Kisah Penyandang Disabilitas Disiksa Tentara Israel, Meninggal dalam Tahanan

Minggu, 17 Maret 2024 - 05:34 WIB
loading...
Kisah Penyandang Disabilitas Disiksa Tentara Israel, Meninggal dalam Tahanan
Ezz al-Din al-Banna. Foto/Ilustrasi: MEE
A A A
Ezz al-Din al-Banna, 40, adalah penyandang disabilitas yang meninggal dalam tahanan Israel bulan lalu.

Banna menderita kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Ia ditangkap oleh tentara Israel pada akhir November dari sebuah gedung tempat ia mencari perlindungan di Kota Gaza .

Tentara Israel yang menangkapnya memukuli penyandang disabilitas ini secara brutal. Ia diseret ke lantai.

Menurut kerabatnya, luka yang dideritanya dalam serangan itu pada akhirnya menimbulkan komplikasi yang berujung pada kematiannya pada bulan Februari.

“Dia diperlakukan dengan brutal oleh tentara Israel, tanpa mempedulikan kecacatannya,” kenang Mohammed al-Banna, sepupu yang menjadi pendamping Ezz al-Din selama beberapa kali pengungsian sejak 7 Oktober.



Mohammed, 30, bersama Ezz al-Din selama beberapa jam pertama penahanannya dan memberikan laporan rinci kepada Middle East Eye tentang penderitaan kerabatnya sebelum kematiannya.

Ezz al-Din bersama lebih dari 31.000 lebih warga Palestina yang dibunuh oleh Israel.

Sebagian besar korban tewas akibat pemboman tanpa pandang bulu. Namun banyak juga yang tewas akibat tembakan penembak jitu, serangan quadcopter, eksekusi mendadak, kelaparan, dan seperti Ezz al-Din, akibat pemukulan dan penyiksaan.

“Kami telah tinggal di rumah tempat kami mencari perlindungan selama dua hari,” kenang Mohammed.

“Pada hari ketiga, pasukan Israel menyerbu gedung tersebut sekitar jam 5 pagi. Hingga sekitar pukul 06.30 mereka hanya terus menerus menembaki gedung tersebut, serta menembakkan bom suara ke dalamnya.

“Mereka mengetuk pintu kami dan saya pergi untuk membukanya. Seorang tentara segera mengangkat senapan M16 ke arah saya.”

Para prajurit memerintahkan sekelompok pria, termasuk Ezz al-Din dan kerabatnya, untuk menanggalkan pakaian mereka dan berdiri bersandar ke dinding.



Mereka kemudian diperintahkan untuk memberikan informasi pribadi mereka. Sekelompok pria tersebut kemudian disuruh meninggalkan gedung tetapi tanpa kursi roda Ezz al-Din. Mohammed dan kerabat lainnya harus membawanya ke permukaan tanah.

Ketika mereka melakukannya, mereka dihadapkan pada pemandangan yang memperjelas konsekuensi jika mereka tidak mematuhi perintah Israel.

“Saat menuruni tangga sambil membawa Ezz, kami melihat seorang tetangga, Abu Mohammed Humeid, terbunuh dan tergeletak di tanah,” kenang Mohammed.

“Mereka menembaknya karena dia keluar dari apartemennya tanpa izin.”

Di luar, mereka kembali dipaksa duduk, sementara tentara Israel mengikat tangan mereka dengan tali pengikat.

Mohammed mengatakan bahwa cobaan berat selama 15 jam, yang terjadi di atas pecahan kaca, kadang-kadang diselingi oleh seorang tentara Israel yang datang untuk menampar wajahnya dan saudara laki-laki Ezz al-Din, Ihab.

Ezz al-Din, yang terpisah dari anggota keluarganya, menghadapi kesulitan tambahan, karena ia tidak diberi makanan dan air serta dipukuli dengan kejam oleh tentara.

Mohammed dibebaskan setelah diinterogasi dan kemudian diperintahkan berjalan ke Jalur Gaza selatan.

Ezz dibawa pergi oleh tentara Israel tanpa kursi rodanya.



Mohammed tidak dapat melihat ke mana sepupunya dibawa karena penembak jitu di belakangnya melepaskan tembakan ke arah siapa pun yang berbalik.

Seorang tentara Israel juga memperingatkannya bahwa jika dia melihat ke kiri atau ke kanan, sebuah peluru tank akan ditembakkan ke arahnya.

“Tapi kami tahu mereka membawa Ezz ke penjara,” kata Mohammed.

Mangsa yang Mudah

Sebelum Israel mulai membombardir Gaza setelah tanggal 7 Oktober, jumlah penyandang disabilitas hanya dua persen dari 2,3 juta penduduk di wilayah kantong tersebut.

Artinya, sekitar satu dari lima rumah tangga di Gaza memiliki setidaknya satu anggota keluarga penyandang disabilitas, menurut Biro Pusat Statistik Palestina (PCBS).

Menurut perkiraan kelompok hak asasi manusia setempat, serangan terbaru Israel telah mengakibatkan sekitar 12.000 kasus kecacatan baru sejauh ini.

Lebih dari 70.000 orang terluka dalam berbagai tingkat keparahan sejak perang dimulai.



Zarif al-Ghurra, seorang aktivis hak-hak penyandang disabilitas di Gaza dan teman Ezz al-Din, mengatakan Banna menjadi cacat setelah kecelakaan pada tahun 2007.

Insiden tersebut mengakibatkan kelumpuhan pada tubuh bagian bawah dan kesulitan dalam menjalankan fungsi dasar tubuh.

“Ezz telah lama mencoba untuk menantang kecacatannya, dan sering bepergian ke Turki dan Mesir untuk berobat,” kenang Ghurra.

“Selama serangan ini, dia menjadi mangsa empuk bagi pendudukan Israel,” tambahnya.

“Saat tentara Israel menyerbu tempat tinggal Ezz, sebagian besar warga berhasil melarikan diri, namun dia tidak bisa karena cacatnya.

“Dia ditahan bersama saudara laki-lakinya, yang menolak meninggalkannya.”

Kematian dalam Tahanan

Angka yang diperoleh Haaretz pekan lalu menunjukkan bahwa 27 tahanan Palestina dari Gaza tewas secara misterius saat ditahan di fasilitas militer Israel.

Fasilitas tersebut termasuk pangkalan Sde Teiman, pangkalan Anatot di Yerusalem dan pangkalan sementara lainnya.



Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan Alice Jill Edwards menyatakan bahwa dia telah menerima banyak laporan tentang penahanan massal, penganiayaan, dan penghilangan paksa warga Palestina yang ditahan dari bagian utara Jalur Gaza oleh militer Israel.

Ghurra juga telah berbicara dengan para tahanan yang mengingat kedatangan Ezz al-Din di penjara Ayalon (al-Ramla).

Mereka mengatakan kepadanya bahwa Banna “diperlakukan dengan kejam” dan dia diseret di sepanjang jalan oleh tentara Israel.

“Saat sampai di pusat penahanan, dia diseret sehingga menyebabkan luka parah di bagian tungkai dan kakinya,” kata Ghurra.

Teman lama Ezz mengatakan bahwa penyiksaan inilah yang menyebabkan kematiannya, kemungkinan karena infeksi yang didapat saat luka terbuka diseret ke lantai.

Ketika Banna memasuki penjara, sesama tawanan mencium bau busuk dari kakinya karena luka yang tidak diobati dan terinfeksi.

Mereka memohon kepada otoritas penjara untuk mendapatkan bantuan Banna, namun permintaan bantuan mereka ditolak hingga kondisinya memburuk selama berbulan-bulan ia ditahan.

“Baru setelah itu mereka mengirimnya ke rumah sakit, dan di sanalah dia meninggal,” kata Ghurra.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1741 seconds (0.1#10.140)