5 Prinsip Pokok Masalah Taqlid dan Ijtihad dalam Surat Umar kepada Abu Musa

Selasa, 03 Januari 2023 - 14:40 WIB
Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asyari yang kala itu menjadi Gubernur di Basrah, Irak. Foto/Ilustrasi: Ist
Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang kala itu menjadi Gubernur di Basrah, Irak. Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (17 Maret 1939 – 29 Agustus 2005) atau populer dipanggil Cak Nur , menilai surat Khalifah Umar tersebut mengandung beberapa prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad.



Surat Umar bin Khattab kepada Abu Musa al-Asy'ari itu berbunyi sebagai berikut:

"Adapun sesudah itu, sesungguhnya menegakkan hukum (al qadla) adalah suatu kewajiban yang pasti dan tradisi (Sunnah) yang harus dipatuhi. Maka pahamilah jika sesuatu diajukan orang kepadamu. Sebab, tidaklah ada manfaatnya berbicara mengenai kebenaran jika tidak dapat dilaksanakan.

Bersikaplah ramah antara sesama manusia dalam kepribadianmu, keadilanmu dan majlismu, sehingga seorang yang berkedudukan tinggi (syarif) tidak sempat berharap akan keadilanmu.

Memberi bukti adalah wajib atas orang yang menuduh, dan mengucapkan sumpah wajib bagi orang yang mengingkari (tuduhan).

Sedangkan kompromi (ishlah, berdamai) diperbolehkan di antara sesama orang Muslim, kecuali kompromi yang menghalalkan hal yang haram dan mengharamkan hal yang halal. Dan janganlah engkau merasa terhalang untuk kembali pada yang benar berkenaan dengan perkara yang telah kau putuskan kemarin tetapi kemudian engkau memeriksa kembali jalan pikiranmu lalu engkau mendapat petunjuk kearah jalanmu yang benar; sebab kebenaran itu tetap abadi, dan kembali kepada yang benar adalah lebih baik daripada berketerusan dalam kebatilan.

Pahamilah, sekali lagi, pahamilah, apa yang terlintas dalam dadamu yang tidak termaktub dalam Kitab dan Sunnah, kemudian temukanlah segi-segi kemiripan dan kesamaannya, dan selanjutnya buatlah analogi tentang berbagai perkara itu, lalu berpeganglah pada segi yang paling mirip dengan yang benar.

Untuk orang yang mendakwahkan kebenaran atau bukti, berilah tenggang waktu yang harus ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Jika ia berhasil datang membawa bukti itu, engkau harus mengambilnya untuk dia sesuai dengan haknya. Tetapi jika tidak, maka anggaplah benar keputusan (yang kau ambil) terhadapnya, sebab itulah yang lebih menjamin untuk menghindari keraguan, dan lebih jelas dari ketidakpastian (al-a'ma, kebutaan, kegelapan) ...



Barang siapa telah benar niatnya kemudian teguh memegang pendiriannya, maka Allah akan melindunginya berkenaan dengan apa yang terjadi antara dia dan orang banyak. Dan barang siapa bertingkah laku terhadap sesama manusia dengan sesuatu yang Allah ketahui tidak berasal dari dirinya (tidak tulus), maka Allah akan menghinakannya ..." [Lihat: Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas al-Maliki al-Hasani al-Makki, Syarifat Allah al-Khalidah: Dirasat fi Tarikh Tasyri al-Ahkam wa Madzahib al-Fuqaha al-A'lam (Jeddah: Dar al-Syuruq, 1407 H/1986 M), h. 120-121)].



Cak Nur dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" pada pokok bahasan Taqlid dan Ijtihad, Masalah Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama" menjelaskan dari kutipan surat yang lebih panjang itu ada beberapa prinsip pokok yang dapat kita simpulkan berkenaan dengan masalah taqlid dan ijtihad.

Prinsip-prinsip pokok itu ialah:

Pertama, prinsip keotentikan (authenticity). Dalam surat Umar itu prinsip keotentikan tercermin dalam penegasannya bahwa keputusan apapun mengenai suatu perkara harus terlebih dahulu diusahakan menemukannya dalam Kitab dan Sunnah.

Kedua, prinsip pengembangan. Yaitu, pengembangan asas-asas ajaran dari Kitab dan Sunnah untuk mencakup hal-hal yang tidak dengan jelas termaktub dalam sumber-sumber pokok itu.

Metodologi pengembangan ini ialah penalaran melalui analogi. Pengembangan ini diperlukan, sebab suatu kebenaran akan membawa manfaat hanya kalau dapat terlaksana, dan syarat keterlaksanaan itu ialah relevansi dengan keadaan nyata.



Ketiga, prinsip pembatalan suatu keputusan perkara yang telah terlanjur diambil tetapi kemudian ternyata salah, dan selanjutnya, pengambilan keputusan itu kepada yang benar. Ini bisa terjadi karena adanya bahan baru yang datang kemudian, yang sebelumnya tidak diketahui.

Keempat, prinsip ketegasan dalam mengambil keputusan yang menyangkut perkara yang kurang jelas sumber pengambilannya (misalnya, tidak jelas tercantum dalam Kitab dan Sunnah), namun perkara itu amat penting dan mendesak. Ketegasan dalam hal ini bagaimanapun lebih baik daripada keraguan dan ketidakpastian.

Kelima, prinsip ketulusan dan niat baik, yaitu bahwa apapun yang dilakukan haruslah berdasarkan keikhlasan. Jika hal itu benar-benar ada, maka sesuatu yang menjadi akibatnya dalam hubungan dengan sesama manusia (seperti terjadinya kesalahpahaman), Tuhanlah yang akan memutuskan kelak (dalam bahasa 'Umar, Allah yang akan "mencukupkannya").

Menurut Cak Nur, dari prinsip-prinsip itu, prinsip keotentikan adalah yang pertama dan utama, disebabkan kedudukannya sebagai sumber keabsahan. Karena agama adalah sesuatu yang pada dasarnya hanya menjadi wewenang Tuhan, maka keotentikan suatu keputusan atau pikiran keagamaan diperoleh hanya jika ia jelas memiliki dasar referensial dalam sumber-sumber suci, yaitu Kitab dan Sunnah.

"Tanpa prinsip ini maka klaim keabsahan keagamaan akan menjadi mustahil. Justru suatu pemikiran disebut bernilai keagamaan karena ia merupakan segi derivatif semangat yang diambil dari sumber-sumber suci agama itu," ujar Cak Nur.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا اذۡكُرُوۡا اللّٰهَ ذِكۡرًا كَثِيۡرًا
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat nama-Nya sebanyak-banyaknya,

(QS. Al-Ahzab Ayat 41)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More