Kebijaksanaan yang Diperjualbelikan: Tiga Buah Nasihat Seratus Keping Uang Perak
Jum'at, 10 Juli 2020 - 06:27 WIB
Ketika tak sedang mempelajari catatan perjalanan atau merenungkan pengalamannya, Saif Baba mengamati ketiga binatang peliharaannya dan mempelajari cara hidup mereka. Ketiga hewan itu menanggapinya dengan cara mereka masing-masing. Didorongnya sifat baik mereka, dan diserangnya yang buruk, dan ia sering berbicara kepada mereka tentang Khaja Ansar yang Agung dan Tiga Butir Nasihat.
Dari waktu ke waktu, orang-orang saleh lewat dekat rumahnya, dan mereka sering mengundangnya untuk berbantahan, atau mempelajari Jalan mereka. Tetapi, undangan itu ditolak Saif Baba, katanya, "Aku punya tugas yang harus kuselesaikan, yang diberikan oleh guruku." Kemudian pada suatu hari, ia terkejut mendapati kucing peliharaannya bicara kepadanya dalam bahasa yang bisa ia mengerti. "Tuan," kata Si Kucing, "Tuan mempunyai tugas, dan tugas itu harus Tuan kerjakan. Namun, tidakkah Tuan heran bahwa waktu yang Tuan sebut 'akhir' itu belum juga tiba?"
"Aku tidak begitu terkejut," kata Saif Baba, "sebab setahuku akhir itu mungkin baru tiba setelah seratus tahun."
( )
"Di situlah letak kekeliruan Tuan," kata Si Burung, yang kini ikut berbicara, "sebab Tuan tidak mempelajari apa yang bisa Tuan simak dari berbagai kelana yang melewati jalan ini. Tuan tak menyadari bahwa meskipun mereka tampak berbeda (seperti kami semua binatang, tampak berbeda bagi Tuan), mereka semua diutus oleh sumber pengajaranmu, oleh Khaja Ansar sendiri, untuk melihat apakah Tuan telah cukup mempunyai pengetahuan untuk mengikuti mereka."
"Kalau benar demikian," kata Saif Baba, "yang belum kupercayai sekarang, bisakah kalian jelaskan padaku bagaimana mungkin seekor kucing dan burung pipit kecil bisa memberitahuku perihal yang aku, dengan kemampuan ajaib yang kumiliki, sendiri tidak menyadarinya?"
"Sederhana saja," jawab kedua binatang itu, "Tuan telah terbiasa menilai segala sesuatu hanya dengan satu cara sehingga kelemahan-kelemahan Tuan terlihat jelas bahkan oleh pikiran yang paling ringkas sekalipun."
Penjelasan itu membuat Saif Baba gusar. "Jadi, aku pasti telah menemukan Pintu ke Nasihat Ketiga itu sejak dahulu, kalau saja aku telah cukup menyesuaikan diri padanya?" (
"Begitulah," kata Si Anjing, bergabung dalam percakapan, "pintu itu telah terbuka lusinan kali di tahun-tahun lampau, namun Tuan tak melihatnya. Kami menyaksikannya, tetapi karena kami ini hewan, kami tak bisa mengatakannya pada Tuan."
"Lalu, kenapa kalian bisa berbicara kepadaku sekarang?"
"Tuan bisa memahami bahasa kami sebab Tuan sendiri akhirnya telah menjadi lebih manusiawi. Tetapi, kini Tuan tinggal punya satu kesempatan lagi, sebab Tuan semakin menua."
Saif Baba semula membatin, "Ah, aku mengkhayal." Lalu, ia berpikir, "Mereka ini tidak pantas berbicara padaku seperti itu; aku ini Tuan mereka, aku yang menyediakan makanan." Lagi, bagian lain dirinya berkata, "Kalau mereka keliru, tak mengapa. Tetapi kalau mereka benar, sungguh ngeri bagiku. Aku tak bisa mengambil sebuah peluang." (Baca juga: Kisah Bijak Para Sufi: Membawa Sepatu )
Maka, ia menanti kesempatannya. Berbulan-bulan lewat. Pada suatu hari, seorang darwis pengembara muncul dan memasang tenda di dekat rumah Saif Baba. Darwis itu berteman dengan ketiga binatang tadi, dan Saif memutuskan untuk mencoba memperoleh kepercayaannya. "Maaf saja!" kata Sang Darwis, "aku tak tertarik pada cerita Saudara tentang Guru Ansari, awan kecil itu, dan penglihatan, dan binatang peliharaan, bahkan Cincin Ajaib milik Saudara. Biarkan aku sendiri. Aku mengetahui apa yang harus Saudara, sampaikan, namun tidak mengetahui yang Saudara katakan barusan."
Saif Baba merasa putus asa; dipanggilnya Roh Cincin itu. Tetapi, Jin itu hanya berkata, "Hamba tidak boleh mengatakan pada Tuan perihal yang tidak boleh dikatakan. Namun, hamba mengetahui bahwa Tuan sedang menderita sebuah penyakit yang disebut 'Prasangka Tersembunyi Tetap' yang menguasai pemikiran Tuan dan membuat Tuan sulit mencapai kemajuan dalam jalan."
Kemudian, Saif Baba kembali menemui Sang Darwis yang sedang duduk-duduk di ambang pintunya, dan berkata, "Apa yang harus kulakukan, sebab aku merasakan suatu tanggung jawab terhadap hewan peliharaanku, dan kebingungan tentang diriku sendiri, sementara tak ada lagi petunjuk dalam Tiga Nasihat yang kupunyai."
"Saudara berkata tulus," kata Sang Darwis, "dan itu sebuah permulaan. Berikan ketiga binatang Saudara padaku, dan akan kuberitahukan jawabannya."
"Tetapi, aku tak mengenal Saudara, dan Saudara minta terlalu banyak," kata Saif Baba. "Bagaimana bisa Saudara meminta hal semacam itu? Aku menghormati Saudara, namun masih ada sedikit keraguan dalam benakku."( )
"Tepat sekali," kata Sang Darwis. "Saudara telah mengungkapkan bukan saja perhatian Saudara terhadap hewan-hewan itu, tetapi juga kurangnya pengenalan Saudara tentang aku. Kalau Saudara menilai berdasarkan perasaan atau logika, Saudara tidak bisa menarik manfaat. Bisa dibilang Saudara masih rakus karena Saudara masih mempertahankan kekuasaan atas binatang-binatang 'Saudara'. Nah, sekarang pergilah dengan yakin, bahwa namaku Darwaza."
Kini, 'Darwaza' artinya 'pintu', dan Saif Baba berpikir keras mengenai hal itu. Mungkinkah ini 'pintu' yang diramalkan oleh Sang Syeh, Ansari? "Saudara mungkin 'Pintu' yang kucari-cari, tetapi aku tak yakin," katanya kepada Sang Darwis Darwaza. "Sampai kapan Saudara berpraduga seperti itu?" kata darwis itu. "Tidakkah Saudara lihat bahwa kedua nasihat yang pertama ditujukan bagi pikiran Saudara, dan bahwa yang ketiga bisa dipahami hanya bila Saudara meyakininya?"
Setelah hampir dua tahun mengalami kebingungan dan kegelisahan, Saif Baba tiba-tiba menyadari kebenaran tersebut. Ia pun memanggil ketiga binatang itu dan dilepasnya mereka, katanya, "Kini kalian bebas mengambil jalan masing-masing. Inilah akhirnya." ( )
Dari waktu ke waktu, orang-orang saleh lewat dekat rumahnya, dan mereka sering mengundangnya untuk berbantahan, atau mempelajari Jalan mereka. Tetapi, undangan itu ditolak Saif Baba, katanya, "Aku punya tugas yang harus kuselesaikan, yang diberikan oleh guruku." Kemudian pada suatu hari, ia terkejut mendapati kucing peliharaannya bicara kepadanya dalam bahasa yang bisa ia mengerti. "Tuan," kata Si Kucing, "Tuan mempunyai tugas, dan tugas itu harus Tuan kerjakan. Namun, tidakkah Tuan heran bahwa waktu yang Tuan sebut 'akhir' itu belum juga tiba?"
"Aku tidak begitu terkejut," kata Saif Baba, "sebab setahuku akhir itu mungkin baru tiba setelah seratus tahun."
( )
"Di situlah letak kekeliruan Tuan," kata Si Burung, yang kini ikut berbicara, "sebab Tuan tidak mempelajari apa yang bisa Tuan simak dari berbagai kelana yang melewati jalan ini. Tuan tak menyadari bahwa meskipun mereka tampak berbeda (seperti kami semua binatang, tampak berbeda bagi Tuan), mereka semua diutus oleh sumber pengajaranmu, oleh Khaja Ansar sendiri, untuk melihat apakah Tuan telah cukup mempunyai pengetahuan untuk mengikuti mereka."
"Kalau benar demikian," kata Saif Baba, "yang belum kupercayai sekarang, bisakah kalian jelaskan padaku bagaimana mungkin seekor kucing dan burung pipit kecil bisa memberitahuku perihal yang aku, dengan kemampuan ajaib yang kumiliki, sendiri tidak menyadarinya?"
"Sederhana saja," jawab kedua binatang itu, "Tuan telah terbiasa menilai segala sesuatu hanya dengan satu cara sehingga kelemahan-kelemahan Tuan terlihat jelas bahkan oleh pikiran yang paling ringkas sekalipun."
Penjelasan itu membuat Saif Baba gusar. "Jadi, aku pasti telah menemukan Pintu ke Nasihat Ketiga itu sejak dahulu, kalau saja aku telah cukup menyesuaikan diri padanya?" (
"Begitulah," kata Si Anjing, bergabung dalam percakapan, "pintu itu telah terbuka lusinan kali di tahun-tahun lampau, namun Tuan tak melihatnya. Kami menyaksikannya, tetapi karena kami ini hewan, kami tak bisa mengatakannya pada Tuan."
"Lalu, kenapa kalian bisa berbicara kepadaku sekarang?"
"Tuan bisa memahami bahasa kami sebab Tuan sendiri akhirnya telah menjadi lebih manusiawi. Tetapi, kini Tuan tinggal punya satu kesempatan lagi, sebab Tuan semakin menua."
Saif Baba semula membatin, "Ah, aku mengkhayal." Lalu, ia berpikir, "Mereka ini tidak pantas berbicara padaku seperti itu; aku ini Tuan mereka, aku yang menyediakan makanan." Lagi, bagian lain dirinya berkata, "Kalau mereka keliru, tak mengapa. Tetapi kalau mereka benar, sungguh ngeri bagiku. Aku tak bisa mengambil sebuah peluang." (Baca juga: Kisah Bijak Para Sufi: Membawa Sepatu )
Maka, ia menanti kesempatannya. Berbulan-bulan lewat. Pada suatu hari, seorang darwis pengembara muncul dan memasang tenda di dekat rumah Saif Baba. Darwis itu berteman dengan ketiga binatang tadi, dan Saif memutuskan untuk mencoba memperoleh kepercayaannya. "Maaf saja!" kata Sang Darwis, "aku tak tertarik pada cerita Saudara tentang Guru Ansari, awan kecil itu, dan penglihatan, dan binatang peliharaan, bahkan Cincin Ajaib milik Saudara. Biarkan aku sendiri. Aku mengetahui apa yang harus Saudara, sampaikan, namun tidak mengetahui yang Saudara katakan barusan."
Saif Baba merasa putus asa; dipanggilnya Roh Cincin itu. Tetapi, Jin itu hanya berkata, "Hamba tidak boleh mengatakan pada Tuan perihal yang tidak boleh dikatakan. Namun, hamba mengetahui bahwa Tuan sedang menderita sebuah penyakit yang disebut 'Prasangka Tersembunyi Tetap' yang menguasai pemikiran Tuan dan membuat Tuan sulit mencapai kemajuan dalam jalan."
Kemudian, Saif Baba kembali menemui Sang Darwis yang sedang duduk-duduk di ambang pintunya, dan berkata, "Apa yang harus kulakukan, sebab aku merasakan suatu tanggung jawab terhadap hewan peliharaanku, dan kebingungan tentang diriku sendiri, sementara tak ada lagi petunjuk dalam Tiga Nasihat yang kupunyai."
"Saudara berkata tulus," kata Sang Darwis, "dan itu sebuah permulaan. Berikan ketiga binatang Saudara padaku, dan akan kuberitahukan jawabannya."
"Tetapi, aku tak mengenal Saudara, dan Saudara minta terlalu banyak," kata Saif Baba. "Bagaimana bisa Saudara meminta hal semacam itu? Aku menghormati Saudara, namun masih ada sedikit keraguan dalam benakku."( )
"Tepat sekali," kata Sang Darwis. "Saudara telah mengungkapkan bukan saja perhatian Saudara terhadap hewan-hewan itu, tetapi juga kurangnya pengenalan Saudara tentang aku. Kalau Saudara menilai berdasarkan perasaan atau logika, Saudara tidak bisa menarik manfaat. Bisa dibilang Saudara masih rakus karena Saudara masih mempertahankan kekuasaan atas binatang-binatang 'Saudara'. Nah, sekarang pergilah dengan yakin, bahwa namaku Darwaza."
Kini, 'Darwaza' artinya 'pintu', dan Saif Baba berpikir keras mengenai hal itu. Mungkinkah ini 'pintu' yang diramalkan oleh Sang Syeh, Ansari? "Saudara mungkin 'Pintu' yang kucari-cari, tetapi aku tak yakin," katanya kepada Sang Darwis Darwaza. "Sampai kapan Saudara berpraduga seperti itu?" kata darwis itu. "Tidakkah Saudara lihat bahwa kedua nasihat yang pertama ditujukan bagi pikiran Saudara, dan bahwa yang ketiga bisa dipahami hanya bila Saudara meyakininya?"
Setelah hampir dua tahun mengalami kebingungan dan kegelisahan, Saif Baba tiba-tiba menyadari kebenaran tersebut. Ia pun memanggil ketiga binatang itu dan dilepasnya mereka, katanya, "Kini kalian bebas mengambil jalan masing-masing. Inilah akhirnya." ( )