Nikah Misyar: Pendapat yang Melarang dan yang Membolehkan Sama-Sama Relevan
loading...
A
A
A
Selain itu dengan pernikahan (misyar) istri beruntung karena memiliki seseorang yang bisa melindungi diri dan hartanya dari kerusakan dan gangguan pihak lain. "Ini sejalan dengan konsep maqasid shari’ah pada ranah hifdh al-mâl dalam level dharuriyat."
Dalam pendekatan maqasid shari’ah, kata Chomim Tohari, kualitas kemaslahatan dalam suatu perbuatan akan menentukan tingkat status hukum perbuatan tersebut. Karena itulah maka muncul beberapa kaidah umum dalam penetapan hukum berdasarkan maqasid shari’ah (maqasid based ijtihad) antara lain:
1. Tuntutan untuk melakukan sesuatu adalah karena kandungan maslahat yang ada di dalamnya dan tuntutan meninggalkan sesuatu adalah karena ada kemafsadatan di dalamnya.
2. Jika kemafsadatan dalam suatu perbuatan mendominasi, maka melaksanakannya ada pada tingkatan makruh, semakin besar mafsadatnya semakin kuat pula tingkat kemakruhannya sampai pada tingkatan haram. Tingkat mafsadat dalam hal yang diharamkan adalah lebih besar dari yang dimakruhkan.
3. Perbuatan yang diwajibkan bisa berubah menjadi tidak wajib atas pertimbangan akibat jelek yang akan ditimbulkannya, misalnya adalah jika pelaksanaannya akan membahayakan orang lain atau menyalahi hikmah yang dimaksud oleh shara’.
Nikah Misyar
Sebagai penginga, pernikahan misyar adalah model pernikahan yang tidak lazim. Sang istri melepaskan haknya mendapatkan nafkah dari suaminya. "Pernikahan ini berlangsung ketika suami merantau dalam waktu lama dan menikahi wanita di tempat perantauannya," tulis Chomim Tohari.
Para istri yang merelakan haknya itu biasanya adalah wanita-wanita yang mapan secara ekonomi dan hanya memerlukan kebutuhan batiniah dari suaminya. "Pernyataan istri tentang kerelaannya itu disebutkan sebagai syarat dalam akad nikah," jelasnya.
Chomim Tohari mengatakan fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan sekarang. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah" (Dar al-Qalam, 1421 H) mengupas masalah ini secara panjang lebar.
Menurutnya, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya seringkali bepergian sampai berbulan-bulan. Sebagian dari mereka ada yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka juga untuk mempertahankan hidup mereka di perantauan.
Menurutnya, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara Barat yang maju yang mana kaum perempuan kebanyakan memiliki karir dan ekonomi yang cukup bahkan berlimpah, sementara jumlah umat Islam berada pada posisi minoritas, pernikahan misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat muslim tersebut.
Biasanya, setelah seorang wanita menjadi janda, kemudian ia kawin lagi dengan seorang laki-laki. Karena sang wanita memiliki rumah-rumah dan anak, maka sang suami yang menikahinya secara misyar tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari.
Sedangkan rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah meninggal atau rumahnya sendiri. Dan suami misyar-nya tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya, baik nafkah maupun tempat tinggal.
Chomim Tohari mengatakan sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer.
Baca juga: Kawin Kontrak atau Mut'ah: Dulu Sempat Dibolehkan, Mengapa Setelah Itu Haram?
Dalam pendekatan maqasid shari’ah, kata Chomim Tohari, kualitas kemaslahatan dalam suatu perbuatan akan menentukan tingkat status hukum perbuatan tersebut. Karena itulah maka muncul beberapa kaidah umum dalam penetapan hukum berdasarkan maqasid shari’ah (maqasid based ijtihad) antara lain:
1. Tuntutan untuk melakukan sesuatu adalah karena kandungan maslahat yang ada di dalamnya dan tuntutan meninggalkan sesuatu adalah karena ada kemafsadatan di dalamnya.
2. Jika kemafsadatan dalam suatu perbuatan mendominasi, maka melaksanakannya ada pada tingkatan makruh, semakin besar mafsadatnya semakin kuat pula tingkat kemakruhannya sampai pada tingkatan haram. Tingkat mafsadat dalam hal yang diharamkan adalah lebih besar dari yang dimakruhkan.
3. Perbuatan yang diwajibkan bisa berubah menjadi tidak wajib atas pertimbangan akibat jelek yang akan ditimbulkannya, misalnya adalah jika pelaksanaannya akan membahayakan orang lain atau menyalahi hikmah yang dimaksud oleh shara’.
Nikah Misyar
Sebagai penginga, pernikahan misyar adalah model pernikahan yang tidak lazim. Sang istri melepaskan haknya mendapatkan nafkah dari suaminya. "Pernikahan ini berlangsung ketika suami merantau dalam waktu lama dan menikahi wanita di tempat perantauannya," tulis Chomim Tohari.
Para istri yang merelakan haknya itu biasanya adalah wanita-wanita yang mapan secara ekonomi dan hanya memerlukan kebutuhan batiniah dari suaminya. "Pernyataan istri tentang kerelaannya itu disebutkan sebagai syarat dalam akad nikah," jelasnya.
Chomim Tohari mengatakan fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan sekarang. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah" (Dar al-Qalam, 1421 H) mengupas masalah ini secara panjang lebar.
Menurutnya, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya seringkali bepergian sampai berbulan-bulan. Sebagian dari mereka ada yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka juga untuk mempertahankan hidup mereka di perantauan.
Menurutnya, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara Barat yang maju yang mana kaum perempuan kebanyakan memiliki karir dan ekonomi yang cukup bahkan berlimpah, sementara jumlah umat Islam berada pada posisi minoritas, pernikahan misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat muslim tersebut.
Biasanya, setelah seorang wanita menjadi janda, kemudian ia kawin lagi dengan seorang laki-laki. Karena sang wanita memiliki rumah-rumah dan anak, maka sang suami yang menikahinya secara misyar tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari.
Sedangkan rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah meninggal atau rumahnya sendiri. Dan suami misyar-nya tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya, baik nafkah maupun tempat tinggal.
Chomim Tohari mengatakan sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer.
Baca juga: Kawin Kontrak atau Mut'ah: Dulu Sempat Dibolehkan, Mengapa Setelah Itu Haram?
(mhy)