3 Fase Perkembangan Ideologi Geert Wilders sang Pembenci Islam

Senin, 11 Desember 2023 - 06:34 WIB
loading...
3 Fase Perkembangan Ideologi Geert Wilders sang Pembenci Islam
Geert Wilders. Foto/Ilustrasi: france24
A A A
Geert Wilders adalah pembenci Islam dengan produknya "Fitna". Dia mengaitkan Islam dengan terorisme , kebencian terhadap wanita, kekerasan dan eksklusivitas agama, dengan menggunakan berbagai manipulasi, penipuan dan informasi yang salah.

Pemimpin Partai Kebebasan (PVV) ini menjadi pemenang pemilihan umum yang diadakan di Belanda baru-baru ini. Dia adakah salah satu Islamofobia paling terkenal di Eropa yang memiliki hubungan dekat dengan kelompok Zionis .

Al Jazeera melansir, Partai Kebebasan yang dipimpinnya memenangkan 37 kursi dari 150 kursi di badan legislatif negara tersebut. Ini merupakan blok tunggal terbesar, jauh di atas Partai Rakyat konservatif pimpinan Perdana Menteri Mark Rutte (24 kursi) dan koalisi sayap kiri Buruh-Hijau (25 kursi).



Wilders secara historis menentang imigrasi dan skeptis terhadap pengaruh Uni Eropa dalam pengambilan keputusan nasional.

Menurut Press TV, dengan mempertimbangkan evolusi karir politiknya, panutan politiknya, dan koneksi internasionalnya, perkembangan ideologi Wilders dibagi menjadi tiga fase: konservatif-liberal (1989–2002), neokonservatif (2002–2006) dan populis (2006–sekarang) .

Pada periode pertama, Wilders menonjol sebagai anggota Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) dan paling dipengaruhi oleh Frits Bolkestein, pemimpin partai tersebut pada saat itu.

Bolkestein menganjurkan gaya politik konfrontatif baru, campuran pandangan neoliberal mengenai ekonomi dan pandangan yang lebih konservatif mengenai masalah sosial budaya, serta kritik terhadap multikulturalisme dan menyerukan pemulihan nilai-nilai lama sebagai landasan moral masyarakat.



Pada akhir tahun 1990-an, Wilders menjadi semakin dekat dengan politisi rezim Israel dan mulai menunjukkan ketertarikannya pada politik Asia Barat, pengendalian senjata, dan ekstremisme Muslim, dengan alasan bahwa ekstremisme Muslim akan pindah ke Eropa melalui imigrasi.

Pada paruh pertama tahun 2000-an, dia bekerja sama dengan Bart Jan Spruyt dari Yayasan Edmund Burke yang konservatif. Dia bepergian bersamanya secara teratur ke wilayah pendudukan Palestina dan Amerika Serikat.

Di sana, keduanya berkenalan dengan ide dan metode organisasi neokonservatif, terutama American Enterprise Institute (AEI) dan Heritage Foundation.

Konvergensi dengan neokonservatisme Amerika mengakibatkan penyimpangan dari pandangan mentornya Bolkestein dan liberalisme tradisional Belanda, yang dipertahankan dalam empat putaran utama.

Pertama-tama, Wilders menjadi pendukung setia "perang melawan teror" Presiden AS George Bush dan mendukung petualangan militer AS di Afghanistan dan Irak, serta pembukaan kamp penahanan terkenal di Guantanamo.



Bersama dengan Ayaan Hirsi Ali, seorang penulis kontroversial dan dikenal sebagai seorang Islamofobia, ia menyerukan keterlibatan Uni Eropa (UE) dalam "demokratisasi Timur Tengah", dan dengan dalih perjuangan anti-teroris, ia menganjurkan serangan militer terhadap Iran dan Suriah.

Kedua, Wilders mulai menganjurkan segala macam tindakan radikal terhadap potensi ancaman terhadap keamanan nasional Belanda, yang sering kali meniru model Amerika dan Israel.

Langkah-langkah tersebut mencakup penerapan keadaan darurat, penahanan preventif dan administratif, serta denaturalisasi dan deportasi tersangka, tidak hanya teroris tetapi juga ulama radikal (imam) dan penjahat Maroko.

Ketiga, ia mulai menentang sistem tersebut, dengan menyatakan bahwa elit progresif "menyalahgunakan demokrasi" dan "melakukan indoktrinasi melalui televisi publik."

Terakhir, perubahan paling signifikan dalam pandangan Wilders adalah munculnya permusuhan sengit terhadap Islam dan Muslim, yang diilhami oleh kaum neokonservatif seperti Daniel Pipes dan Norman Podhoretz.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1413 seconds (0.1#10.140)