Kisah Umar bin Khattab Ketika Madinah Mengalami Paceklik
loading...
A
A
A
Gus Musa Muhammad dalam satu kajiannya menceritakan kisah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu ketika Madinah musim paceklik.
Pada masa Umar bin Khattab memimpin kaum muslim, terjadilah Amar Ramadah atau Tahun Abu. Semua masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tak kunjung turun, pepohonan mengering dan tidak terhitung lagi hewan yang mati mengenaskan.
Tanah tempat berpijak sudah hampir menghitam bagaikan abu. Rasa putus asa pun mendera di mana-mana. Umar sang pemimpin menampilkan kepribadiannya sebagai pemimpin yang sangat bijaksana. Keadaan rakyat diperhatikannya dengan seksama.
Tanggung jawab sebagai Amirul Mukminin dijalankannya sepenuh hati. Setiap hari beliau menginstruksikan aparatnya untuk menyembelih unta lalu disebarkan kepada seluruh rakyat melalui pengumuman.
Tak lama kemudian berbondong-bondong lah para rakyat datang untuk memakan hidangan tersebut. Semakin pedih hatinya saat melihat kejadian itu, dan rasa kecemasannya kian menjadi tebal. Dengan hati yang gentar, lidah kelunya berkata: "Ya Allah, jangan sampai umat Nabi Muhammad menemui kehancurannya di tangan ini."
Umar tak makan daging, minyak samin, dan bahkan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, beliau hanya khawatir makanan untuk rakyatnya ini berkurang. Beliau hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya perutnya terasa panas, lalu ia berkata kepada pembantunya: "Tolong kurangilah panas minyak itu dengan menggunakan api."
Minyak pun dimasak, tetapi perutnya bukannya sembuh kini malah perutnya bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah seperti ini, ditabuh perutnya dengan jemari jemarinya seraya berkata:
"Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak ini, sampai para rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar."
Pada awal musim paceklik, para penduduk Kota Madinah dapat menyimpan cadangan makanan karena taraf hidup kesejahteraannya sudah meningkat. Lain lagi dengan kaum Arab Badui pedalaman. Tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak awal mereka telah berbondong-bondong ke Madinah. Mereka datang meminta bantuan Umar, yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan tertinggi umat Islam, sekadar mencari remah-remeh yang dapat dimakan.
Lambat laun, gelombang pengungsi ke Madinah makin tak tertahankan. Bencana kelaparan mengancam penduduk kota, sementara hujan tak kunjung turun, peristiwa itu terjadi Tahun 17 Hijriyah. Dalam kondisi seperti itu, uang tidak ada lagi artinya. Tidak ada makanan yang dapat dibeli karena hasil panen pun sudah hancur total.
Umar Menggalang Bantuan
Melihat kondisi paceklik tersebut, Khalifah Umar tidak tinggal diam. Sebagai pemimpin umat Islam beliau pun turut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Beliau menulis surat kepada wakil-wakilnya di Irak dan Syam untuk meminta pertolongan.
Kepada Amr bin Ash di Palestina, ia menulis: "Salam sejahtera bagi Anda. Anda melihat kami sudah akan binasa, sedang Anda dan rakyat Anda masih hidup. Kami sangat memerlukan pertolongan, sekali lagi pertolongan."
Tegas, lugas. Surat serupa juga dia kirim kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Ubaidah bin Jarrah di Syam. Juga kepada Sa'ad bin Abi Waqqash di Irak. Kaum Muslim di berbagai wilayah pun bergegas mengulurkan bantuan.
Abu Ubaidah bin Jarah paling cepat memenuhi seruan Umar. Empat ribu unta bermuatan penuh bahan pangan segera dikirim. Dari Palestina, Amr bin Ash mengirimkan makanan lewat jalur darat dan laut.
Ada tepung dan lemak, bersama seribu unta. Dari Syam, Mu'awiyah juga mengirim tiga ribu unta, sedang Sa'd mengirim seribu unta bermuatan tepung. Mantel, selimut, dan pakaian turut dikirimkan bersama bahan pangan. Solidaritas terjalin kuat di kalangan Muslimin.
Kebijakan Umar dalam mengelola bantuan telah terorganisasi dengan baik. Sesampainya bantuan di Madinah, Umar menunjuk beberapa orang terpercaya untuk melakukan distribusi. Ia sendiri ikut turun membagikan makanan bagi penduduk Madinah.
Setiap berapa hari sekali, mereka sembelih hewan untuk dimakan bersama dengan orang banyak. Umar pun turut mengotori tangan untuk mengolah adonan roti bercampur zaitun. Setiap malam, para pejabat Umar berkumpul dan melaporkan segala sesuatu yang mereka alami siang harinya.
"Andai kata untuk meringankan beban rakyat saya harus membawakan perlengkapan kepada masing-masing keluarga di setiap rumah, lalu mereka saling membagi makanan sampai Allah memberi kelapangan, akan saya lakukan," ujar Umar menegaskan.
Ucapan beliau benar-benar dilaksanakan. Hampir setiap malam hari, Umar bin Khattab melakukan perjalanan secara diam-diam, dengan ditemani salah seorang sahabatnya Aslam, ia masuk keluar kampung. Ini yang ia lakukan untuk mengetahui bagaimana kehidupan rakyatnya. Umar khawatir akan jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Rasulullah SAW bersabda:
كل واحد منكم هو قائد وسيُسأل كل واحد منكم عما يقود. والإمام (واليول العمري) الذي يحكم الشعب هو القائد ويسأل عن قومه
Artinya: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya."
Dhaulat Khulafaur Rasyidin
Pada masa Umar bin Khattab memimpin kaum muslim, terjadilah Amar Ramadah atau Tahun Abu. Semua masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tak kunjung turun, pepohonan mengering dan tidak terhitung lagi hewan yang mati mengenaskan.
Tanah tempat berpijak sudah hampir menghitam bagaikan abu. Rasa putus asa pun mendera di mana-mana. Umar sang pemimpin menampilkan kepribadiannya sebagai pemimpin yang sangat bijaksana. Keadaan rakyat diperhatikannya dengan seksama.
Tanggung jawab sebagai Amirul Mukminin dijalankannya sepenuh hati. Setiap hari beliau menginstruksikan aparatnya untuk menyembelih unta lalu disebarkan kepada seluruh rakyat melalui pengumuman.
Tak lama kemudian berbondong-bondong lah para rakyat datang untuk memakan hidangan tersebut. Semakin pedih hatinya saat melihat kejadian itu, dan rasa kecemasannya kian menjadi tebal. Dengan hati yang gentar, lidah kelunya berkata: "Ya Allah, jangan sampai umat Nabi Muhammad menemui kehancurannya di tangan ini."
Umar tak makan daging, minyak samin, dan bahkan susu untuk perutnya sendiri. Bukan apa-apa, beliau hanya khawatir makanan untuk rakyatnya ini berkurang. Beliau hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya perutnya terasa panas, lalu ia berkata kepada pembantunya: "Tolong kurangilah panas minyak itu dengan menggunakan api."
Minyak pun dimasak, tetapi perutnya bukannya sembuh kini malah perutnya bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah seperti ini, ditabuh perutnya dengan jemari jemarinya seraya berkata:
"Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak ini, sampai para rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar."
Pada awal musim paceklik, para penduduk Kota Madinah dapat menyimpan cadangan makanan karena taraf hidup kesejahteraannya sudah meningkat. Lain lagi dengan kaum Arab Badui pedalaman. Tak ada yang dapat mereka simpan sehingga sejak awal mereka telah berbondong-bondong ke Madinah. Mereka datang meminta bantuan Umar, yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan tertinggi umat Islam, sekadar mencari remah-remeh yang dapat dimakan.
Lambat laun, gelombang pengungsi ke Madinah makin tak tertahankan. Bencana kelaparan mengancam penduduk kota, sementara hujan tak kunjung turun, peristiwa itu terjadi Tahun 17 Hijriyah. Dalam kondisi seperti itu, uang tidak ada lagi artinya. Tidak ada makanan yang dapat dibeli karena hasil panen pun sudah hancur total.
Umar Menggalang Bantuan
Melihat kondisi paceklik tersebut, Khalifah Umar tidak tinggal diam. Sebagai pemimpin umat Islam beliau pun turut merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Beliau menulis surat kepada wakil-wakilnya di Irak dan Syam untuk meminta pertolongan.
Kepada Amr bin Ash di Palestina, ia menulis: "Salam sejahtera bagi Anda. Anda melihat kami sudah akan binasa, sedang Anda dan rakyat Anda masih hidup. Kami sangat memerlukan pertolongan, sekali lagi pertolongan."
Tegas, lugas. Surat serupa juga dia kirim kepada Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Ubaidah bin Jarrah di Syam. Juga kepada Sa'ad bin Abi Waqqash di Irak. Kaum Muslim di berbagai wilayah pun bergegas mengulurkan bantuan.
Abu Ubaidah bin Jarah paling cepat memenuhi seruan Umar. Empat ribu unta bermuatan penuh bahan pangan segera dikirim. Dari Palestina, Amr bin Ash mengirimkan makanan lewat jalur darat dan laut.
Ada tepung dan lemak, bersama seribu unta. Dari Syam, Mu'awiyah juga mengirim tiga ribu unta, sedang Sa'd mengirim seribu unta bermuatan tepung. Mantel, selimut, dan pakaian turut dikirimkan bersama bahan pangan. Solidaritas terjalin kuat di kalangan Muslimin.
Kebijakan Umar dalam mengelola bantuan telah terorganisasi dengan baik. Sesampainya bantuan di Madinah, Umar menunjuk beberapa orang terpercaya untuk melakukan distribusi. Ia sendiri ikut turun membagikan makanan bagi penduduk Madinah.
Setiap berapa hari sekali, mereka sembelih hewan untuk dimakan bersama dengan orang banyak. Umar pun turut mengotori tangan untuk mengolah adonan roti bercampur zaitun. Setiap malam, para pejabat Umar berkumpul dan melaporkan segala sesuatu yang mereka alami siang harinya.
"Andai kata untuk meringankan beban rakyat saya harus membawakan perlengkapan kepada masing-masing keluarga di setiap rumah, lalu mereka saling membagi makanan sampai Allah memberi kelapangan, akan saya lakukan," ujar Umar menegaskan.
Ucapan beliau benar-benar dilaksanakan. Hampir setiap malam hari, Umar bin Khattab melakukan perjalanan secara diam-diam, dengan ditemani salah seorang sahabatnya Aslam, ia masuk keluar kampung. Ini yang ia lakukan untuk mengetahui bagaimana kehidupan rakyatnya. Umar khawatir akan jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.
Rasulullah SAW bersabda:
كل واحد منكم هو قائد وسيُسأل كل واحد منكم عما يقود. والإمام (واليول العمري) الذي يحكم الشعب هو القائد ويسأل عن قومه
Artinya: "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya."
Dhaulat Khulafaur Rasyidin
(rhs)