Predikat Kafir, Zalim dan Fasik Menurut Syaikh Al-Utsaimin
loading...
A
A
A
Rasulullah SAW mengingatkan kita agar tidak mudah menuduh kafir kepada saudaranya. Sebab, bila tuduhan kafir tersebut tidak benar, maka akan berbalik kepada yang menuduh.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul "Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid" mengatakan tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, maka diberi label 3 penyebutan yaitu kafir ( QS Al Ma’idah : 44) , zalim (QS Al Ma’idah : 45), dan fasik (QS Al Ma’idah : 47).
Berkaitan dengan tiga ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Salah satunya, mengatakan 3 penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:
Pertama, seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu di antara tiga keadaan berikut:
1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki” [Al Ma’idah/5:50].
Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.
2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.
Ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al Ma’idah/5:50].
Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” [ At Tiin/95 :8].
Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.
Kedua, seseorang hanya akan menjadi zalim (tidak kafir) jika: Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.
Ketiga, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika: Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan zalim, namun sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam kitabnya berjudul "Al Qaul Al Mufid ‘Ala Kitab At Tauhid" mengatakan tentang orang-orang yang berhukum tidak dengan hukum yang diturunkan Allah, maka diberi label 3 penyebutan yaitu kafir ( QS Al Ma’idah : 44) , zalim (QS Al Ma’idah : 45), dan fasik (QS Al Ma’idah : 47).
Berkaitan dengan tiga ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Salah satunya, mengatakan 3 penyebutan (sifat) tersebut diperuntukkan bagi tiga pribadi. Masing-masing sesuai dengan keadaan hukumnya, yaitu:
Pertama, seseorang akan menjadi kafir, jika mengalami salah satu di antara tiga keadaan berikut:
1. Jika meyakini bolehnya berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah, dengan dalil:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki” [Al Ma’idah/5:50].
Setiap hukum yang menyelisihi hukum Allah, berarti merupakan hukum jahiliah. Berdasarkan dalil ijma’ yang qath’i, tidak diperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah.
Dengan demikian, orang yang menghalalkan dan memperbolehkan berhukum dengan selain hukum yang diturunkan Allah, berarti menyelisihi ijma’ kaum muslimin yang qath’i. Berarti ia kafir dan murtad. Keadaannya, seperti orang yang meyakini halalnya zina dan meminum khamr, atau meyakini haramnya roti atau susu.
2. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah.
3. Jika meyakini, bahwa hukum selain Allah lebih baik dari hukum Allah.
Ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala
وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al Ma’idah/5:50].
Ayat ini mengandung ketetapan, sesungguhnya hukum Allah merupakan hukum terbaik, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” [ At Tiin/95 :8].
Apabila Allah merupakan hakim yang terbaik hukumnya (sebab Allah adalah Ahkamul Hakimin), maka barangsiapa yang mengklaim, bahwa hukum selain Allah sama baiknya dengan hukum Allah, atau bahkan lebih baik lagi, berarti ia telah kafir, sebab ia tidak percaya kepada Al Qur’an.
Kedua, seseorang hanya akan menjadi zalim (tidak kafir) jika: Meyakini, bahwa hukum yang diturunkan Allah adalah sebaik-baik hukum. Merupakan hukum yang paling bermanfaat bagi hamba dan negara, serta mestinya wajib diterapkan. Namun, karena kebencian dan kedengkian terhadap orang yang diadili, ia (orang yang menghakimi) menghukumi berdasarkan selain apa yang diturunkan Allah, maka ia dhalim.
Ketiga, seseorang hanya akan menjadi fasik (tidak kafir), jika: Dia menerapkan hukum menurut hawa nafsunya. Misalnya, menghukum seseorang karena suap yang diterimanya, atau karena kerabat, sahabat. Atau karena ada sesuatu harapan di balik itu. Padahal ia meyakini, bahwa hukum Allah adalah yang terbaik dan wajib diikuti, maka ia fasik. Meskipun bisa juga dikatakan zalim, namun sifat fasik lebih tepat bagi dirinya.