Pandangan Filsafat dan Sufi tentang Bahagia dan Sengsara
loading...
A
A
A
Padahal pikirin itu tak akan luput dari dorongan diri sendiri dan keinginannya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa diri sendiri telah "mengetahui Tuhan akan berakhir dengan penuhanan keinginan diri sendiri, atau sikap dan pandangan yang mengangkat keinginan diri sendiri itu sebagai Tuhan.
Inilah antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23).
Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu, atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian,
Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua) lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS al-Taubah/9:24)
Menurut Cak Nur, firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi Muhammad datang untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun kecil. Juga tidak untuk mendorong manusia agar meninggalkan kegiatan duniawi.
Yang pertama tidak benar, karena al-Qur'an sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya.
Firman Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran, yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya, baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat tinggal). Sebab seperti dikatakan A Yusuf Ali dalam The Holy Qur'an menafsirkan firman ini:
"Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4) gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan.
Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua.
Cak Nur mengatakan serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih, sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35).
Dalam melakukan pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan, Erich Fromm dalam "Psychoanalysis and Religion" mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua, melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati.
Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan."
"Tetapi pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang Kebenaran," demikian Cak Nur.
Inilah antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23).
Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu, atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian,
Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua) lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS al-Taubah/9:24)
Menurut Cak Nur, firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi Muhammad datang untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun kecil. Juga tidak untuk mendorong manusia agar meninggalkan kegiatan duniawi.
Yang pertama tidak benar, karena al-Qur'an sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya.
Firman Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran, yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya, baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat tinggal). Sebab seperti dikatakan A Yusuf Ali dalam The Holy Qur'an menafsirkan firman ini:
"Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4) gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan.
Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua.
Cak Nur mengatakan serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih, sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35).
Dalam melakukan pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan, Erich Fromm dalam "Psychoanalysis and Religion" mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua, melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati.
Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan."
"Tetapi pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang Kebenaran," demikian Cak Nur.
(mhy)