Syafa'at yang Tetap dan Benar Menurut Syaikh Al-Utsaimin
loading...
A
A
A
Kata as-syafa’ah diambil dari kataالشَّفْعُas-syaf’u yang artinya adalah lawan dari kataالوِتْرُ al-witru (ganjil), yaitu menjadikan yang ganjil menjadi genapالشَّفْعُ(as-syaf’u), seperti menjadikan satu jadi dua dan tiga jadi empat. Demikian menurut arti “lughawinya”.
Adapun menurut istilah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, syafaat adalah penengah (perantara) bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak suatu kemudharatan.
Maksudnya, syafi’ (pemberi syafa’at) itu berada di antara masyfu lahu (yang diberi syafa’at) dan masyfu’ ilaih (syafa’at yang diberikan) sebagai wasithah (perantara) untuk mendatangkan keuntungan (manfaat) bagi masyfu’ lahu atau menolak mudharat darinya.
"Syafa’at itu ada dua macam," ujar Al-Utsaimin dalam kitab "Fatawa Anil Iman wa Arkaniha" yang disusun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud.
Pertama, syafa’at Tsabitah Shahihah (yang tetap dan benar). Kedua, Syafa’ah Bathilah (syafa’at yang batil).
Ini kali kita bahas yang pertama: syafa’at Tsabitah Shahihah. Menurut Al-Utsaimin, syafa’at Tsabitah Shahihah atau yang tetap dan benar yaitu yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya atau yang ditetapkan oleh RasulNya. Syafa’at ini hanya bagi Ahlut Tauhid wal Ikhlas, karena Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi:
“Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at baginda?“
Beliau menjawab:
“Orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah secara ikhlas (murni) dari kalbunya“.
Syafa’at ini bisa diperoleh dengan adanya tiga syarat:
1. Keridaan Allah terhadap yang memberi syafa’at (syafi’)
2. Keridaan Allah terhadap yang diberi syafa’at (masyfu’ lahu)
3. Izin Allah Ta’ala bagi syafi’ untuk memberi syafa’at.
Syarat-syarat ini secara mujmal terdapat dalam firman Allah Ta’ala.
Artinya: “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)“. ( QS An-Najm/53 : 26)
Kemudian diperinci oleh firmanNya.
Artinya: “Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” ( QS Al-Baqarah/2 : 255)
Artinya: “Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataanNya“. ( QS Thaha/20 : 109)
Artinya: “Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai oleh Allah“. ( QS Al-Anbiya/21 : 28)
Selanjutnya, syarat ini harus ada untuk bisa memperoleh suatu syafa’at. Menurut Al-Utsaimin, para ulama membagi syafa’at ini menjadi dua.
1. Syafa’at ‘Ammah (syafa’at yang bersifat umum). Arti umum di sini bahwa Allah Ta’ala mengizinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang saleh untuk memberikan syafa’at kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafa’at.
Syafa’at semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad SAW dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan shalihin. Yaitu bisa berupa syafa’at kepada penghuni naar dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.
2. Syafa’ah Khasshah (syafa’at yang bersifat khusus). Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW dan merupakan syafa’at yang paling agung.
Syafa’at yang paling agung ini adalah syafa’at pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafa’at kepada Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.
Mereka datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, Musa dan Isa, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa’at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muhammad SAW, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini.
Allah mengabulkan do’a beliau dan menerima syafa’atnya. Ini merupakan termasuk Al-Maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dan firmanNya.
Artinya: “Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji“. ( QS Al-Isra/17 : 79)
Di antara syafa’at khusus dari Rasul SAW adalah syafa’at beliau terhadap ahlul jannah untuk masuk jannah. Karena ahlul jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan naar, lalu hati mereka satu sama lain disucikan sehingga menjadi suci, kemudian barulah diizinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafa’at Nabi Muhammad SAW.
Adapun menurut istilah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan, syafaat adalah penengah (perantara) bagi yang lain dengan mendatangkan suatu kemanfaatan atau menolak suatu kemudharatan.
Maksudnya, syafi’ (pemberi syafa’at) itu berada di antara masyfu lahu (yang diberi syafa’at) dan masyfu’ ilaih (syafa’at yang diberikan) sebagai wasithah (perantara) untuk mendatangkan keuntungan (manfaat) bagi masyfu’ lahu atau menolak mudharat darinya.
"Syafa’at itu ada dua macam," ujar Al-Utsaimin dalam kitab "Fatawa Anil Iman wa Arkaniha" yang disusun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud.
Pertama, syafa’at Tsabitah Shahihah (yang tetap dan benar). Kedua, Syafa’ah Bathilah (syafa’at yang batil).
Ini kali kita bahas yang pertama: syafa’at Tsabitah Shahihah. Menurut Al-Utsaimin, syafa’at Tsabitah Shahihah atau yang tetap dan benar yaitu yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya atau yang ditetapkan oleh RasulNya. Syafa’at ini hanya bagi Ahlut Tauhid wal Ikhlas, karena Abu Hurairah pernah bertanya kepada Nabi:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’at baginda?“
Beliau menjawab:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ
“Orang yang paling bahagia dengan mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat adalah orang yang orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah secara ikhlas (murni) dari kalbunya“.
Syafa’at ini bisa diperoleh dengan adanya tiga syarat:
1. Keridaan Allah terhadap yang memberi syafa’at (syafi’)
2. Keridaan Allah terhadap yang diberi syafa’at (masyfu’ lahu)
3. Izin Allah Ta’ala bagi syafi’ untuk memberi syafa’at.
Syarat-syarat ini secara mujmal terdapat dalam firman Allah Ta’ala.
وَكَمْ مِنْ مَلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا إِلَّا مِنْ بَعْدِ أَنْ يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَرْضَىٰ
Artinya: “Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengijinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai(Nya)“. ( QS An-Najm/53 : 26)
Kemudian diperinci oleh firmanNya.
مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Artinya: “Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” ( QS Al-Baqarah/2 : 255)
يَوْمَئِذٍ لَا تَنْفَعُ الشَّفَاعَةُ إِلَّا مَنْ أَذِنَ لَهُ الرَّحْمَٰنُ وَرَضِيَ لَهُ قَوْلًا
Artinya: “Pada hari itu tidak berguna syafa’at, kecuali (syafa’at) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataanNya“. ( QS Thaha/20 : 109)
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَىٰ
Artinya: “Mereka tidak bisa memberi syafa’at kecuali kepada orang yang diridhai oleh Allah“. ( QS Al-Anbiya/21 : 28)
Selanjutnya, syarat ini harus ada untuk bisa memperoleh suatu syafa’at. Menurut Al-Utsaimin, para ulama membagi syafa’at ini menjadi dua.
1. Syafa’at ‘Ammah (syafa’at yang bersifat umum). Arti umum di sini bahwa Allah Ta’ala mengizinkan siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hambaNya yang saleh untuk memberikan syafa’at kepada orang yang juga diizinkan oleh Allah untuk memperoleh syafa’at.
Syafa’at semacam ini bisa didapatkan dari Nabi Muhammad SAW dan selain beliau dari para Nabi yang lain, shidiqqin, syuhada’ dan shalihin. Yaitu bisa berupa syafa’at kepada penghuni naar dari kalangan orang beriman yang bermaksiat agar mereka bisa keluar dari neraka.
2. Syafa’ah Khasshah (syafa’at yang bersifat khusus). Syafa’at ini khusus dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW dan merupakan syafa’at yang paling agung.
Syafa’at yang paling agung ini adalah syafa’at pada hari kiamat ketika manusia tertimpa kesedihan dan kesukaran yang tidak mampu mereka pikul, kemudian mereka meminta orang yang bisa memohonkan syafa’at kepada Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan mereka dari keadaan yang demikian itu.
Mereka datang kepada Adam, kemudian kepada Nuh, kemudian Ibrahim, Musa dan Isa, namun mereka semua tidak bisa memberi syafa’at, sehingga akhirnya meminta kepada Nabi Muhammad SAW, lalu beliaupun bangkit untuk memohonkan syafa’at di sisi Allah Azza wa Jalla untuk menyelamatkan hamba-hambaNya dari keadaan seperti ini.
Allah mengabulkan do’a beliau dan menerima syafa’atnya. Ini merupakan termasuk Al-Maqam Al-Mahmud (tempat yang terpuji) yang telah dijanjikan oleh Allah dan firmanNya.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Artinya: “Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu ; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji“. ( QS Al-Isra/17 : 79)
Di antara syafa’at khusus dari Rasul SAW adalah syafa’at beliau terhadap ahlul jannah untuk masuk jannah. Karena ahlul jannah itu ketika melewati shirath, mereka diberhentikan di atas jembatan antara jannah dan naar, lalu hati mereka satu sama lain disucikan sehingga menjadi suci, kemudian barulah diizinkan masuk jannah dan dibukakan untuk mereka pintunya dengan syafa’at Nabi Muhammad SAW.
(mhy)