5 Faktor yang Membuat Musik Haram Menurut Imam Al-Ghazali
loading...
A
A
A
"Akan tetapi minuman keras itu diharamkan dan kebutuhan manusia sendiri memutuskan untuk benar-benar dipisahkan dari minuman keras," ujar Al-Qardhawi.
Sebagaimana diharamkan berkhalwat dengan wanita lain (bukan muhrim), karena itu merupakan muqaddimah zina (bersetubuh). Diharamkan memandang paha, karena itu bisa sampai kemaluan, dan diharamkan khamr yang sedikit, karena hal itu sebagai pengantar menuju mabuk. Tidak ada satupun yang diharamkan kecuali ada pengantar yang juga diharamkan, agar menjadi pelindung (preventif) bagi bahaya yang lebih besar.
Karena itu autaar dan seruling diharamkan, ikut dengan pengharaman khamr, karena tiga alasan:
Sesungguhnya alat itu bisa mendorong seseorang untuk minum khamr, karena kelezatan yang diperoleh dengan musik jenis ini bisa sempurna kalau dengan minum khamr.
Sesungguhnya alat itu bagi orang yang masih baru dalam minum khamr, akan mengingatkan kepada majelis-majelis hiburan dengan minum ... sedangkan ingat itu menjadi penyebab bangkitnya kerinduan.
Berkumpul dengan musik itu sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang menjadi ahli maksiat (fasik), maka dilarang untuk menyerupai mereka. Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk kaum itu.
Setelah pembahasan yang baik tersebut, Imam Ghazali mengatakan, "Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya alasan pengharaman musik itu bukan sekadar kenikmatan yang baik. Tetapi standar asalnya adalah penghalalan seluruh yang baik, kecuali jika penghalalan itu membawa kerusakan."
Allah SWT berfirman: "Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" (QS Al A'raf: 32)
Al-Qardhawi mengatakan sebenarnya tidak ada nash yang shahibuts-tsubuut (benar dan tetap pijakannya) sarihud-dalalah (sanadnya shahih dan maknanya jelas) yang melarang autaar dan seruling sebagaimana yang Imam al-Ghazali kira. "Tetapi beliau mengambil hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai masalah ini sebagai masalah yang seakan tidak diperselisihkan, kemudian berupaya untuk menafsirkannya," ujar Syaikh Al-Qardhawi.
Menururtnya, kalau seandainya Imam al-Ghazali mengetahui kelemahan sanad riwayat hadis dalam masalah ini, maka beliau tidak akan payah-payah untuk menafsirkan hadis ini, yang jelas alasan-alasan yang dikemukakan ini bermanfaat bagi orang yang tidak menganggap hadis tersebut lemah.
Sebagaimana diharamkan berkhalwat dengan wanita lain (bukan muhrim), karena itu merupakan muqaddimah zina (bersetubuh). Diharamkan memandang paha, karena itu bisa sampai kemaluan, dan diharamkan khamr yang sedikit, karena hal itu sebagai pengantar menuju mabuk. Tidak ada satupun yang diharamkan kecuali ada pengantar yang juga diharamkan, agar menjadi pelindung (preventif) bagi bahaya yang lebih besar.
Karena itu autaar dan seruling diharamkan, ikut dengan pengharaman khamr, karena tiga alasan:
Sesungguhnya alat itu bisa mendorong seseorang untuk minum khamr, karena kelezatan yang diperoleh dengan musik jenis ini bisa sempurna kalau dengan minum khamr.
Sesungguhnya alat itu bagi orang yang masih baru dalam minum khamr, akan mengingatkan kepada majelis-majelis hiburan dengan minum ... sedangkan ingat itu menjadi penyebab bangkitnya kerinduan.
Berkumpul dengan musik itu sudah menjadi kebiasaan orang-orang yang menjadi ahli maksiat (fasik), maka dilarang untuk menyerupai mereka. Karena barang siapa yang menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk kaum itu.
Setelah pembahasan yang baik tersebut, Imam Ghazali mengatakan, "Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya alasan pengharaman musik itu bukan sekadar kenikmatan yang baik. Tetapi standar asalnya adalah penghalalan seluruh yang baik, kecuali jika penghalalan itu membawa kerusakan."
Allah SWT berfirman: "Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" (QS Al A'raf: 32)
Al-Qardhawi mengatakan sebenarnya tidak ada nash yang shahibuts-tsubuut (benar dan tetap pijakannya) sarihud-dalalah (sanadnya shahih dan maknanya jelas) yang melarang autaar dan seruling sebagaimana yang Imam al-Ghazali kira. "Tetapi beliau mengambil hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai masalah ini sebagai masalah yang seakan tidak diperselisihkan, kemudian berupaya untuk menafsirkannya," ujar Syaikh Al-Qardhawi.
Menururtnya, kalau seandainya Imam al-Ghazali mengetahui kelemahan sanad riwayat hadis dalam masalah ini, maka beliau tidak akan payah-payah untuk menafsirkan hadis ini, yang jelas alasan-alasan yang dikemukakan ini bermanfaat bagi orang yang tidak menganggap hadis tersebut lemah.
(mhy)