Sikap Islam Terhadap Filsafat Yunani: Dari Al-Asyari sampai Al-Ghazali
Jum'at, 13 Januari 2023 - 17:58 WIB
Umat Islam mengenal tradisi pemikiran Yunani sejak pertengahan abad kedelapan, menyusul penaklukan-penaklukan awal, terutama penaklukan atas Irak. Kala itu, di Irak ada sekolah-sekolah Kristen atau perguruan-perguruan tinggi Kristen .
Orientalis yang pakar studi-studi keislaman dari Britania Raya, William Montgomery Watt (1909-2006), mengatakan lembaga-lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Syria sebagai bahasa pengantar belajar, di sana dipelajari ilmu kedokteran, filsafat Yunani, dan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani yang lain.
"Para penguasa dan raja Islam, segera tertarik dengan ilmu kedokteran Yunani dan terutama ilmu astronomi, yang berguna untuk menentukan arah Kota Mekkah yang harus dihadapi ketika mendirikan ibadah sholat," ujar William Montgomery Watt dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin dengan judul "Titik Temu Islam dan Kristen" (Gaya Media Pratama, 1996).
Menurutnya, sampai tahun 870 Masehi, ahli fisika pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah adalah orang yang beragama Kristen.
Berikut selengkapnya tulisan William Montgomery Watt tersebut:
Di awal abad kesembilan, khalifah Al-Ma'mun mendirikan laboratorium dan pusat penterjemahan buku-buku Yunani, dan pada gilirannya buku-buku dari delapan puluh penulis Yunani itu sudah tersedia dalam sajian bahasa Arab.
Satu atau dua dekade terdahulu, sebagian kecil ahli teologi Islam tertarik kepada konsep-konsep filsafat Yunani dan konsep-konsep ilmiah Yunani. Para ahli ilmu Kalam ini pada gilirannya mulai menggunakan konsep-konsep filsafat maupun ilmiah Yunani dalam argumennya menentang para pemeluk kepercayaan non-muslim yang lain, dan menentang umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat yang mereka kemukakan.
Penggunaan konsepsi Yunani ini juga memperlihatkan kegunaannya kepada murid-murid yang sekolah di lembaga-lembaga pendidikan Kristen tadi, yang telah beragama Islam. Dua ahli ilmu Kalam terdahulu yang tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam dan Dirar Ibn Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800 Masehi.
Penggunaan konsepsi-konsepsi Yunani oleh para ahli kalam terdahulu ini membawa perkembangan ilmu baru, Ilmu Kalam, teologi falsafi atau teologi rasional.
Di antara lawan ilmu Kalam ini adalah aliran mazhab Mu'tazilah. Golongan mazhab ini mendiskusikan semua problem yang memperhatikan isu-isu teologis kontemporer. Namun berbeda dengan mainstream teologi Sunni yang berbicara tentang sejumlah masalah yang dikembangkan, misalnya, kepercayaan akan kebebasan kehendak manusia yang bertentangan dengan kehendak mutlak Tuhan. Akibatnya, golongan Sunni menghukumi bid'ah kepada golongan Mu'tazilah.
Sekitar tahun 900 Masehi, Al-Asy'ari (873-935 Masehi) yang terdidik dengan Kalam Mu'tazilah, meninggalkan mazhab Mu'tazilah ini, dan lalu kembali ke mainstream awalnya. Namun demikian, Al-Asy'ari terus menggunakan metode Ilmu Kalam yang dipelajarinya dalam rangka mempertahankan dan melindungi ajaran-ajaran tradisional.
Al-Asy'ari bukan saja pemikir dalam Ilmu Kalam ini, namun setelah kira-kira tahun 1000 Masehi, diberikan kepada mazhab utama Kalam Sunni di wilayah-wilayah pusat pemerintahan khalifah. Satu mazhab yang dapat diperbandingkan di Timur, Maturidiyah, tidak mencapai prominensi yang sesungguhnya sampai abad-abad berikutnya.
Para pelaksana Kalam yang awal, diisi dengan sejumlah ide-ide keilmuan dan ide-ide filsafat Yunani, dan rupanya kecil tambahan ide-ide yang dikembangkan oleh para ahli Kalam sampai zaman Al-Ghazali.
Kendatipun demikian, ada pula sejumlah umat Islam yang hendak merumuskan pemikiran yang lebih jauh dari mazhab Mu'tazilah dalam hal pengakuannya terhadap pemikiran Yunani. Mereka dikenal sebagai falasifah (jama' bahasa Arab dari faylasuf atau dalam bahasa Yunani philosophos, para filosuf).
Salah seorang pendahulu yang terjun di bidang filsafat ini adalah Al-Kindi (800-868 Masehi). Al-Kindi adalah orang keturunan Arab asli, yang sayang sekali pemikiran-pemikirannya tidak banyak dikenal.
Filsuf lain adalah orang berkebangsaan Persia, Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (meninggal 923 Masehi/32 Hijrah). Al-Razi menulis bukunya yang berjudul The Spiritual Phisick yang telah diuraikan oleh penterjemah ke dalam bahasa Inggris, sebagai eksplorasi dari sikap 'hedonisme intelektual."
Filsuf yang lebih penting lagi adalah Al-Farabi (875-950 Masehi). Al-Farabi ini membela apa yang dianggapnya sebagai standar pandangan Islam atas dasar Neoplatonik.
Orientalis yang pakar studi-studi keislaman dari Britania Raya, William Montgomery Watt (1909-2006), mengatakan lembaga-lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Syria sebagai bahasa pengantar belajar, di sana dipelajari ilmu kedokteran, filsafat Yunani, dan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani yang lain.
"Para penguasa dan raja Islam, segera tertarik dengan ilmu kedokteran Yunani dan terutama ilmu astronomi, yang berguna untuk menentukan arah Kota Mekkah yang harus dihadapi ketika mendirikan ibadah sholat," ujar William Montgomery Watt dalam buku yang diterjemahkan Zaimudin dengan judul "Titik Temu Islam dan Kristen" (Gaya Media Pratama, 1996).
Menurutnya, sampai tahun 870 Masehi, ahli fisika pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah adalah orang yang beragama Kristen.
Berikut selengkapnya tulisan William Montgomery Watt tersebut:
Di awal abad kesembilan, khalifah Al-Ma'mun mendirikan laboratorium dan pusat penterjemahan buku-buku Yunani, dan pada gilirannya buku-buku dari delapan puluh penulis Yunani itu sudah tersedia dalam sajian bahasa Arab.
Satu atau dua dekade terdahulu, sebagian kecil ahli teologi Islam tertarik kepada konsep-konsep filsafat Yunani dan konsep-konsep ilmiah Yunani. Para ahli ilmu Kalam ini pada gilirannya mulai menggunakan konsep-konsep filsafat maupun ilmiah Yunani dalam argumennya menentang para pemeluk kepercayaan non-muslim yang lain, dan menentang umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat yang mereka kemukakan.
Penggunaan konsepsi Yunani ini juga memperlihatkan kegunaannya kepada murid-murid yang sekolah di lembaga-lembaga pendidikan Kristen tadi, yang telah beragama Islam. Dua ahli ilmu Kalam terdahulu yang tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam dan Dirar Ibn Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800 Masehi.
Penggunaan konsepsi-konsepsi Yunani oleh para ahli kalam terdahulu ini membawa perkembangan ilmu baru, Ilmu Kalam, teologi falsafi atau teologi rasional.
Di antara lawan ilmu Kalam ini adalah aliran mazhab Mu'tazilah. Golongan mazhab ini mendiskusikan semua problem yang memperhatikan isu-isu teologis kontemporer. Namun berbeda dengan mainstream teologi Sunni yang berbicara tentang sejumlah masalah yang dikembangkan, misalnya, kepercayaan akan kebebasan kehendak manusia yang bertentangan dengan kehendak mutlak Tuhan. Akibatnya, golongan Sunni menghukumi bid'ah kepada golongan Mu'tazilah.
Sekitar tahun 900 Masehi, Al-Asy'ari (873-935 Masehi) yang terdidik dengan Kalam Mu'tazilah, meninggalkan mazhab Mu'tazilah ini, dan lalu kembali ke mainstream awalnya. Namun demikian, Al-Asy'ari terus menggunakan metode Ilmu Kalam yang dipelajarinya dalam rangka mempertahankan dan melindungi ajaran-ajaran tradisional.
Al-Asy'ari bukan saja pemikir dalam Ilmu Kalam ini, namun setelah kira-kira tahun 1000 Masehi, diberikan kepada mazhab utama Kalam Sunni di wilayah-wilayah pusat pemerintahan khalifah. Satu mazhab yang dapat diperbandingkan di Timur, Maturidiyah, tidak mencapai prominensi yang sesungguhnya sampai abad-abad berikutnya.
Para pelaksana Kalam yang awal, diisi dengan sejumlah ide-ide keilmuan dan ide-ide filsafat Yunani, dan rupanya kecil tambahan ide-ide yang dikembangkan oleh para ahli Kalam sampai zaman Al-Ghazali.
Kendatipun demikian, ada pula sejumlah umat Islam yang hendak merumuskan pemikiran yang lebih jauh dari mazhab Mu'tazilah dalam hal pengakuannya terhadap pemikiran Yunani. Mereka dikenal sebagai falasifah (jama' bahasa Arab dari faylasuf atau dalam bahasa Yunani philosophos, para filosuf).
Salah seorang pendahulu yang terjun di bidang filsafat ini adalah Al-Kindi (800-868 Masehi). Al-Kindi adalah orang keturunan Arab asli, yang sayang sekali pemikiran-pemikirannya tidak banyak dikenal.
Filsuf lain adalah orang berkebangsaan Persia, Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (meninggal 923 Masehi/32 Hijrah). Al-Razi menulis bukunya yang berjudul The Spiritual Phisick yang telah diuraikan oleh penterjemah ke dalam bahasa Inggris, sebagai eksplorasi dari sikap 'hedonisme intelektual."
Filsuf yang lebih penting lagi adalah Al-Farabi (875-950 Masehi). Al-Farabi ini membela apa yang dianggapnya sebagai standar pandangan Islam atas dasar Neoplatonik.