Idul Adha, Kurban, dan Keteladanan Nabi Ibrahim AS (2)

Rabu, 05 Agustus 2020 - 08:10 WIB
loading...
A A A
Ini berarti bahwa dalam pendidikan anak agama harus menjadi dasar pijakan. Anda mungkin mengirim anak ke sekolah atau universitas paling bergengsi. Tapi ketika anak terputus dari agama (Tuhan) maka anda telah menjatuhkan anak itu ke dalam lembah kegagalan totalitas.

Ketiga, bahwa Ibrahim dalam mendidik anaknya mengambil metode pendewasaan. Artinya anak itu diajarkan untuk dewasa dalam menyikapi segala hal dalam hidup, bahkan yang paling pelik dan krusial sekalipun.

Ketika Allah memerintahkan Ibrahim untuk memotong anaknya, Ibrahim sangat yakin akan perintah itu. Namun demikian Ibrahim juga tidak secara serta merta melakukan perintah itu. Justeru beliau menyampaikan kepada anaknya, bahkan meminta opini anaknya.

Meminta opini? Opini anak mengenai perintah Allah?

Bagi sebagian tentu hal ini nampak kurang sesuai. Bagaimana mungkin sebuah perintah yang diyakini kewajibannya tapi masih meminta pertimbangan orang lain? Apalagi dari seorang anak yang baru menginjak dewasa.

Tapi itulah Ibrahim AS. Beliau bukan seorang diktator kecil dalam rumah tangganya. Justeru beliau menyampaikan dan meminta pendapat anaknya agar sang enak dewasa dalam menyikapi perintah itu, serta ikhlas menerima perintah Allah. Bukan hanya karena Ayahnya. Apalagi karena paksaan.

Pesan penting dari ketauladanan ini adalah hendaknya orang tua belajar membangun komunikasi dan melakukan pendekatan persuasi kepada anak dan generasi muda. Dengan demikian anak dan generasi muda kita akan membangun kedewasaan tanpa merasa terputus dan terpaksa oleh orang tuanya.

Sayangnya memang ada gap komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anaknya. Terkadang karena memang masalah bahasa, termasuk bahasa kultur. Juga karena lambangnya orang tua beradaptasi untuk merespon perkembangan anak-anak dengan dunianya yang serba baru.

Tentu juga masuk dalam hal ini pentingnya pada guru, ustadz, Maulana, kyai, Imam dan syeikh untuk menguasai bahasa generasi muda kita. Jika tidak maka efektifitas kemanfaatannya di tengah Komunitas Muslim di Amerika sangat terbatas.

Keempat, bahwa Ibrahim AS memastikan keselamatan iman dan Islam generasinya. Ada sense atau rasa tanggung jawab besar untuk meyakinkan diri sebagai orang tua jika anak dan generasinya tetap berada di jalan iman dan Islam.

Disebutkan dalam Al-Quran bahwa di akhir-akhir hayatnya Ibrahim memanggil anaknya untuk menekankan sekaligus meyakinkan agar anak dan generasinya melanjutkan risalah islam ini. Dan hendaknya mereka tidak mati kecuali dalam keadaan Islam.

“Dan ingat ketika Ibrahim dan Ya’qub memberikan wasiat kepada anaknya. Wahai anakku sesungguhnya Allah telah memilih agama bagimu. Maka janganlah mati kecuali dalam keadaan Islam”.

Kata wasiat ini sebuah penekakan Urgensi meyakinkan akan iman dan Islam anak dan generasi kita. Wasiat itu adalah kewajiban yang tidak boleh terlalaikan, apalagi sengaja tidak dilakukan.

Pelajaran penting dari kisah ini adalah bahwa setiap orang tua wajib meyakinkan diri dan anaknya untuk menjadikan Islam ini sebagai jalan hidupnya. Bahkan wajib mengingatkan kepada anak keturunannya untuk menjaga agama hingga pernafasan terakhir (last breath) dalam hidupnya.

Tapi sangat disayangkan mayoritas di antara kita justeru yang cenderung diwasiatkan adalah bagaimana agar dunia anak-anak kita tetap maju dan sukses. Sekolah dan karirnya menjadi perhatian utama. Sementara agama tidak lagi penting karena dunia telah memenuhi ruang-ruang hidup kita.



Kelima, bahwa Ibrahim AS memiliki visi yang jauh ke depan tentang generasi. Beliau tidak sekedar menyadari tentang Urgensi generasi dalam setahun bahkan sepuluh tahun. Tapi generasi ke generasi selanjutnya menjadi bagian dari perhatian beliau yang mendasar.

Kita masih ingat ketika beliau selesai meninggikan fondasi Ka’bah. Tentu kalau berbicara tentang Ka’bah seharusnya yang terbetik di pikiran adalah sholat, thawaf, haji atau Umrah .

Tapi yang menarik justeru doa nabi Ibrahim bersama anaknya Ismail setelah meninggikan fondasi Ka’bah adalah “Wahai Tuhan kami, jadikan kami berdua dua hambaMu yang berserah diri (Muslimatan laka)”

Permohonan itu kemudian disambung: “Dan dari anak-anak keturunan kami juga menjadi umat yang berserah diri kepada kepadaMu (ummatan Muslimatan laka).
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0974 seconds (0.1#10.140)