Orientalis Ini Bilang Kebangkitan Islam Menyerupai Kebangkitan Kristen
loading...
A
A
A
Pokok-pokok utama itu adalah finalitas dan kecukupan-diri Islam, bersamaan dengan konsepsi implisit dunia-sejarah dalam jurang pemisah antara dunia Islam dan dunia perang. Juga diasumsikan bahwa hakekat manusia dan masyarakat itu adalah statis dan tidak berubah.
Akibat wajar dari asumsi terakhir itu adalah penegasan bahwa pemulihan "hukuman mati dalam Islam" seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum mati bagi perzinahan akan menguntungkan dan efektif di dunia modern ini.
Sebagian ulama mengakui bahwa dewasa ini ada wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terbuka oleh perluasan perluasan tradisional terhadap Syari'ah, dan oleh karena itu pemikiran segar diperlukan, namun agaknya sedikit yang dapat dicapai. Untuk pengamat dari luar timbul bahwa berfikir ulang itu diperlukan pada skala yang luas dan tak mungkin diselesaikan kurang dari satu generasi.
Di zaman pertengahan problema tersebut secara tegas tampil ke depan. Kaum muslimin dianggap sebagai berada dalam medan perang, dan boleh jadi mengasumsikan bahwa kondisi itu hanya bersifat temporer semata.
Pengalaman Umat Kristen
Pengalaman umat Kristen ternyata berbeda. Selama tiga abad umat Kristen berada di bawah kekuasaan non-Kristen; namun dapat dikatakan bahwa mereka ini secara umum patuh kepada penguasa.
"Silahkan tiap orang menjadi warga negara kepada para penguasa yang lebih tinggi, karena tidak ada kekuasaan selain dari Tuhan semata; kekuasaan-kekuasaan itu dinobatkan dari Tuhan."
Artikel Thomas Merton tentang Perjalanan Cargo Pasifik Selatan memberikan dorongan penting sikap Kristen terhadap golongan non-Kristen yang agaknya relevan dengan sikap Kristen terhadap kebangkitan Islam.
Perjalanan cargo adalah suatu fenomenon keagamaan yang tampak, walaupun tidak bersifat eksklusif, yakni di tengah penduduk kepulauan Pasifik di bawah kekuasaan kolonial.
Penduduk pribumi melihat bangsa penjajah itu rupanya tidak bekerja kecuali duduk-duduk saja di kantor dan menulis di sedikit kertas, kemudian setelah itu suatu saat kapal datang menjemput mereka untuk makan dan minum dan dengan berbagai bentuk hasil kekayaan yang bagus -- cargo.
Penduduk pribumi terheran-heran mengapa para penjajah itu menguasai cargo dan mereka tidak bekerja. Usaha percobaan di luar semua bentuk skema itu dilakukan untuk menguasai cargo.
Pada suatu saat mereka memutuskan bahwa bunga-bunga di atas meja para penjajah itu berhubungan dengan cargo serta rumah dan vila mereka diisi dengan bunga-bunga. Acapkali mereka mencoba membuang sesuatu yang berharga, bahkan barang-barang rumah tangga ataupun peternakan, sebagai kepercayaan kepada masa depan.
Pengamatan serius terhadap gerakan cargo itu diperlihatkan karena jalan mendapatkan kekayaan yang mereka lakukan itu tidak benar, selain identitas penduduk kepulauan itu dan hubungannya dengan para penjajah.
Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa ketika waktu itu hampir menyerang hadirnya cargo dan tidak ada yang terjadi, agar gerakan khusus ini digagalkan, bahkan gerakan lain yang mirip segera tumbuh.
Jadi yang timbul dari pelaksanaan cargo itu sama-sama berfungsi lebih mendalam bagi masyarakat. Penduduk pribumi hendak merasakan bahwa di samping keterbelakangan mereka itu, sesungguhnya mempunyai kedudukan dan hak sama dengan bangsa penjajah sebagai manusia.
Selain ada persamaan pekerjaan para penjajah tidak pernah membawanya dalam praktik. Tentu mereka cenderung bergerak pada asumsi bahwa penduduk pribumi adalah orang yang selalu harus dibantu dan orang tidak pernah mendapatkan persamaan hak bagi dirinya sendiri.
Thomas Merton terus menerapkan ide-ide tersebut terhadap hubungan bangsa Amerika kulit putih dengan bangsa Amerika kulit hitam dan hubungan seluruh bangsa Amerika dengan Dunia Ketiga dan terutama bangsa Vietnam (Thomas Merton ketika menulis buku ini perang Vietnam sedang berkecamuk). Dia memperbandingkan mitos-mimpi pelaksanaan cargo dengan mitos- mimpi bangsa Amerika:
Seperti penduduk pribumi Laut Selatan, kita juga mempunyai mitos-mimpi, namun mitos-mimpi ini acapkali terjadi bukan pada orang Kristen dan sangat tidak manusiawi. Ketika kita rancang untuk mempertahankan penduduk kulit non-hitam sebagai manusia, maka kita masih mempertahankan mereka sebagai manusia yang rendah martabatnya.
Akibat wajar dari asumsi terakhir itu adalah penegasan bahwa pemulihan "hukuman mati dalam Islam" seperti hukum potong tangan bagi pencuri dan hukum mati bagi perzinahan akan menguntungkan dan efektif di dunia modern ini.
Sebagian ulama mengakui bahwa dewasa ini ada wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terbuka oleh perluasan perluasan tradisional terhadap Syari'ah, dan oleh karena itu pemikiran segar diperlukan, namun agaknya sedikit yang dapat dicapai. Untuk pengamat dari luar timbul bahwa berfikir ulang itu diperlukan pada skala yang luas dan tak mungkin diselesaikan kurang dari satu generasi.
Di zaman pertengahan problema tersebut secara tegas tampil ke depan. Kaum muslimin dianggap sebagai berada dalam medan perang, dan boleh jadi mengasumsikan bahwa kondisi itu hanya bersifat temporer semata.
Pengalaman Umat Kristen
Pengalaman umat Kristen ternyata berbeda. Selama tiga abad umat Kristen berada di bawah kekuasaan non-Kristen; namun dapat dikatakan bahwa mereka ini secara umum patuh kepada penguasa.
"Silahkan tiap orang menjadi warga negara kepada para penguasa yang lebih tinggi, karena tidak ada kekuasaan selain dari Tuhan semata; kekuasaan-kekuasaan itu dinobatkan dari Tuhan."
Artikel Thomas Merton tentang Perjalanan Cargo Pasifik Selatan memberikan dorongan penting sikap Kristen terhadap golongan non-Kristen yang agaknya relevan dengan sikap Kristen terhadap kebangkitan Islam.
Perjalanan cargo adalah suatu fenomenon keagamaan yang tampak, walaupun tidak bersifat eksklusif, yakni di tengah penduduk kepulauan Pasifik di bawah kekuasaan kolonial.
Penduduk pribumi melihat bangsa penjajah itu rupanya tidak bekerja kecuali duduk-duduk saja di kantor dan menulis di sedikit kertas, kemudian setelah itu suatu saat kapal datang menjemput mereka untuk makan dan minum dan dengan berbagai bentuk hasil kekayaan yang bagus -- cargo.
Penduduk pribumi terheran-heran mengapa para penjajah itu menguasai cargo dan mereka tidak bekerja. Usaha percobaan di luar semua bentuk skema itu dilakukan untuk menguasai cargo.
Pada suatu saat mereka memutuskan bahwa bunga-bunga di atas meja para penjajah itu berhubungan dengan cargo serta rumah dan vila mereka diisi dengan bunga-bunga. Acapkali mereka mencoba membuang sesuatu yang berharga, bahkan barang-barang rumah tangga ataupun peternakan, sebagai kepercayaan kepada masa depan.
Pengamatan serius terhadap gerakan cargo itu diperlihatkan karena jalan mendapatkan kekayaan yang mereka lakukan itu tidak benar, selain identitas penduduk kepulauan itu dan hubungannya dengan para penjajah.
Hal ini dijelaskan oleh fakta bahwa ketika waktu itu hampir menyerang hadirnya cargo dan tidak ada yang terjadi, agar gerakan khusus ini digagalkan, bahkan gerakan lain yang mirip segera tumbuh.
Jadi yang timbul dari pelaksanaan cargo itu sama-sama berfungsi lebih mendalam bagi masyarakat. Penduduk pribumi hendak merasakan bahwa di samping keterbelakangan mereka itu, sesungguhnya mempunyai kedudukan dan hak sama dengan bangsa penjajah sebagai manusia.
Selain ada persamaan pekerjaan para penjajah tidak pernah membawanya dalam praktik. Tentu mereka cenderung bergerak pada asumsi bahwa penduduk pribumi adalah orang yang selalu harus dibantu dan orang tidak pernah mendapatkan persamaan hak bagi dirinya sendiri.
Thomas Merton terus menerapkan ide-ide tersebut terhadap hubungan bangsa Amerika kulit putih dengan bangsa Amerika kulit hitam dan hubungan seluruh bangsa Amerika dengan Dunia Ketiga dan terutama bangsa Vietnam (Thomas Merton ketika menulis buku ini perang Vietnam sedang berkecamuk). Dia memperbandingkan mitos-mimpi pelaksanaan cargo dengan mitos- mimpi bangsa Amerika:
Seperti penduduk pribumi Laut Selatan, kita juga mempunyai mitos-mimpi, namun mitos-mimpi ini acapkali terjadi bukan pada orang Kristen dan sangat tidak manusiawi. Ketika kita rancang untuk mempertahankan penduduk kulit non-hitam sebagai manusia, maka kita masih mempertahankan mereka sebagai manusia yang rendah martabatnya.