Kisah Sufi: Orang yang Hanya Melihat Hal yang Kelihatan
loading...
A
A
A
SEORANG Pencari Kebenaran, setelah mengadakan berbagai perjalanan, akhirnya menemukan seorang manusia yang tercerahkan, yang diberkahi kemampuan untuk memahami segala sesuatu, yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Pencari itu berkata kepadanya, "Biarkan saya mengikuti Tuan agar saya bisa mempelajari kebenaran dengan mengamati yang Tuan lakukan."
Sang Bijak menjawab, "Kau tidak akan bisa memikulnya, sebab kau tidak mempunyai kesabaran untuk tetap berhubungan, secara tekun, dengan pola peristiwa-peristiwa. Kau akan mencoba bertindak dalam cara-cara yang kelihatan, alih-alih mempelajari pola tersebut."
Si Pencari pun berjanji akan berusaha bersabar dan belajar dari yang terjadi, tanpa bertindak sesuai dengan prasangka yang ada.
"Kau harus mematuhi syaratku," kata Sang Bijak, "yaitu kau tak boleh bertanya apa pun tentang setiap peristiwa sampai waktunya tiba dan saya sendiri yang menjawabnya."
Si Pencari itu berjanji sepenuh hati, dan mereka pun mengadakan perjalanan.
Yang mengherankan, ketika keduanya telah naik ke perahu yang akan membawa mereka menyeberangi sebuah sungai besar, Orang Bijak itu secara diam-diam melubangi dasar perahu dan menyebabkan kebocoran; tampaknya Sang Guru membalas pertolongan Si Nelayan dengan tindakan merusak.
Pemuda itu tak bisa menahan diri, katanya, "Orang-orang bisa tewas, perahu ini akan kemasukan air lalu tenggelam inikah kelakuan seorang bijaksana?"
"Bukankah sudah kukatakan," kata Sang Bijak enteng, "bahwa kau tidak akan bisa menghindari membuat kesimpulan?"
"Saya telah melupakan syarat itu," kata Si Pencari.
Dan ia pun meminta maaf atas kekhilafannya. Namun, hal itu sangat membingungkan bagi pemuda tersebut.
Perjalanan mereka pun berlanjut hingga keduanya sampai di sebuah negeri di mana mereka diterima dengan ramah, dijamu oleh raja negeri itu, yang menawarkan pergi berburu binatang bersamanya.
Putra raja yang masih kecil menunggang kuda bersama Sang Bijak. Ketika Orang Bijak dan Si Pencari tersebut terpisah dari rombongan lain oleh serumpun semak belukar pada akhir perburuan itu, Sang Guru pun berkata, "Lekas, ikuti aku secepat mungkin."
Dipatahkannya pergelangan kaki Pangeran Muda, dan ditinggalkannya ia di semak-semak, lalu bersicepat memacu kudanya melintasi perbatasan kerajaan itu.
Si Pencari sangat terkejut dan merasa bersalah telah menjadi bagian dari kejahatan tersebut. Sambil mengepalkan tinju, ia berseru, "Raja itu menerima dan memperbolehkan kita berkuda bersama anak dan pewaris kerajaannya, tetapi betapa buruk balasan yang diterimanya! Perbuatan macam apa itu? Sungguh tak layak dilakukan bahkan oleh orang yang paling jahat sekalipun!"
Orang Bijak itu hanya berpaling kepadanya dan berkata, "Teman, saya melakukan apa yang harus saya lakukan. Kau ini seorang pengamat; hanya sedikit orang seperti kau. Tetapi setelah mencapai kedudukan pengamat itu, tampaknya kau tidak bisa mempergunakannya, sebab kau selalu menilai dari prasangkamu. Sekali lagi, saya mengingatkan kau tentang janjimu."
"Saya tahu bahwa janji itulah yang membuatku bisa mengikutimu, dan bahwa janji itu mengikat," kata Si Pencari. "Oleh karena itu, saya mohon, maafkan saya sekali ini, tak mudah bagi saya menghentikan kebiasaan menyimpulkan lewat praduga-praduga. Kalau saya nanti bertanya lagi, kau boleh menyuruhku pergi."
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
Pencari itu berkata kepadanya, "Biarkan saya mengikuti Tuan agar saya bisa mempelajari kebenaran dengan mengamati yang Tuan lakukan."
Sang Bijak menjawab, "Kau tidak akan bisa memikulnya, sebab kau tidak mempunyai kesabaran untuk tetap berhubungan, secara tekun, dengan pola peristiwa-peristiwa. Kau akan mencoba bertindak dalam cara-cara yang kelihatan, alih-alih mempelajari pola tersebut."
Si Pencari pun berjanji akan berusaha bersabar dan belajar dari yang terjadi, tanpa bertindak sesuai dengan prasangka yang ada.
"Kau harus mematuhi syaratku," kata Sang Bijak, "yaitu kau tak boleh bertanya apa pun tentang setiap peristiwa sampai waktunya tiba dan saya sendiri yang menjawabnya."
Si Pencari itu berjanji sepenuh hati, dan mereka pun mengadakan perjalanan.
Yang mengherankan, ketika keduanya telah naik ke perahu yang akan membawa mereka menyeberangi sebuah sungai besar, Orang Bijak itu secara diam-diam melubangi dasar perahu dan menyebabkan kebocoran; tampaknya Sang Guru membalas pertolongan Si Nelayan dengan tindakan merusak.
Pemuda itu tak bisa menahan diri, katanya, "Orang-orang bisa tewas, perahu ini akan kemasukan air lalu tenggelam inikah kelakuan seorang bijaksana?"
"Bukankah sudah kukatakan," kata Sang Bijak enteng, "bahwa kau tidak akan bisa menghindari membuat kesimpulan?"
"Saya telah melupakan syarat itu," kata Si Pencari.
Dan ia pun meminta maaf atas kekhilafannya. Namun, hal itu sangat membingungkan bagi pemuda tersebut.
Perjalanan mereka pun berlanjut hingga keduanya sampai di sebuah negeri di mana mereka diterima dengan ramah, dijamu oleh raja negeri itu, yang menawarkan pergi berburu binatang bersamanya.
Putra raja yang masih kecil menunggang kuda bersama Sang Bijak. Ketika Orang Bijak dan Si Pencari tersebut terpisah dari rombongan lain oleh serumpun semak belukar pada akhir perburuan itu, Sang Guru pun berkata, "Lekas, ikuti aku secepat mungkin."
Dipatahkannya pergelangan kaki Pangeran Muda, dan ditinggalkannya ia di semak-semak, lalu bersicepat memacu kudanya melintasi perbatasan kerajaan itu.
Si Pencari sangat terkejut dan merasa bersalah telah menjadi bagian dari kejahatan tersebut. Sambil mengepalkan tinju, ia berseru, "Raja itu menerima dan memperbolehkan kita berkuda bersama anak dan pewaris kerajaannya, tetapi betapa buruk balasan yang diterimanya! Perbuatan macam apa itu? Sungguh tak layak dilakukan bahkan oleh orang yang paling jahat sekalipun!"
Orang Bijak itu hanya berpaling kepadanya dan berkata, "Teman, saya melakukan apa yang harus saya lakukan. Kau ini seorang pengamat; hanya sedikit orang seperti kau. Tetapi setelah mencapai kedudukan pengamat itu, tampaknya kau tidak bisa mempergunakannya, sebab kau selalu menilai dari prasangkamu. Sekali lagi, saya mengingatkan kau tentang janjimu."
"Saya tahu bahwa janji itulah yang membuatku bisa mengikutimu, dan bahwa janji itu mengikat," kata Si Pencari. "Oleh karena itu, saya mohon, maafkan saya sekali ini, tak mudah bagi saya menghentikan kebiasaan menyimpulkan lewat praduga-praduga. Kalau saya nanti bertanya lagi, kau boleh menyuruhku pergi."
Mereka pun melanjutkan perjalanan.