Inilah Contoh Terbaik yang Rutin Mengamalkan Qiyamul Lail
Senin, 09 Januari 2023 - 10:27 WIB
Sholat malam atau qiyamul lail yang dilakukan di sepertiga malam menyimpan keagungan dan kemuliaan yang luar biasa untuk mengatasi berbagai problematika kehidupan. Sebagai umat muslim, kita pun dianjurkan mengamalkan ibadah sunnah ini.
Dalam buku berjudul “Bersujud di Keheningan Malam” karya Muhammad Shalih Ali Abdullah Ishaq dikisahkan, dijelaskan bahwa di antara ulama yang patut menjadi contoh untuk qiyamul lail adalah para imam empat madzhab, yaitu;
1. Imam Hanafi (80 H-150 H).
Qiyamul lail yang dikerjakan Imam Abu Hanifah rahimahullah sungguh sangat menakjubkan. Menurut Abu ‘Ashim al-Baghdadi, Abu Hanifah sering dijuluki ‘tiang’ karena banyaknya mengerjakan sholat dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Abu Hanifah rahimahullah selalu menghidupkan seluruh malam, ia menangis sampai tetangganya merasa kasihan. Ada cerita yang bisa dipercaya tentang dirinya bahwa ia selalu menghabiskan malamnya, sampai tukang pencucinya mengatakan: “Engkau telah menyusahkan orang setelahmu (untuk mengikuti atau melebihi sholatmu), dan engkau telah melebihi para ahli ibadah.”
Diceritakan dari al-Qasim bin Mu’in rahimahullah, ia mengatakan: “Abu Hanifah berdiri mengerjakan sholat malam dengan membaca ayat ini:
“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Q.S. Al-Qomar : 46)
Ia mengulang-ulang ayat ini sambil menangis dan merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai pagi hari. Pada suatu malam Abu Hanifah mengerjakan shalat dan membaca ayat ini:
“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka,” (QS. Ath-Thur: 27).
Ia tetap mengulang-ulang ayat tersebut sampai pagi.
Diriwayatkan dari Yazid bin al-Kumait, ia mengatakan, “Abu Hanifah rahimahullah sangat takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada suatu malam ketika mengerjakan sholat Isya, kami diimami oleh Ali bin Al-Husain Al-Mu’adzdzin dan ia membaca surat Al-Zalzalah, sedangkan Abu Hanifah berada di belakang sebagai makmum. Ketika orang-orang telah bubar, Abu Hanifah berdiri dan mengerjakan sholat sampai pagi dan berulang-ulang mengatakan: “Wahai Dzat yang memberikan balasan kebaikan dengan kebaikan walau kebaikan itu hanya seberat atom, dan yang memberikan balasan keburukan dengan keburukan walaupun hanya seberat atom, jauhkan hambamu dari neraka dan dari segala yang mendekatkan pada keburukan, dan masukkan hambamu ini ke dalam rahmatmu yang sangat luas.”
2. Imaam Maliki (93 H – 179 H)
Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagai Imam di Madinah, sholat malamnya juga sangat menakjubkan. Asyab bin Abdul Aziz pernah menceritakan: “Aku pernah keluar pada suatu malam ketika orang-orang telah tertidur. Aku melewati rumah Malik bin Ana. Dia tidak tidur dan mengerjakan shalat, setelah membaca surah Al-Fatihah ia membaca surah At-Takatsur, dan ketika sampai pada ayat terakhir, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan tentang dunia itu).” (Q.S. At-Takatsur [102]: 8) ia menangis lama sekali.
Ia ulangi lagi surat tersebut dan menangis lagi. Lamanya tangis Malik bin Anas yang aku dengar membuat aku lupa pada kebutuhan yang aku tuju. Ketika fajar telah nampak ia baru ruku’. Aku pun pergi meninggalkan dia dan pulang ke rumah, lalu aku mengambil air wudu dan pergi ke masjid. Tiba-tiba Malik sudah berada di tempat duduknya di masjid bersama orang-orang lainya. Pada waktu pagi aku melihat wajahnya bersinar.”
3.Imaam Syafi’i (150 H-204 H)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah tetap tekun mengerjakan qiyamul lail walaupun sibuk menuntut ilmu. Menurut ar-Rabi’ bin Sulaiman, salah seorang muridnya, al-Imam Syafi’i membagi malamya menjadi tiga: yang pertama untuk menulis, yang kedua untuk shalat, dan yang ketiga untuk tidur.
Husain al-Karabisyi pernah mengatakan, “Aku pernah bermalaman dengan asy-Syafi’i. Ia mengerjakan sholat kira-kira sepertiga malam. Ketika melewati ayat rahmat ia selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon untuk dirinya dan orang-orang Mukmin. Ketika melewati ayat ia selalu memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon keselamatan untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang Mukmin. Seolah-olah malam itu terisi penuh dengan harapan akan rahmat dan takut akan siksa secara bersama-sama.”
Dalam buku berjudul “Bersujud di Keheningan Malam” karya Muhammad Shalih Ali Abdullah Ishaq dikisahkan, dijelaskan bahwa di antara ulama yang patut menjadi contoh untuk qiyamul lail adalah para imam empat madzhab, yaitu;
1. Imam Hanafi (80 H-150 H).
Qiyamul lail yang dikerjakan Imam Abu Hanifah rahimahullah sungguh sangat menakjubkan. Menurut Abu ‘Ashim al-Baghdadi, Abu Hanifah sering dijuluki ‘tiang’ karena banyaknya mengerjakan sholat dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Abu Hanifah rahimahullah selalu menghidupkan seluruh malam, ia menangis sampai tetangganya merasa kasihan. Ada cerita yang bisa dipercaya tentang dirinya bahwa ia selalu menghabiskan malamnya, sampai tukang pencucinya mengatakan: “Engkau telah menyusahkan orang setelahmu (untuk mengikuti atau melebihi sholatmu), dan engkau telah melebihi para ahli ibadah.”
Diceritakan dari al-Qasim bin Mu’in rahimahullah, ia mengatakan: “Abu Hanifah berdiri mengerjakan sholat malam dengan membaca ayat ini:
بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرّ
“Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (Q.S. Al-Qomar : 46)
Ia mengulang-ulang ayat ini sambil menangis dan merendahkan diri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai pagi hari. Pada suatu malam Abu Hanifah mengerjakan shalat dan membaca ayat ini:
فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ
“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka,” (QS. Ath-Thur: 27).
Ia tetap mengulang-ulang ayat tersebut sampai pagi.
Diriwayatkan dari Yazid bin al-Kumait, ia mengatakan, “Abu Hanifah rahimahullah sangat takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pada suatu malam ketika mengerjakan sholat Isya, kami diimami oleh Ali bin Al-Husain Al-Mu’adzdzin dan ia membaca surat Al-Zalzalah, sedangkan Abu Hanifah berada di belakang sebagai makmum. Ketika orang-orang telah bubar, Abu Hanifah berdiri dan mengerjakan sholat sampai pagi dan berulang-ulang mengatakan: “Wahai Dzat yang memberikan balasan kebaikan dengan kebaikan walau kebaikan itu hanya seberat atom, dan yang memberikan balasan keburukan dengan keburukan walaupun hanya seberat atom, jauhkan hambamu dari neraka dan dari segala yang mendekatkan pada keburukan, dan masukkan hambamu ini ke dalam rahmatmu yang sangat luas.”
2. Imaam Maliki (93 H – 179 H)
Imam Malik bin Anas rahimahullah sebagai Imam di Madinah, sholat malamnya juga sangat menakjubkan. Asyab bin Abdul Aziz pernah menceritakan: “Aku pernah keluar pada suatu malam ketika orang-orang telah tertidur. Aku melewati rumah Malik bin Ana. Dia tidak tidur dan mengerjakan shalat, setelah membaca surah Al-Fatihah ia membaca surah At-Takatsur, dan ketika sampai pada ayat terakhir, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan tentang dunia itu).” (Q.S. At-Takatsur [102]: 8) ia menangis lama sekali.
Ia ulangi lagi surat tersebut dan menangis lagi. Lamanya tangis Malik bin Anas yang aku dengar membuat aku lupa pada kebutuhan yang aku tuju. Ketika fajar telah nampak ia baru ruku’. Aku pun pergi meninggalkan dia dan pulang ke rumah, lalu aku mengambil air wudu dan pergi ke masjid. Tiba-tiba Malik sudah berada di tempat duduknya di masjid bersama orang-orang lainya. Pada waktu pagi aku melihat wajahnya bersinar.”
3.Imaam Syafi’i (150 H-204 H)
Imam asy-Syafi’i rahimahullah tetap tekun mengerjakan qiyamul lail walaupun sibuk menuntut ilmu. Menurut ar-Rabi’ bin Sulaiman, salah seorang muridnya, al-Imam Syafi’i membagi malamya menjadi tiga: yang pertama untuk menulis, yang kedua untuk shalat, dan yang ketiga untuk tidur.
Husain al-Karabisyi pernah mengatakan, “Aku pernah bermalaman dengan asy-Syafi’i. Ia mengerjakan sholat kira-kira sepertiga malam. Ketika melewati ayat rahmat ia selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon untuk dirinya dan orang-orang Mukmin. Ketika melewati ayat ia selalu memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon keselamatan untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang Mukmin. Seolah-olah malam itu terisi penuh dengan harapan akan rahmat dan takut akan siksa secara bersama-sama.”