Ini Beda Tobat Orang Awam dengan Ulama Menurut Gus Baha

Kamis, 09 Maret 2023 - 19:06 WIB
loading...
Ini Beda Tobat Orang Awam dengan Ulama Menurut Gus Baha
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal dengan Gus Baha/Foto/Ist
A A A
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau lebih dikenal sebagai Gus Baha menyatakan ada perbedaan tobat kaum awam dengan para ulama. Salah satu dalil tobat orang alim adalah surah Al-Baqarah ayat 160. Ayat tersebut menegaskan kalau tobatnya para Alim adalah dengan muraja’ah (mengulang) ilmu dan menyampaikannya.

"Ini pula yang membedakan antara tobatnya orang awam dengan para ulama," ujar Gus Baha dalam satu kesempatakan ceramahnya ketika menghadiri Haul Mbah Kyai Hamid Pasuruan sebagaimana dilansir sejumlah akun di kanal YouTube.

Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani pun mengklasifikasi tobat menjadi dua tingkatan, yaitu bagi orang-orang awam, dan yang sudah di tingkatan makrifat.

Tingkatan pertama cukup meninggalkan perbuatan dosa, berzikir, dan senantiasa memperbaiki diri dengan ibadah dan amalan saleh. Sementara tingkatan kedua cenderung berbeda, karena kedudukan mereka lebih tinggi dari kalangan awam.

Namun demikian, bukan berarti orang yang memiliki tingkatan kedua tidak memperhatikan aspek tingkatan pertama. Sebaliknya, bisa diasumsikan bahwa mereka telah menyelesaikan tingkatan tersebut dan membuatnya berada pada posisi yang lebih tinggi.



Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 160
Lalu, bagaimana kalangan mufassir menafsirkan Surat al-Baqarah ayat 160? Allah SWT berfirman:

اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَبَيَّنُوْا فَاُولٰۤىِٕكَ اَتُوْبُ عَلَيْهِمْ ۚ وَاَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan(nya), mereka itulah yang Aku terima tobatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat, Maha Penyayang. ( QS Al-Baqarah : 160)

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim menjelaskan di dalam ayat ini terkandung pengertian bahwa orang yang menyeru kepada kekufuran atau bid'ah, apabila ia bertobat kepada Allah, niscaya Allah menerima tobatnya.

"Sesungguhnya telah disebutkan bahwa umat-umat terdahulu yang melakukan perbuatan seperti itu, tobat mereka tidak diterima, karena sesungguhnya hal ini merupakan kekhususan bagi syariat Nabi pembawa tobat, yaitu Nabi pembawa rahmat; semoga salawat dan salam Allah terlimpahkan kepadanya," ujarnya.



Kebanyakan mufassir dalam manafsirkan ayat ini berkenaan dengan kecaman Allah kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran Nabi Muhammad yang terdapat dalam Taurat. Yang dimaksud adalah Abdullah bin Aslam berserta keluarganya. Namun Allah mengecualikan laknat-Nya, dengan syarat mereka mau melakukan poin-poin yang ditawarkan, yaitu; bertobat, memperbaiki diri, dan menjelaskan kebenaran. Ini merujuk pada tiga kata dalam ayat tersebut, taabuu, ashlahuu, dan bayyaanuu.

Dalam Tafsir al-Thabari dinyatakan bahwa ayat ini bersinggungan dengan kecaman Allah kepada orang-orang yang menyembunyikan kebenaran, kecuali orang-orang yang ingin bertaubat.

Sedangkan jalan yang harus ditempuhnya adalah mengikuti nilai al-Quran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, memperbaiki perilaku, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan amal-amal saleh.

Senada dengan itu, al-Qurthubi menilai bahwa hendaklah bagi orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri, melaksanakannya secara serius sambil aktif melakukan amal-amal kebajikan. Sebab, al-Qur'an berulang kali menerangkan bahwa Allah membuka pintu tobat yang seluas-luasnya bagi mereka yang hendak kembali ke tempat yang damai, dengan tekad serta niat yang kuat, dan diiringi pula dengan amal perbuatannya.



Al-Thabari sedikit menyayangkan sebagian Mufassir yang menjelaskan kata bayyanuu dalam ayat ini dengan tobat secara ikhlas dalam melaksanakan amal perbuatannya. Agaknya, penafsiran yang demikian, menurut al-Thabari, sedikit menyimpang dari zahir ayat. Karena ayat ini berangkat dari kecaman Allah kepada mereka yang menyembunyikan kebenaran Muhammad sebagai nabi terakhir dalam al-Kitab.

Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Ibnu Katsir, bahwa kata bayyanuu dalam ayat ini, menunjukkan adanya tuntutan bagi seseorang (yang berilmu) agar tidak menyembunyikan kebenaran al-Quran. Sebagaimana dalam beberapa hadis dinyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ الْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ نَار

Barangsiapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekangan dari api neraka (HR. Ibnu Majah).

Ini pula yang menjadi alasan Abu Hurairah meriwayatkan hadis-hadis Nabi setelah mendengar firman Allah dalam QS Al-Baqarah 159. Ia menuturkan; “Seandainya bukan karena ayat dalam kitab Allah (al-Quran) itu, niscaya aku tidak akan meriwayatkan sesuatu kepada seseorang.”

Maka, jelas bahwa menyembunyikan suatu ilmu itu dilarang, apapun background ilmunya, baik yang diperintahkan agama untuk disampaikan, berupa ilmu pengetahuan atau ilmu yang berkaitan dengan hak manusia.



Kendati demikian, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengingatkan redaksi hadis itu tidak seharusnya dipahami apa adanya, sebab ada ilmu yang memang dituntut untuk disebarluaskan seperti ilmu syari’at, dan ada pula ilmu yang tidak diharapkan sama sekali untuk disebarluaskan, atau baru disebarkan setelah mempertimbangkan; keadaan, waktu, atau sasaran. Intinya tidak semua informasi disampaikan, pun tidak semua pertanyaan perlu dijawab.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1945 seconds (0.1#10.140)