Pandangan Filsafat dan Sufi tentang Bahagia dan Sengsara

Senin, 06 Februari 2023 - 09:32 WIB
loading...
Pandangan Filsafat dan Sufi tentang Bahagia dan Sengsara
Pandangan kefilsafatan dan kesufian tentang bahagia dan sengsara cenderung mengarah pada pengertian lebih rohani. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Cendekiawan Muslim, Prof Dr Nurcholish Madjid, MA (1939 – 2005) atau populer dipanggil Cak Nur mengatakan pandangan kefilsafatan dan kesufian tentang bahagia dan sengsara cenderung mengarah pada pengertian-pengertian yang lebih rohani daripada jasmani atau, barangkali lebih psikologis daripada fisiologis.

Dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" Cak Nur berpendapat selain berdasarkan isyarat tentang banyaknya kandungan al-Qur'an yang disebut sebagai tamsil-ibarat, kaum sufi dan para filsuf juga mendapatkan banyaknya penegasan bahwa kebahagiaan tertinggi jika bukannya seluruh kebahagiaan itu sendiri, terwujud dalam ridla Allah. Sebuah firman mengatakan:

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman, pria maupun wanita, surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana selama-lamanya; (dijanjikan pula) tempat-tempat tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi. Dan keridlaan dari Allah adalah yang akbar. Itulah sebenarnya kebahagiaan yang agung. ( QS al-Taubah/9 :72)



Dalam menafsirkan firman Allah ini, Sayyid Quthub dalam "Fi Zhilal al-Qur'an" mengatakan,

"... Kebahagiaan di surga menanti kaum beriman. Surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal di sana selama-lamanya; juga tempat-tempat tinggal yang indah, dalam surga-surga kebahagiaan abadi... sebagai tempat kediaman yang tenang tenteram. Dan di atas itu semua mereka akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dan lebih agung lagi; Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar. Surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya tidaklah berarti apa-apa dan akan menjadi tidak seberapa di depan hebatnya keridlaan Allah yang Maha Pemurah. Dan keridlaan dari Allah itulah yang akbar.

Saat perjumpaan dengan Allah, saat menyaksikan Keagungan-Nya. Saat pembebasan diri dari kungkungan jasad yang campur aduk ini serta dari beban bumi dan iming-iming jangka pendeknya. Saat dari lubuk hati manusia yang mendalam terpancar sinar dari Cahaya yang mata tidak mampu memandangNya. Saat pencerahan ketika relung-relung sukma benderang dengan berkas Ruh Allah... Semuanya adalah satu momen dari momen-momen yang bertumpu pada kelangkaan amat sedikit bagi manusia dalam suasana kesucian total. Sungguh di hadapan itu semua tidaklah bermakna lagi setiap kesenangan, juga tidak setiap harapan...

Apalagi keridlaan Allah meliputi seluruh sukma, dan sukma-sukma itu tercekam di dalamnya tanpa kesudahan! "ltulah kebahagiaan sejati yang agung".



Menurut Cak Nur, dengan tafsirnya itu, Sayyid Quthub telah melakukan pendekatan filosofis dan sufi pada masalah hakikat kebahagiaan. Tafsiran bahwa kebahagiaan tertinggi dan paling agung, sebagai keridlaan Allah --sebagai pengalaman kesaksian rohani akan Wujud Maha Benar itu, yang dihadapan pengalaman kesaksian itu semua bentuk kebahagiaan menjadi tidak bermakna apa-apa adalah sebuah tafsiran kasyafi (theophanic, epiphanic, yakni, bersifat penyingkapan dan pengalaman spiritual akan kehadiran Kebenaran Ilahi).

Metodologi seperti itu dikembangkan dalam tasawuf. Tercapainya pengalaman tersebut, termasuk dalam hidup sekarang ini jika mungkin, menjadi tujuan semua olah-rohani (riyadlah) dan perjuangan spiritual (mujahadah), seperti yang diajarkan kaum sufi.

Kebebasan dan Kebahagiaan

Salah satu tema utama dalam metodologi kesufian ialah takhalli, yaitu sikap pengosongan diri dan pembebasannya dari setiap belenggu yang menghalangi jalan kepada Allah.

Pembebasan adalah juga salah satu tema pokok seruan Nabi kepada umat manusia, termasuk pembebasan dari belenggu budaya dan tradisi, jika menghalangi pada Kebenaran. Jika kalimat persaksian dimulai dengan al-nafy atau peniadaan dalam fase negatif tiada Tuhan, maka tujuannya ialah pembebasan diri dari setiap belenggu.



Belenggu itu dilambangkan dalam konsep tentang "Tuhan" atau "Sesembahan", yaitu setiap bentuk obyek ketundukan (Arab: Ilah). Dan jika kalimat persaksian itu harus mutlak diteruskan dengan al-itsbat atau peneguhan dalam fase afirmatif "kecuali Allah" (al-Lah, yang menurut banyak ahli termasuk 'Ali ibn Abi Thalib dan Ja'far al-Shadiq, terbentuk dari kata-kata Illah dan artikel "al"-yakni, Tuhan atau Sesembahan yang sebenarnya), maka yang dimaksudkan ialah kemestian kita tunduk pada Allah, Tuhan yang sebenarnya itu dan tidak kepada apa dan siapapun yang lain.

Karena Allah adalah Wujud yang tak dapat dibandingkan dengan sesuatu apapun (laysa ka-mitslihi syay-un, QS al-Syura 42:11), serta tiada suatu apa pun yang sepadan dengan Dia (wa lam yakun lauu kufuw-an ahad-un, QS.al-Ikhlash/112:4) maka tunduk pada Tuhan berarti tunduk dalam maknanya yang dinamis, berupa usaha yang tulus dan murni untuk mencari, dan terus mencari Kebenaran.

Usaha mencari Kebenaran inilah sifat kehanifan (hanifiyyah) manusia atas dorongan fithrah atau kejadian asalnya sendiri yang suci. Maka tunduk secara benar--dalam bahasa Arab disebut Islam, yaitu sikap pasrah yang tulus kepada Allah, Tuhan yang sebenarnya-- justru akan secara langsung membawa pada kebebasan dan pembebasan diri dari setiap nilai dan pranata yang membelenggu sukma.

Tuhan tidak mungkin diketahui manusia sebab tidak akan terjangkau oleh pikiran dan khayalnya, maka sesungguhnya keyakinan atau klaim "mengetahui Tuhan" (yang diindikasikan oleh sikap "berhenti mencari") adalah suatu jenis pembelengguan diri. Tidak saja karena hal ini akan merupakan contradiction in terms (berupa kemustahilan suatu wujud nisbi seperti manusia dapat menjangkau atau mengetahui Wujud Mutlak, yaitu Tuhan), tapi juga akan berarti bahwa Tuhan telah disejajarkan dengan apa yang tercapai oleh pikirannya sendiri.



Padahal pikirin itu tak akan luput dari dorongan diri sendiri dan keinginannya. Dengan kata lain, keyakinan bahwa diri sendiri telah "mengetahui Tuhan akan berakhir dengan penuhanan keinginan diri sendiri, atau sikap dan pandangan yang mengangkat keinginan diri sendiri itu sebagai Tuhan.

Inilah antara lain tafsir atas peringatan dalam Kitab Suci bahwa di antara manusia ada yang menjadikan hawa atau keinginan dirinya sendiri sebagai Tuhan (Lihat, QS. 25:43 dan 45:23).

Jadi sesungguhnya kebahagiaan dimulai dengan "negasi dan afirmasi", suatu proses "pembebasan dan ketundukan," seperti dilambangkan dalam kalimat syahadat pertama. Mengenai negasi atau peniadaan yang menghantarkan kita kepada afirmasi itu, atau pembebasan yang membimbing kita kepada ketundukan dinamis tersebut --dari banyak penjelasan dalam kitab Suci tentang berbagai akibat dan implikasinya-- salah satu yang patut sekali kita renungkan terbaca (terjemahnya) demikian,

Katakan (wahai Muhammad): "Jika orang-orang tuamu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, jodoh-jodohmu, serta karib-kerabatmu; (dan jika) kekayaan yang telah berhasil kamu kumpulkan, perdagangan yang kerugiannya kamu kuatirkan, serta tempat tinggal yang untukmu menyenangkan; (jika itu semua) lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan daripada perjuangan di jalan-Nya, maka tunggulah sampai saat Allah melaksanakan keputusan-Nya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada mereka yang bersemangat jahat". (QS al-Taubah/9:24)



Menurut Cak Nur, firman Allah ini tidaklah dipahami bahwa Nabi Muhammad datang untuk membawa pertentangan dalam keluarga, besar ataupun kecil. Juga tidak untuk mendorong manusia agar meninggalkan kegiatan duniawi.

Yang pertama tidak benar, karena al-Qur'an sarat dengan ajaran tentang kewajiban memelihara cinta kasih di antara keluarga, kerabat dan umat manusia pada umumnya. Dan yang kedua juga tidak benar karena al-Qur'an mengajarkan pandangan yang optimis-positif kepada kehidupan, dengan kemungkinan manusia memperoleh kebahagiaan di dunia ini, suatu hal yang manusia dipesan jangan sampai melupakannya.

Firman Allah tersebut hanya menegaskan, bahwa jalan menuju Kebenaran, yaitu "jalan Allah" (sabil al-Lah) dapat ditempuh baru setelah seseorang mampu membebaskan diri dari belenggu lingkungannya, baik sosio-kultural (orang tua, keluarga dan masyarakat) mau pun sosio-ekonomi dan fisik (pekerjaan, kedudukan, dan tempat tinggal). Sebab seperti dikatakan A Yusuf Ali dalam The Holy Qur'an menafsirkan firman ini:

"Hati manusia terikat kepada (1) sanak-kadangnya sendiri- orang tua, anak-anak, saudara, suami atau isteri, atau karib kerabat, (2) kekayaan dan kemakmuran, (3) perdagangan atau cara-cara memperoleh keuntungan dan penghasilan, (4) gedung-gedung indah, baik untuk gengsi mau pun kesenangan.

Jika semuanya ini menjadi halangan dalam jalan Allah, kita harus memilih mana yang lebih kita cintai. Kita harus mencintai Allah, biarpun harus mengorbankan itu semua.

Cak Nur mengatakan serupa dengan makna firman Allah itu, Nabi Isa al-Masih, sepanjang catatan dalam Perjanjian Baru, juga pernah menyatakan, "Karena aku datang untuk membuat manusia melawan ayahnya, anak perempuan melawan ibunya, dan menantu perempuan melawan mertua perempuannya" (Matius 10:35).

Dalam melakukan pendekatan psikoanalitis terhadap agama dan gejala keagamaan, Erich Fromm dalam "Psychoanalysis and Religion" mengatakan bahwa dengan pernyataannya itu Nabi Isa tidak bermaksud mengajarkan kebencian pada orang tua, melainkan untuk menggambarkan dalam bentuk yang paling tegas dan drastis sebuah prinsip, orang harus memutuskan hubungan kekeluargaan yang bersifat membelenggu, dan menjadi bebas sepenuhnya, agar ia menjadi manusia sejati.



Begitulah contoh implikasi proses pembebasan diri yang diterangkan dalam Kitab Suci, yang proses pembebasan itu merupakan konsistensi pernyataan negatif atau al-nafy pada bagian pertama kalimat syahadat, "Tiada Tuhan."

"Tetapi pembebasan dari belenggu-belenggu sosio-kultural dan sosio ekonomi hanyalah separuh jalan menuju kepada kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan "bertemu" dengan Tuhan, Sang Kebenaran," demikian Cak Nur.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1662 seconds (0.1#10.140)