12 Hari Menjelang Ramadan, Begini Sejarah Disyariatkannya Puasa
loading...
A
A
A
Puasa Ramadan 1444 Hijriyah segera tiba yang insya Allah jatuh pada Hari Kamis, 23 Maret 2023. Umat muslim perlu mengetahui sejarah dan asal usul disyariatkannya puasa Ramadan.
Untuk diketahui, Ramadan adalah bulan ke-9 dalam kalender Hijriyah. Ramadan berasal dari kata Romadh (رمض) yang artinya panas menyengat atau membakar. Dinamakan seperti itu karena memang matahari pada bulan itu jauh lebih menyengat dibanding bulan-bulan lain.
Menurut Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, dinamakan bulan Ramadan karena ia menggugurkan (membakar) dosa-dosa dengan amal saleh. Dalam Hadis yang sahih, Rasulullah SAW mengabarkan keutamaan bulan Ramadan.
Artinya: "Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Sejarah Disyariatkannya Puasa
Puasa adalah ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah. Tidak hanya diwajibkan kepada umat Islam yang beriman, namun juga diwajibkan kepada umat terdahulu. Artinya, para Nabi sebelum diutusnya Rasulullah SAW juga menjalankan puasa.
Sejarah disyariatkannya puasa hingga diwajibkan kepada umat Islam sebenarnya melalui tiga fase (tahapan). Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun ke-2 Hijriyah, ketika Nabi Muhammad SAW mulai membangun pemerintahan di Madinah.
Disyariatkannya puasa ini bermula saat Rasulullah SAW tiba di Madinah. Beliau berpuasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa melalui firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa --sampai dengan firman-Nya-- Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin..." (Al-Baqarah: 183-184).
Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah menurunkan ayat lain yang artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an --sampai dengan firman-Nya--. Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada yang sakit dan orang yang sedang bepergian. Serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa (fidyah).
Demikianlah dua tahapan pensyariatan puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan nama Sirmah.
Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Esoknya ia melanjutkan puasanya, maka Rasulullah SAW melihat dirinya dalam keadaan kepayahan, lalu beliau bertanya: "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih."
Sirmah menjawab: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa."
Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya: "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian --sampai dengan firman-Nya-- kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari." (Al-Baqarah: 187)
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya melalui Hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama. Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui Az-Zuhri, dari Urwah, dari Sayyidah Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Artinya: "Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya, dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa Asyura."
Ketika kaum muslim terbiasa dengan ibadah puasa, Allah kemudian mewajibkan puasa di bulan Ramadhan sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 183-185. Allah mewajibkan puasa Ramadhan bagi mereka yang sehat dan mampu. Tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 185, Allah menekankan agar bilangan puasa disempurnakan dan bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk-Nya. Demikianlah sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan kepada umat muslim. Semoga bermanfaat.
Untuk diketahui, Ramadan adalah bulan ke-9 dalam kalender Hijriyah. Ramadan berasal dari kata Romadh (رمض) yang artinya panas menyengat atau membakar. Dinamakan seperti itu karena memang matahari pada bulan itu jauh lebih menyengat dibanding bulan-bulan lain.
Menurut Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya, dinamakan bulan Ramadan karena ia menggugurkan (membakar) dosa-dosa dengan amal saleh. Dalam Hadis yang sahih, Rasulullah SAW mengabarkan keutamaan bulan Ramadan.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: "Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Sejarah Disyariatkannya Puasa
Puasa adalah ibadah yang sangat bernilai di sisi Allah. Tidak hanya diwajibkan kepada umat Islam yang beriman, namun juga diwajibkan kepada umat terdahulu. Artinya, para Nabi sebelum diutusnya Rasulullah SAW juga menjalankan puasa.
Sejarah disyariatkannya puasa hingga diwajibkan kepada umat Islam sebenarnya melalui tiga fase (tahapan). Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya'ban tahun ke-2 Hijriyah, ketika Nabi Muhammad SAW mulai membangun pemerintahan di Madinah.
Disyariatkannya puasa ini bermula saat Rasulullah SAW tiba di Madinah. Beliau berpuasa tiga hari setiap bulannya, juga puasa Asyura. Kemudian Allah mewajibkan puasa melalui firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa --sampai dengan firman-Nya-- Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin..." (Al-Baqarah: 183-184).
Pada mulanya orang yang menghendaki puasa, ia boleh puasa; dan orang yang tidak ingin puasa, maka ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti dari puasanya. Kemudian Allah menurunkan ayat lain yang artinya: (beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an --sampai dengan firman-Nya--. Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (Al-Baqarah: 185)
Maka Allah menetapkan kewajiban puasa atas orang mukim yang sehat, dan memberikan keringanan kepada yang sakit dan orang yang sedang bepergian. Serta ditetapkan memberi makan orang miskin bagi lansia yang tidak kuat lagi melakukan puasa (fidyah).
Demikianlah dua tahapan pensyariatan puasa. Pada mulanya mereka masih boleh makan, minum, dan mendatangi istri selagi mereka belum tidur; tetapi apabila telah tidur, mereka dilarang melakukan hal tersebut. Kemudian ada seorang lelaki dari kalangan Anshar yang dikenal dengan nama Sirmah.
Dia bekerja di siang harinya sambil puasa hingga petang hari, lalu ia pulang ke rumah dan salat Isya, kemudian ketiduran dan belum sempat lagi makan dan minum karena terlalu lelah hingga keesokan harinya. Esoknya ia melanjutkan puasanya, maka Rasulullah SAW melihat dirinya dalam keadaan kepayahan, lalu beliau bertanya: "Kulihat dirimu tampak sangat payah dan letih."
Sirmah menjawab: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kemarin aku bekerja, setelah datang ke rumah aku langsung merebahkan diri karena sangat lelah, tetapi aku ketiduran hingga pagi hari dan aku terus dalam keadaan puasa."
Disebutkan pula bahwa Umar telah menggauli istrinya sesudah tidur, lalu ia datang kepada Nabi dan menceritakan apa yang telah dialaminya itu. Maka Allah menurunkan firman-Nya: "Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan istri-istri kalian --sampai dengan firman-Nya-- kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam hari." (Al-Baqarah: 187)
Hadis ini diketengahkan oleh Imam Abu Daud dalam kitab Sunan-nya, dan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak-nya melalui Hadis Al-Mas'udi dengan lafaz yang sama. Hadis ini diketengahkan pula oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melalui Az-Zuhri, dari Urwah, dari Sayyidah Aisyah yang mengatakan:
كَانَ عَاشُورَاءُ يُصَامُ، فَلَمَّا نَزَلَ فَرْضُ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
Artinya: "Pada mulanya puasa 'Asyura diwajibkan. Ketika turun wahyu yang mewajibkan puasa bulan Ramadan, maka orang yang ingin puasa 'Asyura boleh melakukannya, dan orang yang ingin berbuka, boleh tidak puasa Asyura."
Ketika kaum muslim terbiasa dengan ibadah puasa, Allah kemudian mewajibkan puasa di bulan Ramadhan sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 183-185. Allah mewajibkan puasa Ramadhan bagi mereka yang sehat dan mampu. Tetapi diberi kelonggaran bagi orang-orang yang sakit dan musafir untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadan dan menggantikannya pada hari-hari lain.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 185, Allah menekankan agar bilangan puasa disempurnakan dan bertakbir serta bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk-Nya. Demikianlah sejarah disyariatkannya puasa Ramadhan kepada umat muslim. Semoga bermanfaat.
(rhs)