Kisah Ulama Terdahulu Menjauhi Keterkenalan dan Popularitas
loading...
A
A
A
Salah satu penyakit di akhir zaman sekarang adalah gila popularitas dan ingin terkenal. Bahkan tak sedikit yang memburu dan berjuang mati-matian agar namanya dikenal dan populer di tengah masyarakat.
Fenomena ini tentu berbeda dengan zaman generasi salafus saleh. Para ulama terdahulu sangat malu dengan popularitas atau keterkenalan. Mereka tidak senang apabila mendapat pujian dari banyak orang.
Menurut KH Ahmad Syahrin Thoriq, pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur, gila popularitas dan senang pujian adalah penyakit ganas yang dapat menyebabkan seseorang menjadi celaka.
Diriwayatkan dalam shahih Al-Bukhari, ada seseorang memuji-muji seorang laki-laki di hadapan Rasulullah SAW, maka beliau bersabda:
وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ مِرَارًا
Artinya: "Celaka kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah memenggal leher sahabatmu". Kalimat ini diucapkan oleh Beliau berulang kali."
Imam Munawi rahimahullah menjelaskan, "Karena senang dipuji itu akan menjadi penyakit bagi agama orang yang memuji ataupun yang dipuji. Disebut oleh Nabi ﷺ sebagai "disembelih", karena ini akan mematikan hati, sehingga mati pula agamanya. Juga orang yang dipuji seperti disembelih, karena ia akan tertipu dengan sifat ujub dan sombong." [Faidh al Qadir (3/129)]
Imam Ibnu Bathal rahimahulah berkata:
لم يأمن على الممدوح العُجْب؛ لظنِّه أنه بتلك المنزلة، فربَّما ضيَّع العمل والازدياد من الخير؛ اتِّكالاً على ما وُصف به
Artinya: "Karena pujian menyebabkan orang yang dipuji tidak akan selamat dari terkena penyakit ujub, ia mengira telah sampai pada kedudukan seperti isi pujian. Dan bisa jadi orang yang dipuji terhenti dari amal atau menambah dari berbuat kebaikan. Karena ia sudah mengira sampai di posisi pujian yang disifatkan kepadanya." [Fath al-Bari (10/477)]
Islam mengajarkan agar kita menjadi hamba yang menjauhi segala hiruk pikuk dunia, sanjung menyanjung dan keterkenalan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
Artinya: "Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan, dan tersembunyi." (HR Muslim)
Teladan Para Ulama
Imam Hamad menceritakan tentang gurunya, Imam Ayyub:
كنت أمشي معه يعني أيوب فيأخذ في طرق إني لأعجب كيف يهتدي لها؛ فراراً من الناس أن يُقال: هذا أيوب
"Aku pernah membersamai guruku Ayyub, maka ia berjalan dengan cara yang membuatku takjub dalam mengikutinya. Yakni ia berusaha menghindar dari orang-orang agar tidak ada yang mengatakan kepadanya: Ini Ayyub." [Siyar A'lam Nubala (10/476)]
Imam Ahmad berkata: "Ingin rasanya aku tinggal di kampung terpencil yang ada di Mekkah hingga aku tidak dikenal. Sungguh sekarang aku ditimpa musibah keterkenalan." [Siyar A'lam Nubala]
Ketika Imam Ahmad dielu-elukan banyak orang, maka beliau berkata:
ليته لا يكون استدراجاً
"Celaka, semoga ini bukan istidraj untukku." [Siyar A'lam Nubala ]
Imam Al-Ghazali menyebutkan riwayat tentang Imam Khalid bin Ma'dan, beliau jika halaqahnya sudah terlalu banyak orang yang menghadirinya justru meninggalkannya (membuat halaqadh di tempat lain) karena takutnya beliau kepada keterkenalan. [Ihya Ulumuddian (3/276)]
Dikisahkan, suatu ketika Ibnu Muhairiz masuk ke sebuah toko untuk membeli pakaian. Penjualnya menaikkan harga baju itu, lalu tetangga toko tersebut berkata kepadanya:
ويحكَ هذا ابنُ محيريزٍ.. ضَع له
"Celaka kamu, beliau ini adalah Ibnu Muhairiz. Berikan padanya."
Mendengar ini bukannya senang, Ibnu Muhairiz pun segera menarik tangan anaknya, lalu berkata: "Ayo kita pergi saja dari sini. Sesungguhnya saya belanja dengan hartaku, bukan dengan agamaku." [Hilyatul Auliya (2/166)]. Lalu beliau pun pergi dan meninggalkan toko tersebut.
Keterkenalan yang Tidak Tercela
KH Ahmad Syahrin menerangkan, meski demikian jangan lantas salah paham menganggap orang yang terkenal tidak baik atau memuji orang lain mutlak dilarang dalam Islam.
Tidak semua keterkenalan itu hal yang buruk, karena nyatanya banyak orang shalih yang terkenal. Demikian juga bukan berarti dipuji dan memuji itu terlarang, karena kita ketahui para Nabi dan orang-orang shalih juga dipuji-puji dan disanjung oleh umatnya karena mereka memang layak untuk dipuji.
Imam Al-Ghazali mengatakan:
فالمذموم طلب الشهرة, فأما وجودها من جهة الله سبحانه من غير تكلف من العبد فليس بمذموم.
"Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun, jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela." [Ihya Ulumuddin (3/278)]
Fenomena ini tentu berbeda dengan zaman generasi salafus saleh. Para ulama terdahulu sangat malu dengan popularitas atau keterkenalan. Mereka tidak senang apabila mendapat pujian dari banyak orang.
Menurut KH Ahmad Syahrin Thoriq, pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur, gila popularitas dan senang pujian adalah penyakit ganas yang dapat menyebabkan seseorang menjadi celaka.
Diriwayatkan dalam shahih Al-Bukhari, ada seseorang memuji-muji seorang laki-laki di hadapan Rasulullah SAW, maka beliau bersabda:
وَيْلَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ مِرَارًا
Artinya: "Celaka kamu, kamu telah memenggal leher sahabatmu, kamu telah memenggal leher sahabatmu". Kalimat ini diucapkan oleh Beliau berulang kali."
Imam Munawi rahimahullah menjelaskan, "Karena senang dipuji itu akan menjadi penyakit bagi agama orang yang memuji ataupun yang dipuji. Disebut oleh Nabi ﷺ sebagai "disembelih", karena ini akan mematikan hati, sehingga mati pula agamanya. Juga orang yang dipuji seperti disembelih, karena ia akan tertipu dengan sifat ujub dan sombong." [Faidh al Qadir (3/129)]
Imam Ibnu Bathal rahimahulah berkata:
لم يأمن على الممدوح العُجْب؛ لظنِّه أنه بتلك المنزلة، فربَّما ضيَّع العمل والازدياد من الخير؛ اتِّكالاً على ما وُصف به
Artinya: "Karena pujian menyebabkan orang yang dipuji tidak akan selamat dari terkena penyakit ujub, ia mengira telah sampai pada kedudukan seperti isi pujian. Dan bisa jadi orang yang dipuji terhenti dari amal atau menambah dari berbuat kebaikan. Karena ia sudah mengira sampai di posisi pujian yang disifatkan kepadanya." [Fath al-Bari (10/477)]
Islam mengajarkan agar kita menjadi hamba yang menjauhi segala hiruk pikuk dunia, sanjung menyanjung dan keterkenalan. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ
Artinya: "Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, berkecukupan, dan tersembunyi." (HR Muslim)
Teladan Para Ulama
Imam Hamad menceritakan tentang gurunya, Imam Ayyub:
كنت أمشي معه يعني أيوب فيأخذ في طرق إني لأعجب كيف يهتدي لها؛ فراراً من الناس أن يُقال: هذا أيوب
"Aku pernah membersamai guruku Ayyub, maka ia berjalan dengan cara yang membuatku takjub dalam mengikutinya. Yakni ia berusaha menghindar dari orang-orang agar tidak ada yang mengatakan kepadanya: Ini Ayyub." [Siyar A'lam Nubala (10/476)]
Imam Ahmad berkata: "Ingin rasanya aku tinggal di kampung terpencil yang ada di Mekkah hingga aku tidak dikenal. Sungguh sekarang aku ditimpa musibah keterkenalan." [Siyar A'lam Nubala]
Ketika Imam Ahmad dielu-elukan banyak orang, maka beliau berkata:
ليته لا يكون استدراجاً
"Celaka, semoga ini bukan istidraj untukku." [Siyar A'lam Nubala ]
Imam Al-Ghazali menyebutkan riwayat tentang Imam Khalid bin Ma'dan, beliau jika halaqahnya sudah terlalu banyak orang yang menghadirinya justru meninggalkannya (membuat halaqadh di tempat lain) karena takutnya beliau kepada keterkenalan. [Ihya Ulumuddian (3/276)]
Dikisahkan, suatu ketika Ibnu Muhairiz masuk ke sebuah toko untuk membeli pakaian. Penjualnya menaikkan harga baju itu, lalu tetangga toko tersebut berkata kepadanya:
ويحكَ هذا ابنُ محيريزٍ.. ضَع له
"Celaka kamu, beliau ini adalah Ibnu Muhairiz. Berikan padanya."
Mendengar ini bukannya senang, Ibnu Muhairiz pun segera menarik tangan anaknya, lalu berkata: "Ayo kita pergi saja dari sini. Sesungguhnya saya belanja dengan hartaku, bukan dengan agamaku." [Hilyatul Auliya (2/166)]. Lalu beliau pun pergi dan meninggalkan toko tersebut.
Keterkenalan yang Tidak Tercela
KH Ahmad Syahrin menerangkan, meski demikian jangan lantas salah paham menganggap orang yang terkenal tidak baik atau memuji orang lain mutlak dilarang dalam Islam.
Tidak semua keterkenalan itu hal yang buruk, karena nyatanya banyak orang shalih yang terkenal. Demikian juga bukan berarti dipuji dan memuji itu terlarang, karena kita ketahui para Nabi dan orang-orang shalih juga dipuji-puji dan disanjung oleh umatnya karena mereka memang layak untuk dipuji.
Imam Al-Ghazali mengatakan:
فالمذموم طلب الشهرة, فأما وجودها من جهة الله سبحانه من غير تكلف من العبد فليس بمذموم.
"Yang tercela adalah apabila seseorang mencari ketenaran. Namun, jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari, maka itu tidaklah tercela." [Ihya Ulumuddin (3/278)]
(rhs)