Nikah Misyar: Pendapat yang Melarang dan yang Membolehkan Sama-Sama Relevan

Rabu, 01 November 2023 - 10:11 WIB
loading...
Nikah Misyar: Pendapat yang Melarang dan yang Membolehkan Sama-Sama Relevan
Ulama yang melarang maupun yang membolehkan nikah misyar sama-sama relevan dengan maqasid syariah. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Chomim Tohari dari Islamic Law Marmara University Turkeye berpendapat bahwa antara ulama yang melarang maupun yang membolehkan nikah misyar sama-sama relevan dengan maqasid syariah.

Definisi umum arti maqasid syariah adalah ketaatan dalam menjalankan prinsip-prinsip syariah yang tujuannya demi terwujudnya kemaslahatan umat. Penerapan maqasid syariah melibatkan sejumlah kegiatan manusia yang berkait dengan menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keturunan.

Terkait nikah misyar,Chomim Tohari menjelaskan:Pertama, ulama yang membolehkan nikah misyar mendasarkan pada hukum paling utama yakni terpenuhinya segala syarat sahnya pernikahan . "Karena itulah pernikahan menjadi sah menurut agama," tulis Chomim Tohari dalam paper hasil penelitiannya berjudul "Fatwa Ulama tentang Hukum Islam Nikah Misyar Perspektif Maqqasid Shari'ah".

Menurutnya, dalam pernikahan yang di dalamnya terdapat ijab dan qabul , saling meridai antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan, ada mahar yang disepakati, maka akad nikah tersebut resmi dan keduanya menjadi suami istri.



Chomim Tohari menjelaskan pendapat ini apabila dihubungkan dengan konsep maqasid shari’ah maka tampak relevan dengan maqasid shari’ah pada ranah hifdh al-din tingkat dharuriyyat serta pada ranah hifdh al-Nasab tingkat dharuriyyat.

"Karena dalam ranah ini mengindikasikan bahwa dengan adanya pernikahan maka ajaran agama dan eksistensi keluarga Islam dapat terjaga," jelasnya.

Kedua, pernikahan misyar biasanya terjadi dalam kondisi darurat. Menurut Yusuf al-Duraysh, pernikahan jenis ini haruslah dimaklumi, karena biasanya diselenggarakan dalam situasi dan kondisi khusus yang mengikat suami atau istri.

Sementara keduanya ingin menjaga diri dan kehormatan, sedangkan pernikahan yang umum tidak mungkin mereka tempuh, sehingga mereka terdesak untuk melakukan nikah misyar.

Menurut Chomim Tohari, pandangan ini menemukan relevansinya dengan konsep maqasid shari’ah pada ranah hifdh aldin tingkat hajjiyat. Dalam keadaan tertentu ketentuan pernikahan dalam Islam dapat diperingan, di antaranya dengan dibolehkannya istri merelakan sebagian haknya dari suami.

Ketiga, mereka yang membolehkan nikah misyar berpendapat bahwa jika ditinjau dari perwujudan tujuan-tujuan besar sebuah pernikahan, memang benar bahwa nikah misyar bukan bentuk pernikahan yang ideal. Akan tetapi bukan berarti kosong dari pembentukan tujuan-tujuan utamanya secara keseluruhan. Bahkan tidak sedikit tujuan-tujuan tersebut yang bisa ditemukan di dalamnya.



Hanya saja, keduanya saling meridai dan sepakat, bahwa tidak ada hak nafkah dari suami untuk istrinya, juga tidak ada hak berbagi hari giliran.

Menurut Chomim Tohari, karena adanya hak-hak pernikahan tersebut, maka pendapat ini apabila dihubungkan dengan maqasid shari’ah, maka akan tampak relevan dengan hifdh al-nafs pada tingkat dharuriyat, yakni terpeliharanya keberlangsungan reproduksi keturunan, serta terpeliharanya kehormatan, terutama kehormatan kaum wanita yang tidak diperolehnya kecuali dengan pernikahan.

Selain itu, sang istri yang dinikahi secara misyar juga ikut merasakan kebahagiaan dan kepuasan batin karena dalam pernikahan tersebut ia mendapatkan sesuatu yang tidak ia dapatkan kecuali dengan melakukan pernikahan.

"Ini sesuai dengan konsep maqasid shari’ah pada ranah hifdh al-nafs pada tingkat hajjiyat," ujar Chomim Tohari.

Keempat, ulama yang membolehkan nikah misyar juga mensyaratkan bahwa pernikahan seperti ini haruslah diresmikan oleh aturan negara dengan adanya pencatatan pernikahan oleh instansi pemerintah. "Tentu saja pendapat ini sejalan dengan maqâshid sharî’ah pada ranah hifdh al-nasab pada tingkat hajjiyat," kata Chomim Tohari.

Kelima, dengan nikah misyar istri yang kaya bisa membantu ekonomi suami yang mungkin lemah. "Ini sejalan dengan konsep maqasid shari’ah pada ranah hifdh al-nafs pada tingkat tahsiniyat," tambahnya.



Kaidah Umum

Selain itu dengan pernikahan (misyar) istri beruntung karena memiliki seseorang yang bisa melindungi diri dan hartanya dari kerusakan dan gangguan pihak lain. "Ini sejalan dengan konsep maqasid shari’ah pada ranah hifdh al-mâl dalam level dharuriyat."

Dalam pendekatan maqasid shari’ah, kata Chomim Tohari, kualitas kemaslahatan dalam suatu perbuatan akan menentukan tingkat status hukum perbuatan tersebut. Karena itulah maka muncul beberapa kaidah umum dalam penetapan hukum berdasarkan maqasid shari’ah (maqasid based ijtihad) antara lain:

1. Tuntutan untuk melakukan sesuatu adalah karena kandungan maslahat yang ada di dalamnya dan tuntutan meninggalkan sesuatu adalah karena ada kemafsadatan di dalamnya.

2. Jika kemafsadatan dalam suatu perbuatan mendominasi, maka melaksanakannya ada pada tingkatan makruh, semakin besar mafsadatnya semakin kuat pula tingkat kemakruhannya sampai pada tingkatan haram. Tingkat mafsadat dalam hal yang diharamkan adalah lebih besar dari yang dimakruhkan.

3. Perbuatan yang diwajibkan bisa berubah menjadi tidak wajib atas pertimbangan akibat jelek yang akan ditimbulkannya, misalnya adalah jika pelaksanaannya akan membahayakan orang lain atau menyalahi hikmah yang dimaksud oleh shara’.



Nikah Misyar

Sebagai penginga, pernikahan misyar adalah model pernikahan yang tidak lazim. Sang istri melepaskan haknya mendapatkan nafkah dari suaminya. "Pernikahan ini berlangsung ketika suami merantau dalam waktu lama dan menikahi wanita di tempat perantauannya," tulis Chomim Tohari.

Para istri yang merelakan haknya itu biasanya adalah wanita-wanita yang mapan secara ekonomi dan hanya memerlukan kebutuhan batiniah dari suaminya. "Pernyataan istri tentang kerelaannya itu disebutkan sebagai syarat dalam akad nikah," jelasnya.

Chomim Tohari mengatakan fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan sekarang. Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya yang berjudul "Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah" (Dar al-Qalam, 1421 H) mengupas masalah ini secara panjang lebar.

Menurutnya, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya seringkali bepergian sampai berbulan-bulan. Sebagian dari mereka ada yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis mereka juga untuk mempertahankan hidup mereka di perantauan.



Menurutnya, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara Barat yang maju yang mana kaum perempuan kebanyakan memiliki karir dan ekonomi yang cukup bahkan berlimpah, sementara jumlah umat Islam berada pada posisi minoritas, pernikahan misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat muslim tersebut.

Biasanya, setelah seorang wanita menjadi janda, kemudian ia kawin lagi dengan seorang laki-laki. Karena sang wanita memiliki rumah-rumah dan anak, maka sang suami yang menikahinya secara misyar tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari.

Sedangkan rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah meninggal atau rumahnya sendiri. Dan suami misyar-nya tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya, baik nafkah maupun tempat tinggal.

Chomim Tohari mengatakan sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan perdebatan terutama di kalangan ulama kontemporer.

Baca juga: Kawin Kontrak atau Mut'ah: Dulu Sempat Dibolehkan, Mengapa Setelah Itu Haram?
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2431 seconds (0.1#10.140)