Kapan dan Bagaimana Perceraian itu Dilakukan? Begini Penjelasan Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Islam tidak mensyari'atkan talak (perceraian) pada setiap waktu dan setiap keadaan. Sesungguhnya talak yang diperbolehkan sesuai dengan petunjuk Al Qur'an dan As-Sunnah adalah hendaknya seseorang itu pelan-pelan dan memilih waktu yang sesuai. Maka tidak boleh mencerai istrinya ketika haid, dan tidak boleh pula dalam keadaan suci sedangkan ia mempergaulinya.
"Jika ia melakukan hal itu maka talaknya adalah talak yang bid'ah dan diharamkan," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Bahkan, ujar al-Qardhawi, sebagian fuqaha' berpendapat talaknya tidak sah, karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima)."
Menurut al-Qardhawi, wajib bagi seseorang yang menalak bahwa dia dalam keadaan sadar. Apabila ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang menutup ingatannya sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut pendapat yang shahih itu tidak sah.
Berdasarkan hadis, "Tidak sah talak dalam ketidaksadaran." Abu Dawud menafsirkan hadis ini dengan 'marah', dan yang lain mengartikan karena 'terpaksa'. "Kedua-duanya benar," ujar al-Qardhawi.
Dan hendaklah orang yang mencerai itu bermaksud untuk mencerai dan berpisah dari isterinya. Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekadar menakut-nakuti, maka tidak sah menurut pendapat yang Shahih sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih oleh Al 'Allamah lbnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah.
Jika semua bentuk talak ini tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan dimaksudkan yang berdasarkan pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan ia melihat itulah satu-satu jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan yang ia tidak lagi mampu bertahan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas, "Sesungguhnya talak itu harena diperlukan."
"Jika ia melakukan hal itu maka talaknya adalah talak yang bid'ah dan diharamkan," tulis Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Bahkan, ujar al-Qardhawi, sebagian fuqaha' berpendapat talaknya tidak sah, karena dijatuhkan tidak sesuai dengan perintah Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang melakukan perbuatan tanpa dilandasi perintah kami maka itu tertolak (tidak diterima)."
Menurut al-Qardhawi, wajib bagi seseorang yang menalak bahwa dia dalam keadaan sadar. Apabila ia kehilangan kesadaran, terpaksa, atau dalam keadaan marah yang menutup ingatannya sehingga ia berbicara yang tidak ia inginkan, maka menurut pendapat yang shahih itu tidak sah.
Berdasarkan hadis, "Tidak sah talak dalam ketidaksadaran." Abu Dawud menafsirkan hadis ini dengan 'marah', dan yang lain mengartikan karena 'terpaksa'. "Kedua-duanya benar," ujar al-Qardhawi.
Dan hendaklah orang yang mencerai itu bermaksud untuk mencerai dan berpisah dari isterinya. Adapun menjadikan talak itu sebagai sumpah atau sekadar menakut-nakuti, maka tidak sah menurut pendapat yang Shahih sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama salaf dan ditarjih oleh Al 'Allamah lbnul Qayyim dan gurunya Ibnu Taimiyah.
Jika semua bentuk talak ini tidak sah maka tetaplah talak yang diniati dan dimaksudkan yang berdasarkan pemikiran dan yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan ia melihat itulah satu-satu jalan penyelesaian untuk keselamatan dari kehidupan yang ia tidak lagi mampu bertahan. Inilah yang dikatakan Ibnu Abbas, "Sesungguhnya talak itu harena diperlukan."
(mhy)