Islam, maka manusia tinggal harus mengembangkan apa yang telah diwariskan itu, dalam semangat persamaan hak dan kewajiban, dan dengan penuh rasa tanggung jawab pribadi kepada Allah di akhirat," katanya.
Menurutnya, dengan begitu pula maka manusia terbebas dari keharusan tunduk tidak semestinya kepada sesamanya, dan terbebas pula dari godaan cultic dan mitologi. Jalan lurus terbentang di hadapannya, dan tinggallah ia harus menempuhnya sesuai dengan kemampuannya. "Maka konsep Nabi Muhammad sebagai penutup segala Nabi terkait erat dengan semangat ajaran Tauhid," demikian Nurcholish Madjid.
(mhy)