Sikap Memaafkan adalah Ibadah yang Agung
loading...
A
A
A
Hubungan dan interaksi antar manusia, tidak luput dari gangguan dan kesalahan. Karenanya, seorang muslim dianjurkan memiliki sikap dan mudah memaafkan , agar terjalin hubungan baik antar sesama manusia ini.
Dalam Islam, sikap memaafkan ternyata merupakan ibadah yang agung. Memaafkan merupakan amalan penghuni surga dan pahalanya besar.
Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
“Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali ‘Imran: 134)
Harus diakui, ibadah memaafkan ini sulit sehingga pahalanya besar. Ibadah ini tidak bisa kita lakukan kapan saja seperti membaca Al-Qur’an atau sedekah, tetapi hanya bisa dilakukan ketika kita dizalimi.
Allah akan mengampuni orang yang memaafkan . Hal ini berdasarkan kaidah, “al-jaza’ min jinsil-‘amal”, yang artinya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala,
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At Taghabun: 14)
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, Siapakah manusia yang paling keras ujiannya? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka seorang hamba senantiasa diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), ad-Darimi (II/320), Ibnu Hibban (no. 699-Mawaarid), al-Hakim (I/40,41), dan Ahmad (I/172, 174, 180, 185). At-Tirmidzi berkata: Hadits ini Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahihah (no. 143))
Lihat bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dizalimi oleh kaum kafir Quraisy di Perang Uhud hingga terluka, giginya pecah, dan kepalanya berdarah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam justru berdoa,
“Ya Allah.. ampunilah kaumku karena mereka sejatinya tidak (belum) mengetahui (kebenaran islam).” (HR. Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792)
Wallahu A'lam
Dalam Islam, sikap memaafkan ternyata merupakan ibadah yang agung. Memaafkan merupakan amalan penghuni surga dan pahalanya besar.
Sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ
“Bersegeralah menuju ampunan dari Tuhanmu dan surga (yang) luasnya (seperti) langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Ali ‘Imran: 134)
Harus diakui, ibadah memaafkan ini sulit sehingga pahalanya besar. Ibadah ini tidak bisa kita lakukan kapan saja seperti membaca Al-Qur’an atau sedekah, tetapi hanya bisa dilakukan ketika kita dizalimi.
Allah akan mengampuni orang yang memaafkan . Hal ini berdasarkan kaidah, “al-jaza’ min jinsil-‘amal”, yang artinya balasan sesuai dengan amal perbuatan. Sebagaimana firman Allah ta’ala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. At Taghabun: 14)
Teladan Rasulullah SAW
Melihat perjalanan hidup para nabi dan rasul, mereka adalah manusia yang paling keras ujiannya. Akan tetapi, mereka memiliki sifat mudah memaafkan.Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya: Wahai Rasulullah, Siapakah manusia yang paling keras ujiannya? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الأنبياء ثم الأمثل فالأمثل فيبتلى الرجل على حسب دينه فإن كان دينه صلبا اشتد بلاؤه وإن كان في دينه رقة ابتلى على حسب دينه فما يبرح البلاء بالعبد حتى يتركه يمشى على الأرض ما عليه خطيئة
“(Orang yang paling keras ujiannya adalah) para nabi, kemudian yang semisalnya dan yang semisalnya, seseorang diuji sesuai dengan kadar agamanya, kalau kuat agamanya maka semakin keras ujiannya, kalau lemah agamanya maka diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka seorang hamba senantiasa diuji oleh Allah sehingga dia dibiarkan berjalan di atas permukaan bumi tanpa memiliki dosa.” (HR. At-Tirmidzi (no. 2398), Ibnu Majah (no. 4023), ad-Darimi (II/320), Ibnu Hibban (no. 699-Mawaarid), al-Hakim (I/40,41), dan Ahmad (I/172, 174, 180, 185). At-Tirmidzi berkata: Hadits ini Hasan Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahihah (no. 143))
Lihat bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dizalimi oleh kaum kafir Quraisy di Perang Uhud hingga terluka, giginya pecah, dan kepalanya berdarah. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam justru berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِى فَإِنَّهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ
“Ya Allah.. ampunilah kaumku karena mereka sejatinya tidak (belum) mengetahui (kebenaran islam).” (HR. Bukhari, no. 3477 dan Muslim, no. 1792)
Wallahu A'lam
(wid)