Kisah Kekecewaan Al-Asyari kepada Mutazilah dan 3 Kritik Kiai Masdar Farid Masudi
Sabtu, 17 Desember 2022 - 08:05 WIB
Kiai Masdar mengatakan salah satu prinsip ajaran yang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan" suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu, terutama jika diingat praktik kesewenang-wenangan yang dilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasar keprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yang dimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis) yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian.
Dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan dengan rezim yang berkuasa untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.
"Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" tersebut maka bagi saya, sistem pemikiran teologis atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah," ujar Kiai Masdar. "Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya teologi populis, atau teologi kerakyatan," lanjutnya.
Sehingga kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."
"Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan seperti Mu'tazilah maupun lawan-lawannya yang mengabdi kepada kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu kita kembangkan ini," katanya.
"Tapi kalau dialektika teologi yang mengabdi doktrin itu berwatak retorik --dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lain-- maka dialektika teologi baru itu bersifat empiris --dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal," jelasnya.
Dilihat dari sudut muaranya, ujar Kiai Masdar, beda antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
"Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat terbuka," katanya.
Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis, sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang selama ini seperti cenderung terpisah.
Dalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakan umat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangan dengan rezim yang berkuasa untuk melakukan tindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya.
"Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" tersebut maka bagi saya, sistem pemikiran teologis atau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalah yang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah," ujar Kiai Masdar. "Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya teologi populis, atau teologi kerakyatan," lanjutnya.
Sehingga kalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soal keadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilan Tuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yang menjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini."
"Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan seperti Mu'tazilah maupun lawan-lawannya yang mengabdi kepada kepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutan yang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlu kita kembangkan ini," katanya.
"Tapi kalau dialektika teologi yang mengabdi doktrin itu berwatak retorik --dialektika yang terjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satu doktrin dengan doktrin yang lain-- maka dialektika teologi baru itu bersifat empiris --dialektika yang terjadi dari
proses penghadapan kritis antara realitas kehidupan dengan
pesan-pesan universal," jelasnya.
Dilihat dari sudut muaranya, ujar Kiai Masdar, beda antara teologi dialektika retorik di satu pihak dengan dialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebut pertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaian realitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedang yang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antara realitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.
"Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentuk dan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwatak substansial yang berorientasi pada substansi dan bersifat terbuka," katanya.
Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektika empiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yang berbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yang terbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologi dialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis, sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yang selama ini seperti cenderung terpisah.
(mhy)