Yahudi Indonesia: Menjadi Hantu yang Nyaman dan Tidak Pernah Terlihat

Senin, 06 November 2023 - 14:35 WIB
loading...
Yahudi Indonesia: Menjadi Hantu yang Nyaman dan Tidak Pernah Terlihat
Rabbi Yaakov Baruch: Foto Tablet
A A A
Indonesia hanya mengakui enam agama; Islam , Katolik Roma , Protestan , Budha, Hindu , dan Konghucu. Kebebasan untuk menganut agama lain dijamin oleh konstitusi, meskipun praktik diskriminatif terhadap agama minoritas adalah hal biasa.

Pemimpin Persatuan Komunitas Yahudi Indonesia, Rabbi Benjamin Meijer-Verbrugge menekankan bahwa masih mustahil bagi seorang Yahudi Indonesia untuk mencantumkan keyakinannya pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). “Saat ini, bahkan jika Anda memiliki semua bukti bahwa Anda menganut Yudaisme, Anda akan ditempatkan di bawah kategori 'agama lain dalam Tuhan,” ujarnya sebagaimana dikutip majalah Yahudi, Tablet.

Rabbi ini mengatakan meskipun keberadaan orang Yahudi semakin meningkat di Indonesia, prasangka dan stigma masih ada.



Jajak pendapat publik yang dilakukan pada bulan Mei 2022 oleh Saiful Mujani Research and Consulting menemukan bahwa 51% umat Islam di Indonesia merasa sangat was-was jika memiliki tetangga yang beragama Yahudi, 57% menentang orang Yahudi mengajar di sekolah umum, dan 61% menolak orang Yahudi menjadi pejabat pemerintah.

Hanya saja, Ezra Abraham, penganut cabang Yahudi Indonesia Sephardic yang kini tinggal di Cirebon menampik survei itu. Ia mengatakan tidak pernah mengalami prasangka ekstrem saat tinggal di kota yang mayoritas penduduknya Muslim.

“Salah satu masalahnya adalah tidak terlihatnya orang-orang Yahudi selama puluhan tahun telah membuat kita menjadi hantu yang nyaman dan tidak pernah terlihat,” katanya.

Ia menekankan bahwa keterlibatan yang lebih besar di luar agama akan membantu menghilangkan kesalahpahaman dan disinformasi yang lazim mengenai orang Yahudi.

“Pada salah satu acara lintas agama, peserta Muslim pada awalnya merasa tidak nyaman ketika saya memberi tahu mereka bahwa saya adalah seorang Yahudi. Namun pada akhir diskusi jujur kami, sebagian besar sudah mengubah pendirian mereka,” ujarnya.



Dia mengatakan bahwa menampilkan Yudaisme di Indonesia secara nyata membuatnya tidak terlalu nyata, dan menambahkan bahwa beberapa pendukung terbesarnya di komunitas antaragama dulunya skeptis terhadap Yudaisme.

Aan Anshori, dari Nadhatul Ulama atau NU, menggambarkan antipati terhadap orang Yahudi di kalangan umat Islam di negara ini sebagai hal yang “mendalam secara budaya.”

Anshori mengatakan sebagian besar umat Islam Indonesia tumbuh besar dengan mendengar cerita bagaimana Nabi Muhammad wafat setelah diberi makanan beracun oleh seorang wanita Yahudi.

Ia menambahkan, isu kemerdekaan Palestina telah memberikan konteks modern dimana masyarakat Indonesia memandang orang Yahudi sebagai penjahat.

Pada tahun 2013, misalnya, menyusul protes kelompok Islam atas konflik Israel-Palestina, sinagoga era Belanda di Surabaya dijual kepada pengembang dan rata dengan tanah, meskipun sebelumnya dinyatakan sebagai situs warisan budaya.

“Kunci untuk membalikkan keadaan ini adalah dengan menanamkan pentingnya hidup berdampingan antara Islam dan agama lain saat ini,” kata Anshori.



Pendeta Irma Simanjutak, seorang pendeta Kristen dan aktivis pluralisme agama, juga sangat percaya pada dialog antaragama. Minggu terakhir bulan Januari, ia menghadiri Konferensi Yahudi-Kristen-Muslim di Manado. Sinagoga Shaar Hashamayim menjadi tuan rumah pertemuan antaragama, yang juga memperingati Hari Peringatan Holocaust Internasional.

“Yang paling menarik perhatian saya dari konferensi ini adalah suasananya yang informal dan santai,” kenang Simanjutak. “Umat Islam dan Kristen sudah lama berdialog di Indonesia dan sungguh menyegarkan melihat saudara-saudara Yahudi kita hadir selama tiga tahun terakhir.”

Sulawesi Utara, wilayah Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, tetap menjadi satu-satunya wilayah yang mengizinkan pembangunan sinagoga baru.

Simanjutak yakin ada banyak niat baik di kalangan umat Kristiani di Indonesia—yang merupakan 10% dari populasi negara ini—terhadap Yudaisme, dan banyak dari mereka melihatnya sebagai cikal bakal agama mereka.

Dia mengatakan bahwa ketika dia berbicara dengan umat Kristen di Manado, mereka selalu menyebut sinagoga Shaar Hashamayim milik Tondano sebagai “gereja Yahudi".



Rabi Baruch dari Shaar Hashamayim, seorang penduduk asli Sulawesi Utara berusia 40 tahun yang tumbuh dalam keluarga Kristen di Manado, mengatakan bahwa menjalin hubungan baik dengan agama lain di Indonesia mengirimkan pesan yang jelas bahwa Yudaisme adalah agama damai.

Meijer-Verbrugge, meski tetap optimis mengenai masa depan, mengatakan bahwa kaum Yahudi di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, baik internal maupun eksternal.

“Jumlah kami yang kecil berarti koordinasi dan acara komunal lebih sulit dan mahal untuk diselenggarakan,” katanya. Tidak semua orang Yahudi di Indonesia berpenghasilan tinggi, tambahnya, banyak yang memperoleh upah minimum, sekitar US$132 hingga $333 per bulan.

“Ini berarti banyak dari mereka tidak mampu menjadi anggota organisasi Yahudi internasional atau melakukan perjalanan untuk bertemu dengan saudara-saudara mereka di luar negeri.”

Tantangan lain yang lebih mendasar, katanya: “Masih sangat sulit bagi kami di sini untuk menemukan pasangan hidup yang juga beragama Yahudi. Implikasinya jelas bagi generasi berikutnya.”

Abraham mengatakan dia telah mengesampingkan pernikahan di luar agama. “Untungnya,” katanya, “pacar saya bersedia pindah agama” ke Yudaisme.



Baruch memberikan nasihat yang bijaksana kepada rekan-rekan Yahudi di Indonesia, dengan mengatakan bahwa musuh terbesar sering kali datang dari dalam.

Dia memberi contoh bagaimana orang yang baru masuk Yudaisme secara terbuka meremehkan agama mereka sebelumnya di media sosial. “Adalah tanggung jawab para pemimpin komunitas kami untuk mengekang fanatisme tersebut,” katanya, “karena kami ingin Yudaisme di Indonesia menjadi agama yang inklusif.”
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1878 seconds (0.1#10.140)